Dunia Elea jungkir-balik di saat dirinya tahu, ia adalah anak yang diculik. Menemukan keluarga aslinya yang bukan orang sembarangan, tidak mudah untuk Elea beradaptasi. Meskipun ia adalah darah keturunan dari Baskara, Elea harus membuktikan diri jika ia pantas menjadi bagian dari Baskara. Lantas bagaimana jika Elea merasa tempat itu terlalu tinggi untuk ia raih, terlalu terjal untuk ia daki.
"Lo cuma punya darah Baskara doang tapi, gue yang layak jadi bagian dari Baskara," ujar Rania lantang.
Senyum sinis terbit di bibir Elea. "Ya, udah ambil aja. Tapi, jangan nangis jika gue bakalan rebut cowo yang lo suka."
🌼🌼🌼
"Gue jadi milik lo? Cewe bego kek lo? Lo dan Rania nggak bisa disamain," cibir Saka dengan tatapan merendahkan.
Elea tersenyum kecut. "Ah, gitu kah? Kita bisa liat apakah pandangan lo akan berubah terhadap gue dan Rania, Saka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13| Cegil
Derap langkah kaki jenjangnya berhenti di belakang tubuh Elea, Isyana akui gadis di depannya ini merupakan orang yang gigih. Sekali mengigit, maka ia tidak akan pernah melepaskan. Elea tipikal perempuan petarung.
Tepukan di kedua sisi bahunya membuat jari jemari tangan Elea berhenti mendadak, kedua kelopak matanya dibuka perlahan. Kepala Elea mendongak, mendapati keberadaan Isyana.
"Ini udah jam berapa, hm? Dan lo masih betah duduk di sini bermain piano seharian. Nggak capek, huh?" Isyana mengeleng kecil.
Elea merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku, pinggangnya sakit. Entah itu di penthouse, tempat berlatih khusus piano, maupun di sekolah. Jari jemarinya seakan tidak ada hentinya digerakkan, apa bedanya uang tanpa kemampuan. Elea tidak ingin bertarung hanya mengandalkan pedang yang tajam tanpa kemampuan tarung yang hebat, sudah 2 mingguan Elea habiskan untuk terus berlatih.
Sementara sang ibu sama sekali tidak terlihat, di hari libur sekolah Elea manfaatkan untuk melakukan terapi dan beberapa kegiatan yang dinilai penting.
"Lo udah denger belom, kalo keluarga Buming tengah merapatkan perihal pertunangan ulang." Isyana melangkah menunju sofa, merebahkan tubuhnya di sofa.
Elea bangkit dari posisi duduknya, tersenyum miring. "Ya, gue udah dengar. Nggak sulit buat gue ngelempar kerikil di air yang tenang," jawab Elea santai, "dan boom! Riaknya langsung bikin Rania ketar-ketir."
Isyana terkekeh. "Lo benar-benar bikin gue kagum. Well, lo cukup nakutin kalo jadi musuh, Elea. Menguntung kalo jadi sekutu," kata Isyana, "tapi, gue rasa bakalan berat buat bisa ngejatuhin Rania. Karena apa? Kalo lo itu iblis betina, maka di Rania serigala berbulu domba. Dia pemain ulung, beda lo sama dia cuma di sana. Lo nggak akan bersembunyi di balik topeng apapun, sementara dia akan bersembunyi serapi mungkin buat terlihat sebagai korban."
Elea membawa atensinya lurus ke arah Isyana yang mengulas senyum kecut. Elea mengayunkan langkah kakinya, menjatuhkan bokongnya di atas sofa. Menghadap ke arah Isyana, bukan tanpa sebab gadis satu ini tidak suka Rania, bukan?
"Apa yang terjadi antara lo dan Rania?" Elea menatap Isyana dengan tatapan menyelidik.
