Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Semalaman aku berpikir tentang hal ini. Sampai akhirnya kini aku dan Mada duduk berhadapan di sebuah kafe dekat kantor urusan agama. Aku ingin tahu lebih detail kenapa Mada menginginkan pernikahan ini. Lalu apa yang akan aku dapat dari pernikahan ini.
"Kau tidak dibuang, tapi kau sengaja dihilangkan."
Kalimat itu membuat hatiku terasa bergetar. Apa selama ini dugaanku pada orang tua yang membuang ku salah? Lalu mengapa aku di panti asuhan jika memang mereka tidak membuang ku. Apa aku adalah aib bagi mereka sampai sengaja menghilangkan aku? Bahkan mereka tidak pernah mencari diriku.
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat aku bingung sendiri. Membuatku semakin ingin bertemu dengan mereka. Menanyakan segala hal yang sudah terjadi, bukan hanya sepenggal kisah yang hanya menimbulkan praduga.
"Aku membutuhkanmu untuk menghancurkan keluarga itu."
"Kenapa aku?"
"Karena mereka yang membunuh ibuku dan ibumu."
"Apa maksudmu?"
"Sangat panjang jika diceritakan saat ini. Sekarang, kau mau bersamaku atau tidak? Menghancurkan mereka."
Mada mengulurkan tangannya padaku. Saat ini hanya dia yang mengatakan tahu tentang orang tuaku. Setelah memikirkannya lebih dalam, aku memilih menerima uluran tangan itu.
Aku tidak tahu siapa Mada, aku tidak tahu hidupnya seperti apa. Namun aku, memutuskan untuk memberikan sebuah kepercayaan pada dirinya. Jika suatu saat nanti aku harus kecewa, aku akan merasakannya sendiri tanpa perlu mengatakan apapun pada Mada.
"Heera Zanita, kau sudah resmi menjadi istriku."
Aku mencium tangan Mada dengan khidmat. Meski menggunakan wali hakim, tapi aku akhirnya bisa menjalin hubungan dengan sah. Walau tanpa cinta diantara kita, tapi aku merasa diterima. Tidak seperti hubunganku yang lalu. Berawal dari cinta, namun berakhir karena status sosial.
Mulai hari ini, nama di kartu keluargaku bukan hanya ada Heera Zanita tapi juga ada nama Mada Wijaya. Bahkan setelah hari ini, namaku berubah menjadi Heera Wijaya. Perjalanan Heera menjadi tukang bersih-bersih kini berubah, karena Mada memintaku fokus dengan tujuanku.
"Tuan Mada. Bagaimana dengan tempat tinggalku? Meski kecil aku tidak rela meninggalkannya."
"Kau bisa menyewakannya. Saat ini, kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri. Balaskanlah rasa sakit yang ibumu derita."
"Tapi ..."
"Satu lagi, jangan panggil aku tuan. Panggil saja Mada, atau suamiku."
Aku mengangguk kecil. Meski tidak tahu seperti apa sosok ibuku tapi mendengar apa yang dikatakan Mada membuatku sakit. Bagaimana bisa hanya karena cinta yang tidak direstui dia harus menderita. Bahkan sampai ajal menjemputnya.
Hari ini aku tidak kembali ke rumahku, melainkan ke apartemen Mada. Setelah seharian mengurus pernikahan, kami harus menjalani hari yang berat setelah ini.
Mobil Mada terhenti di depan gedung apartemen. Biasanya aku datang dan naik ke lantai empat dengan lift staf. Kini, aku naik dengan lift pemilik unit apartemen.
"Maaf, tapi jika aku jujur. Apa kau akan marah?" tanya Mada padaku saat kita baru saja masuk.
"Tentang apa?"
"Tentang aku yang sengaja memintamu datang ke sini. Bukan karena kau adalah tukang bersih-bersih yang bisa dipanggil, tapi karena aku sudah menyelidiki dirimu sebelum ini."
Aku tersenyum kecil. "Aku sudah menduganya."
"Kau menduga?"
Kembali aku mengangguk.
"Kalung mu cantik," kata Mada kemudian.
Aku melihat ke arah kalung yang aku pakai. Di mana Bu Lia yang memberikan ini karena ini milikku.
"Aku tidak tahu ini kalung dari mana, tapi hanya kalung ini yang aku miliki."
"Mau lihat wajah Ibu Heni?"
Aku menoleh kaget pada Mada. Ibu Heni? Siapa dia? Kenapa Mada ingin aku melihatnya? Apa Ibu Heni adalah ibu Mada?
