Jika perselingkuhan, haruskah dibalas dengan perselingkuhan ...
Suami, adalah sandaran seorang istri. tempat makhluk tersebut pulang, berlabuh dan tempat penuh kasih nan bermanja ria juga tempat yang sangat aman.
Namun, semua itu tak Zea dapatkan.
Pernikahannya adalah karena perjodohan dan alasannya ia ingin melupakan cinta pertamanya: Elang. teman kecilnya yang berhasil meluluh lantahkan hatinya, yang ditolak karena sifat manjanya.
Namun pernikahan membuat zea berubah, dari manja menjadi mandiri, setelah suaminya berselingkuh dengan wanita yang ternyata adalah istri dari teman kecilnya.
Haruskah zea membalasnya?
Ataukah ia diam saja, seperti gadis bodoh ...
Novel ini akan membawamu pada kenyataan, dimana seorang wanita bisa berubah, bukan saja karena keadaan tapi juga karena LUKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku ingin pisah.
Malam sunyi ini hanya pelukan kehampaan yang kurasakan, dia tak membujukku lagi yang kudengar hanya suara mobil yang pergi dari rumahku. Aku hanya diam membiarkannya pergi begitu saja dan hatiku kian sesak.
Air mata yang sempat kering, kini menetes lagi, pantas selama ini ia tak pernah mencariku, karena ada wanita lain yang menunggunya yang bisa memuaskan hidupnya.
Waktu ini, rasa sakit ini, akan aku ingat sebagai pengingat betapa jahatnya seorang suami.
Ingatan lama menggerayangi pikiranku, memori saat pernikahan kami terlintas begitu saja seakan baru kemarin ikatan itu terjalin. Semuanya dimulai dengan begitu indah dan membekas.
Beberapa tahun yang lalu ...
"Sah,"
"Sah,"
Dua saksi menjadi pendengar akan ikrar penikahan yang diucapkan mas Reza atas namaku, kalimat do'a keluar dari bapak penghulu yang memimpin janji suci itu. Air mataku menetes merasakan sebuah perpisahan yang teramat dalam, setelah ini aku tak bisa lagi tinggal bersama orang tuaku dan juga kedua adik laki-lakiku.
Yang paling perih adalah aku menikah, karena keinginan ayah bukan karena rasa suka. Tanganku saling meremas, aku tak kenal dia dan aku merasakan keraguan untuk memulai hidup bersamanya.
"Ingat, Nak. Jika kalian merasa pernikahan ini karena terpaksa, percayalah akan ada saatnya kalian menyadari satu hal. Pernikahan itu cukup Sakinah, Mawaddah dan warahmah.
"Sakinah adalah ketenangan, kedamaian dalam sebuah keluarga. Mawaddah itu adalah rasa kasih sayang yang dalam yang tumbuh karena saling memberi perhatian dan saling mengasihi."
"Terakhir warahmah, artinya belas kasih, antara suami istri harus bisa saling menjaga, memahami dan memaafkan." pak Penghulu memberikan wejangan dan kami sebagai pengantin hanya saling tatap saja dengan bibir yang rapat, lalu menunduk.
"Tapi, yang penting adalah Mawaddah. Ketika kasih sayang hadir dalam diri kalian makan sakinah dan warahmah akan menyertainya," timpal ayahku yang ikut memberi nasihat pernikahan, ia tersenyum lega setelah keinginannya untuk segera menjadi wali nikahku akhirnya terlaksana.
Nasihat itu masih ku ingat dan tertanam dalam hati dan pikiranku.
Waktu berlalu, satu bulan kami menikah belum pernah kami bersentuhan sama sekali. Tapi, malam itu mas Reza sakit.
Diluar hujan dan angin terus mengguyur bumi, membuat tanah basah dan udara dingin menerpa kulit hingga terasa ketulang.
"Ini obatnya, Mas," ucapku memberikan obat demam dan air putih pada lelaki yang sudah menikahiku.
Ia mengambilnya dan meminumnya, setelahnya ia merebahkan tubuhnya.
"Aku pergi dulu," pamitku untuk kembali kekamarku.
Ya, kami tak pernah tidur bersama selama itu. Kami berbicara pun hanya sekedarnya saja, ditanya ya dijawab dan jika diam ya diam saja.
Seperti itulah rumah tangga kami, namun malam itu ...
Mas Reza tiba-tiba menarik tanganku, "Mau sampai kapan kita tidur terpisah?"
Dengan ragu aku menjawab, "Aku tidak tahu."
"Mari kita coba, para ayah sudah nagih cucu. Aku takut mereka tahu kita tidur terpisah," ujarnya mengajakku untuk tidur bersama.
Aku ragu, tapi sebagai istri aku juga harus memenuhi kewajibanku. Memberinya nafkah batin dan selalu disampingnya, mau tak mau aku pun memenuhinya karena kata-kata Ayah.