Isyana membuang muka, jari jemari di atas paha saling bertautan. Isyana mencintai piano, sangat malah. Permainan Isyana dan Rania seimbang, sekali. Isyana sangat ingat bagaimana ia mengalahkan Rania dalam pelatihan, dan itu bukan kemenangan yang manis untuk Isyana kenang.
"Jari gue dijepit." Isyana mengangkat satu jari tengah ke atas. Isyana nampak kembali mengulas senyum getir. "Bukan sebuah kebetulan, gue amat yakin. Di hari itu, dia lah yang menjepit jari gue di pintu darurat. Kesaksian gue nggak lebih dari rasa iri dan rendah diri di depan Guru dan teman-teman les, cctv katanya nggak idup di hari itu. Omong kosong sialan, gue jelas ngeliat cctv menyala. Cuma karena gue berada di golongan paling rendah. Gue akhirnya kalah."
Elea jelas tahu seberapa penting jari jemari tangan untuk seorang pianis, kekuasaan lagi-lagi membungkam kebenaran.
"Lo, nggak ada niatan ngelakuin hal yang sama ke dia?"
Tawa Isyana langsung menyembur mendengar pertanyaan Elea, seorang Isyana membalas Rania? Itu hal mustahil yang bisa dia lakukan sampai detik ini. Di belakang Rania ada keluarga Baskara, serta Buming yang siap menjadi tameng.
Perceraian orang tuanya pun tidak luput dari ketidak sejalannya pemikiran mereka, antara keluarga dan kuasa. Ibunya tidak suka dengan ketidak tegasan sang ayah, di mana ayahnya mengalah untuk membuktikan jika Isyana tidak berbohong. Isyana benar-benar dicelakai, bukan karena ketidaksengajaan. Apalagi karena Isyana merasa rendah diri bertanding dengan Rania, hingga sengaja menjepit salah satu jarinya di pintu.
"Ouch... sorry, gue kelepasan. Abisnya pertanyaan lo konyol banget, Elea." Isyana menghentikan tawanya, "gue bukan lo, ada yang harus gue lindungi."
Elea terdiam lama sekali, tubuhnya condong ke depan. "Lo mau gue ngelakuin hal yang sama ke dia?"
Tawaran yang menggiurkan, Isyana ingin sekali menganggukkan kepalanya. Tapi, Isyana tahu betul tidak ada hal gratis di dunia mereka. Bahkan pin name tag di atas lambang sekolah saja sudah sangat berbeda, kelas mereka tak sama. Elea pasti akan menuntut sesuatu yang lebih besar dari apa yang Isyana punya, Elea bergerak menyandarkan punggung belakangnya di sandaran sofa.
"Gue nggak akan bisa ngebayar itu, Elea. Jadi, nggak usah," tolak Isyana, sebelum ia membuang muka.
"Gimana kalo gue bilang ini gratis," celetuk Elea penasaran.
Kepala Isyana kembali membawa atensinya ke arah Elea, kedua matanya menyipit.
"Gratis," ulang Isyana lirih, "atas dasar apa gue bisa dapetin pembalasan kek gitu secara gratis."
"... teman," balas Elea cepat, "sebagai teman pertama gue."
...***...
Pandangan mata tajam Elea mengedar menatap lapangan luas, ia melirik beberapa motor sport berjejer di depannya. Sementara wanita yang berdiri di belakang Elea mendesah kasar, sungguh ia tidak paham apa yang ada di otak nona mudanya ini.
"Ini kali pertama Nona Elea mencoba membawa motor?" tanya lelaki bertubuh besar di samping Elea.
Kepala Elea mengangguk sekilas. "Ya, baru kali ini," jawab Elea jujur, "berapa banyak waktu yang dibutuhkan buat bisa menaklukkan arena balapan biasa sampai balapan liar?"
Dahi lelaki berkulit hitam itu mengerut, gadis kurus di depannya ini ditiup angin saja bisa terbang. Eh, malah ingin menaklukkan medan balapan yang bahkan para lelaki pun kesulitan. Mawar terbelalak, jadi maksud ingin datang ke arena balapan ini bukan untuk melihat pertandingan tetapi, untuk langsung merasakan berpacu dengan waktu dan menaklukkan setiap tikungan? Mawar meneguk kasar air liur di kerongkongan.