Mada masuk ke dalam sebuah kamar. Tidak lama dia kembali dengan selembar foto. Di belakang foto itu ada tanggal dan nama. Tiga Juni, Heni dan Rima selamanya.
"Siapa mereka?" tanyaku.
"Ibuku dan ibumu, ibu kita."
Tanganku bergetar. Aku menatap dua wanita yang tersenyum lebar itu. Di mana salah satu wanita menggunakan kalung yang sama persis dengan kalung yang aku pakai. Aku tahu, dia adalah ibuku. Ibu yang aku kira sudah membuang diriku.
Mataku memanas bahkan mulai buram karena air mata. Aku tidak menahannya, aku melepaskan rasa sakit yang aku rasakan. Rasa sakit yang entah datang dari mana. Rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Rindu, padahal belum pernah bertemu.
"Mereka cantik," kata Mada.
Aku mengangguk dengan derai air mata yang semakin deras.
"Kita buat mereka bahagia di sana. Kita buat orang yang menyakiti mereka hancur. Kau siap?"
Setelah menghapus air mata.di Aku mengangguk dengan mantap pada Mada. Ya, aku akan membuat orang-orang itu merasakan sakit yang sama. Ibu, maafkan anakmu yang sudah berprasangka buruk ini.
*.*.*.*
Tidur nyenyak yang aku rasakan akhirnya berakhir juga. Aku dan Mada sama-sama tidur sofa. Semalaman Mada mengenalkan orang-orang yang patut aku waspadai. Bahkan perlu aku hindari untuk saat ini.
Yang membuat aku kaget adalah Oma Mela dan Pak Arga. Tidak aku sangka jika Pak Arga adalah orang tuaku dan Oma Mela adalah dalang semuanya. Padahal saat pertama bertemu Oma Mela begitu ramah tidak aku sangka dia yang sudah tega merenggut nyawa ibuku. Pak Arga, kini aku tahu rasa sakit yang kamu alami.
Selesai membuat kopi dan sarapan. Aku membangunkan Mada yang masih terlelap. Pria itu kaget saat melihatku di sana. Sampai aku kembali mengingatkan tentang pernikahan. Mada tersenyum dan langsung memeluk diriku.
Kaget, hampir saja aku mendorongnya keras sampai aku sadar dia adalah suamiku. Aneh memang, tapi dia berhak akan diriku.
"Sarapan sudah siap," kataku.
"Nanti dulu. Biarkan aku memelukmu seperti ini."
"Bukankah mau ke kantor. Nanti terlambat."
"Tidak apa."
Pintu apartemen diketuk beberapa kali. Mada akhirnya melepaskan pelukannya dariku. Aku sudah siap membuka pintu, tapi Mada menahan diriku agar tetap di belakangnya.
PLAK!!
Baru saja pintu terbuka. Mada sudah mendapatkan tamparan yang cukup keras. Buru-buru aku menyentuh pipi yang terlihat merah itu.
"Kau tak apa?" tanyaku.
"Tidak." Mada mengambil tanganku dan dia genggam.
Wanita itu menatap marah padaku dan Mada. Jika mengingat foto semalam, dia adalah Elvi anak angkat Oma Melati. Tunangan Mada yang seharusnya menikah akhir bulan ini.
"Benar kata Mama Ayu. Kamu sudah berkhianat."
"Apa urusanmu sudah selesai?"
Elvi semakin tidak terima. Dia mendesak masuk dan duduk di sofa tempat aku dan Mada tidur. Mada masih menggenggam tanganku dan duduk juga.
"Kita akan menikah, kau tahu itu bukan?" kata Elvi.
"Sayangnya aku tidak mencintaimu."
"Aku tidak meminta cinta. Aku meminta kau tetap menikah denganku. Bukankah kau butuh aku untuk semua warisan milik Papa Aji."
"Tidak lagi. Aku sudah memiliki Heera. Dia segalanya bagiku."
Aku tersenyum. Mencoba membanggakan apa yang dikatakan oleh Mada. Padahal aku tahu, cinta itu tidak ada diantara kita.
"Kau gila?" Elvi tampak semakin kesal.
"Ya, aku tergila-gila pada Heera." Mada mengatakan semua itu sembari tersenyum pada diriku. Aku tentu saja membalas senyuman itu. Memperlihatkan bagaimana romantisnya kami pada wanita bernama Elvi ini. Wanita yang sudah merebut posisiku.