"Seberapa keras kalian bertengkar, tetaplah untuk tidur sekamar dan seranjang. Karena saat bertengkar setan semakin menyulutkan api kebencian, jika kau menjauh maka hubungan akan semakin renggang. Tapi jika kalian saling mendekat dengan bibir diam, disitulah kalian selamat dari perpisahan."
Seolah ayah tahu bahwa kami tidak pernah tidur bersama, beliau memberiku nasihat yang mendalam.
Malam berlanjut, hingga pada akhirnya sentuhan memabukkan pun terjadi. Angin terus menari diluar dengan kerasnya, suara air hujan yang turun semakin berisik seakan menyanyikan lagu malam.
Rabaan tangan yang menyentuh terasa hangat, memberikan aliran segar yang memberikan sinyal untuk merespon. Kain demi kain terlepas mudah oleh satu tangan besar milik suamiku, saat itulah tubuh kami menyatu dalam ikatan yang sah tanpa rasa dan tanpa cinta.
Sesuatu menerobos dalam, menghancurkan benteng yang kujaga selama ini untuk satu pria, Elang. Namun, Tuhan berkehendak lain. Mas Reza menjadi orang pertama yang mengambilnya.
Malam kian larut, kian berisik dengan suara meresahkan. Tanpa sadar aku menangis merasakan milikku tak lagi sempurna, semua sudah rusak oleh pernikahan. Benih-benih itu menyembur membasahi rahimku.
Setelah selesai aku memiringkan tubuhku, tapi dia memelukku dari belakang. Masih memberiku kehangatan yang terasa dalam.
Hari berganti minggu, sejak itu kami selalu tidur bersama. Sejak saat itu pula mas Reza berubah menjadi suami yang penuh perhatian dan penuh kasih. kami mengobrol, bercanda hingga aku lupa, siapa Elang?
Satu tahun berlalu, hadirlah Arsya diantara kami. Membuat rumah tangga kami sempurna.
"Lihat, sayang. Dia sangat mirip denganku, kan?" ucap mas Reza, tersenyum bahagia menimang anak lelaki kami.
"Sekarang keluarga kita lengkap, kamu memang istri yang sempurna. Makasih, sayang," ucapnya lagi membuatku terharu, namun aku mengingat sesuatu.
"Aku gak sempurna, Mas. Aku bahkan belum bisa masak," ucapku merasa rendah mengingat akan kekuranganku yang selalu merepotkannya.
"Gak apa-apa, Yang. Nanti aku ajarin, kita belajar bersama dan besarkan anak-anak kita bersama. Juga ... Menua bersama, aku janji akan selalu disamping kamu," ucap Mas Reza berikrar disaat hari Aqiqah Arsya.
Dia merangkulku, memeluk anak kami dengan hangat, dan menjadi penjaga yang baik bagi kami.
Hari-hari itu begitu indah dan lengkap, dia suami yang lembut, ayah yang sabar dan kepala keluarga yang bertanggung jawab.
Kembali kemasa kini ...
Aku masih menangis dalam heningnya malam, aku rindu suamiku yang itu ... Aku sangat merindukannya, namun semua, kini berubah .... Hanya ada luka yang kian kupendam kian menyiksa. Semakin lama semakin dalam.
......................
Pagi yang cerah, tapi tak secerah hati dan pikiranku bagiku kini semuanya sama. Namun, hal tak terduga pun terjadi. Aroma masakan menguar menusuk hidungku, aku berjalan mencari sumber wangi yang mengudara dipenjuru rumah.
Kulihat ia memasak, apakah aku bermimpi?
Aku masih mengenakan gaun semalam, semalam pun aku menangis hingga terlelap. Semalam juga aku melihatnya pergi, tapi kenapa sekarang ia ada disini?
"Kamu ngapain Disini?" tanyaku tanpa panggilan halus yang biasa aku sematkan.
Mas Reza membalikkan tubuhnya, "Sayang, kamu sudah bangun?"
Mendengar panggilan mesra itu membuatku ingin muntah, aku membalikkan pandanganku sejenak membuang kata itu yang kini terdengar jijik ditelingaku.
Dia menyudahi acara masaknya, karena memang sudah matang. Ia menaruhnya dipiring, lalu menyiapkan sarapan diatas meja dengan senyuman manis merekah.
Meja yang selalu kosong saat ia tak di rumah, pagi ini tertata rapi makanan yang aku sukai. Ia mendekatiku, memegang kedua bahuku dan menuntunku untuk duduk dikursi makan.
"Kamu pasti lapar, kan? Makanlah, aku sudah memasak makanan yang kamu suka," ujarnya sembari menyendokkan nasi kedalam piring beserta lauk pauknya, kemudian ia menaruhnya tepat dihadapanku dan duduk dikursi dekat sampingku.
"Ayo! Kenapa masih diam? Apa kamu mau aku yang suapin?" ujarnya seakan lupa rasa bersalah yang ia lakukan semalam.
"Aku ingin pisah," ucapku dengan sangat tegas.
Bibir mas Reza yang tadinya tersenyum berubah hambar, matanya yang teduh berubah menjadi rasa kecewa yang mendadak.
kenapa harus pelit sih ma istri..