"Hehe... Nona Elea bisa saja bercandanya, seujung jari saja tubuh Nona Elea terluka. Saya dan yang lainnya bisa mati di tangan Pak Presdir," sahut lelaki itu terkekeh dibuat-buat.
Elea mendongak, menatap lelaki di sampingnya dengan sorot mata tajam tanpa keraguan. Elea malah mendengus, ada banyak bekas luka di punggung belakangnya, bahkan jiwanya robek. Elea bukan nona muda yang manja dan takut pada luka, ia tidak akan menangis hanya karena luka fisik semata.
"Sebelum Bapak ini mati di tangan Papi, Bapak mungkin balakan lebih dulu mati di sini karena nggak ngelakuin apa yang saya perintahkan." Elea mengangkat dagunya angkuh.
"Non apa yang di ka—"
"Peduli setan dengan semua hal, Nanny! Nggak ada satu pun yang bisa ngalangin keinginan, Elea. Satu orang pun nggak akan ada," potong Elea berang.
Wajah Mawar langsung pucat, bibirnya bergetar. Elea benar-benar keras kepala, jika Guntur tahu. Mawar akan langsung dipecat dari pekerjaan, karena dinilai tidak mampu membujuk nona muda satu ini.
TAP! TAP!
"Biarkan dia mencoba, toh. Setelah ngerasain sakitnya jatuh dari atas motor, dia akan berhenti," sela suara bariton yang entah sejak kapan telah berada di belakang tubuh ketiganya. 'Apalagi kalo cewe gila ini mati, akan jauh lebih baik lagi buat gue.'
Elea membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah empunya suara. Elea mengayunkan langkah kakinya mengikis jarak di antara mereka berdua.
"Lo yakin, gue bakalan berhenti cuma karena jatoh dari belajar bawa motor, huh?" Jari telunjuk Elea mendorong kecil dada bidang Saka.
Saka mengangguk dan menyeringai. "Trust me, Elea. Lo bakalan kapok setelah kulit putih mulus lo terluka. Cewe kek lo ini bacotaannya doang yang gede," remeh Saka.
Elea berdecak kesal, sialan sekali pria satu ini. Elea mengigit bibirnya, cara mata Saka merendahkan dirinya.
"Lo pikir luka dikit bikin nyali gue ciut, gitu?"
"Yap! Tentu aja." Saka mengedipkan sebelah matanya.
Pupil mata Saka melebar di kala jaket denim itu di buka, gadis cantik itu bahkan tidak malu membelakangi Saka menarik tanktop bagian belakangnya ke atas, guna memperlihatkan bekas cambukan tak beraturan di punggung belakangnya. Sang ibu asuh bahkan terkejut, lelaki berkulit hitam yang menemani mereka langsung membuang muka melihat tindakan nekat Elea.
"Liat! Bekas cinta ini aja bukan apa-apa bagi gue, yang terus berulang selama 8 tahun. Dan cuma karena jatoh dan terluka nyali gue langsung, ciut?" Elea menurunkan kembali tanktop belakangnya. Memakai jaket denimnya kembali.
Elea tersenyum menyeringai, di saat mata mereka bertemu. "Gue bukan cewe menye-menye, Saka. Kehidupan yang nggak semua orang bisa lalui, gue mampu buat ngelalui tanpa harus berisik."
Elea melangkah menuju Mawar, menarik tangan wanita paruh baya itu untuk pergi dari sana. Saka menyisir kasar rambutnya ke belakang, ia benar-benar dibuat speechless oleh kelakuan Elea.
"Dasar cewe nggak waras dan nggak punya rasa malu." Saka berdecak kecil, melirik punggung belakang Elea yang semakin menjauh.
Bersambung....
semangat 💪💪💪