Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Hari-hari mereka pun mulai berjalan normal kembali, meski dengan rutinitas yang lebih hati-hati. Nayla tidak kembali bekerja, atas permintaan Reyhan dan saran dokter. Sebagai gantinya, Reyhan mulai bekerja dari rumah, mengatur jadwalnya agar tetap bisa berada di sisi Nayla setiap saat.
Pada suatu sore, saat duduk di halaman belakang sambil menyeruput teh hangat, Nayla memandangi perutnya yang membuncit sedikit.
“Kadang aku masih tidak percaya semua ini nyata,” ucap Nayla pelan.
Reyhan menoleh. “Apa?”
“Kalau aku masih hidup. Masih bisa merasakan kamu… dan bayi kita. Seolah semua sakit kemarin itu hanya mimpi buruk.”
Reyhan menggeser duduknya, memeluk bahu Nayla dengan lembut. “Dan sekarang kita sedang bangun dari mimpi buruk itu. Aku janji, Nay… kita nggak akan kembali ke sana lagi.”
Nayla menatap wajah Reyhan. “Kamu pernah bilang kalau aku pergi tiba-tiba, kamu akan menyusul.”
Reyhan tersenyum tipis, lalu menyentuh hidung Nayla dengan jarinya. “Tapi kamu nggak pergi. Kamu tetap di sini… dan aku akan terus menjaga kamu sampai kita tua nanti.”
Nayla tersenyum, lalu memejamkan mata, menikmati angin sore yang membelai wajahnya.
Di dalam hatinya, ia tahu, ia telah diberi kesempatan kedua untuk hidup. Dan kali ini, ia tidak akan menyia-nyiakannya. Bersama pria yang ia cintai. Bersama bayi yang tumbuh dalam rahimnya.
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Waktu seperti berlari mengejar musim, dan kini usia kandungan Nayla telah memasuki bulan kedelapan. Meski fisiknya belum sepenuhnya pulih sempurna, Nayla terlihat jauh lebih kuat daripada sebelumnya.
Reyhan benar-benar menjadi sosok suami siaga. Ia mendampingi Nayla ke setiap pemeriksaan, menyiapkan makanan sesuai arahan dokter, bahkan tak segan menyisir rambut Nayla setiap malam sebelum tidur—hal kecil yang membuat Nayla selalu merasa dicintai, tak peduli betapa lelahnya hari itu.
Di rumah Papa dan Mama, suasana juga dipenuhi harapan dan tawa. Pak Adnan, yang kini dalam masa pemulihan pasca operasi donor, sering terlihat tersenyum saat menatap perut Nayla yang membuncit.
“Cucu pertama ini harus jadi anak yang kuat,” ucapnya suatu sore sambil meletakkan tangannya di atas perut Nayla. “Seperti ibunya.”
Nayla tersenyum kecil. “Dan seperti kakeknya yang rela memberikan sebagian hidupnya.”
Pak Adnan hanya mengelus kepala putrinya lembut. Tak perlu kata-kata lagi. Hubungan mereka sudah terlalu dalam untuk dijelaskan.
---
Malam itu, ketika hujan turun dengan lembut, Nayla terbangun dengan napas terengah. Tangannya menyentuh perutnya refleks, mencoba meredam rasa nyeri yang pelan tapi pasti datang dalam jeda-jeda.
Reyhan yang tidur di sebelahnya langsung terbangun ketika mendengar suara rintihan Nayla.
“Nayla?” tanyanya panik. “Kamu kenapa?”
Nayla menggigit bibirnya. “Perutku… kencang. Sakit… tapi belum terlalu sering. Mungkin cuma kontraksi palsu.”
Reyhan segera membantu Nayla duduk, lalu memegang tangannya. “Kita ke rumah sakit, ya. Sekarang.”
“Rey… ini jam dua pagi. Mungkin—”
“Aku nggak peduli jam berapa. Aku nggak mau ambil risiko,” potong Reyhan tegas.
---
Sesampainya di rumah sakit, dokter memutuskan untuk menahan Nayla di ruang observasi. Kontraksinya belum cukup kuat, tapi karena riwayat kesehatannya, Nayla harus berada dalam pengawasan intensif.
“Bayinya sehat, tapi kita tetap harus hati-hati,” ujar dokter. “Kalau dalam beberapa hari ini kontraksi semakin teratur, maka kita pertimbangkan untuk tindakan.”
Reyhan mengangguk serius. “Saya akan ada di sini setiap waktu.”
Nayla menatap Reyhan yang duduk di sisinya, memegang erat tangannya.
“Rey…”
“Hm?”
“Kalau nanti aku… tidak kuat…”
Reyhan segera meletakkan telunjuknya di bibir Nayla, membuatnya terdiam.
“Jangan pernah bilang itu lagi. Kamu akan kuat. Kamu sudah sejauh ini, Nay. Kamu akan lahirkan anak kita, dan kalian berdua akan tetap di sisiku. Titik.”
Air mata Nayla menggenang. Ia hanya bisa mengangguk dan menggenggam tangan Reyhan lebih erat.
---
Beberapa hari kemudian…
Pagi yang cerah namun penuh ketegangan. Dokter memutuskan untuk melakukan tindakan persalinan lebih awal karena kondisi Nayla yang mulai menurun.
Reyhan tak pernah berhenti berdoa sepanjang proses berlangsung. Mama dan Papa Nayla berdiri di luar ruang bersalin, memegang tangan satu sama lain erat-erat.
Hingga akhirnya… tangisan bayi menggema.
Seorang perawat keluar dan tersenyum. “Selamat. Bayi perempuan. Keduanya sehat.”
Reyhan langsung mengembuskan napas panjang, matanya berkaca-kaca.
Saat akhirnya diperbolehkan masuk, Reyhan melihat Nayla berbaring lemah, tapi senyumnya begitu tulus saat menatap bayi mungil yang ada di pelukannya.
Reyhan duduk di sisi ranjang, lalu mengusap lembut pipi Nayla.
“Kita beri nama siapa?” tanya Nayla pelan.
Reyhan tersenyum.
“Namanya… Raihana. Karena kamu bunga hidupku, dan dia adalah kelopaknya yang baru.”
Nayla tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
Dan hari itu… adalah awal dari bab baru dalam hidup mereka. Bersama.