Niat hati hanya ingin menolong seorang pria yang baru saja mengalami kecelakaan motor tunggal di jalanan, namun keadaan itu malah dimanfaatkan oleh seorang wanita yang tidak bertanggung jawab.
Alana dipaksa menikah hari itu juga oleh segerombolan orang-orang yang menangkap basah dirinya bersama seorang pria di sebuah kontrakan. Alana tidak dapat membela diri karena seorang wanita berhasil memprovokasi massa yang sudah berdatangan.
Bagaimanakah cara Alana menghadapi situasi ini?
Bisakah dia mengelak atau malah terpaksa menikah dengan pria itu? Pria yang tidak dia kenal sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32.
Sekitar pukul tiga sore, Azzam kembali setelah menyelesaikan meeting dengan klien bisnisnya. Saat melewati meja kerja Ira, dia menautkan kedua alis melihat wanita itu senyum-senyum sendiri seperti orang gila.
Ya, setelah mengetahui kenyataan sebenarnya, Ira merasa bahagia sekaligus malu telah menuduh Alana seperti tadi. Dia pikir Alana memanfaatkan kecantikannya untuk menggoda sang bos, tapi ternyata tidak sama sekali.
Azzam sempat berhenti di hadapan wanita itu. Dia bertanya kenapa Ira senyum-senyum sendiri, padahal masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Ira yang terkejut melihat kedatangan Azzam sontak ternganga, kemudian dengan cepat mengambil berkas yang menumpuk di atas meja dan membukanya satu persatu, dia takut dimarahi.
Azzam pun geleng-geleng kepala sembari melanjutkan langkahnya, dia masuk ke ruangan dan membuka jas sembari berjalan menuju pintu kamar pribadinya lalu melempar jas itu ke kursi.
Sesampainya di ambang pintu, Azzam sontak tersenyum mendapati Alana yang tengah berbaring di kasur. Gadis itu membelakangi pintu sehingga tidak menyadari kedatangan dirinya.
Azzam melangkah perlahan lalu membaringkan diri di belakang Alana, sebelah tangannya melingkar di pinggang ramping istrinya itu.
"A-azzam..." desis Alana memutar leher ke belakang, dia terkejut mendapati muka Azzam yang sangat dekat dengan wajahnya.
"Hmm..." gumam Azzam mengukir senyum lalu mencium sudut pipi Alana dengan lembut.
Alana sedikit beringsut dan memutar tubuhnya, keduanya saling berhadap-hadapan.
"Matanya kenapa, kok merah begitu?" tanya Azzam melihat mata Alana yang memerah dan sayu, dia pikir Alana habis menangis.
"Ngantuk," jawab Alana lesu, dia bahkan menguap dan lekas menutup mulut, matanya benar-benar berat dan sulit untuk dibuka.
Melihat Alana yang seperti itu, Azzam pun merentangkan sebelah tangan lalu mengikis jarak. Dia mengangkat kepala Alana dan menjadikan lengannya sebagai bantalan untuk kepala istrinya itu. "Tidurlah!" ucap Azzam seraya merapikan rambut Alana dan menyelipkannya ke belakang telinga.
Samar-samar Alana tersenyum tipis, saking mengantuknya dia pun langsung terlelap di dalam dekapan suaminya itu.
"Astaga sayang, cepat sekali tidurnya." desis Azzam geleng-geleng kepala, dia tak henti menatap wajah polos Alana sembari memainkan ujung rambut istrinya itu.
Entahlah, semakin hari Alana membuatnya semakin gemas saja, tapi Azzam harus bersabar menghadapi sikap plin-plan istrinya itu.
...****************...
"Bagaimana keadaan Azzam, Mas?" tanya Erni pada suaminya yang baru pulang dari kantor.
Wanita itu tengah duduk di sofa ruang keluarga sembari menonton acara televisi yang menyala di hadapannya.
Kurniawan yang tampak sangat lelah langsung duduk di samping Erni lalu merebahkan kepalanya di pundak istrinya itu.
"Aku dengar dia sudah baikan, dia juga sudah masuk kantor hari ini." terang Kurniawan.
"Syukurlah," ucap Erni menghela nafas lega, dia senang mendengar kabar baik itu.
Meski tidak bisa melihat keadaan Azzam secara langsung, Erni cukup bahagia karena ada Alana yang menemani putranya itu.
Rencananya, besok Erni ingin bertemu dengan Alana. Sesuai janjinya di rumah sakit tempo hari, dia sudah sangat yakin menceritakan semuanya pada Alana, berharap menantunya itu bisa meluluhkan hati sang putra.
Erni sudah lelah bermain petak umpet seperti ini, dia terkadang sedih karena tidak bisa melakukan apa-apa saat terjadi sesuatu pada Azzam.
Pria itu terlalu keras kepala, Erni tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara.
Di tempat lain, nampak Rizal tengah mengobrol dengan seorang wanita di sebuah cafe. Pembicaraan mereka terlihat cukup serius, sesekali wanita itu mencoba meraih tangan Rizal yang diletakkan di atas meja tapi pria itu selalu saja menarik tangannya.
"Maaf, aku tidak bisa. Dari awal hatiku hanya untuk Alana, sampai detik ini pun rasa itu tetap sama. Tolong jangan ganggu aku lagi!"
"Jangan bodoh Rizal, Alana itu tidak sebaik yang kau pikirkan. Dia sudah mengkhianatimu, bahkan menikah dengan pria miskin itu."
Ya, wanita yang ternyata adalah Desi itu tiba-tiba keceplosan saking kesalnya mendapat penolakan terus menerus dari Rizal.
Deg...
Pria itu terperanjat kaget, matanya melotot mendengar ucapan terakhir yang keluar dari mulut Desi.
"Apa maksudmu?" tanya Rizal penasaran, dadanya terasa sesak mendengar kalimat Desi barusan.
Menikah?
Tidak tidak, Rizal tidak percaya. Alana tidak mungkin mengkhianatinya.
Kepalang tanggung, Desi pun mengungkapkan semuanya pada Rizal. Dia menjelekkan Alana dan melebih-lebihkan ucapannya agar Rizal membenci adik tirinya itu.
Akan tetapi, Rizal tidak sebodoh yang Desi pikirkan, dia tidak bisa mempercayai itu sepenuhnya, dia merasa ada yang aneh setelah Desi mengatakan semuanya.
"Buka matamu, dia itu tidak sesuci yang kau pikirkan." sergah Desi yang sudah di ujung batas kesabaran, entah bagaimana cara membuat Rizal percaya padanya.
Dia kesal pada Rizal yang selalu saja memikirkan Alana, Alana dan Alana terus. Entah kapan pria itu akan menatapnya dan mengerti perasaannya.
Ya, sebenarnya Desi sudah sejak lama menyukai Rizal, bahkan sebelum Alana mengenal pria itu. Tapi Rizal malah memilih Alana ketimbang dirinya, entah apa hebatnya Alana itu.
Makin kesini, Desi semakin membenci Alana karena merasa selalu dilangkahi oleh adik tirinya itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rizal pun dengan cepat bangkit dari duduknya, dia berlalu pergi meninggalkan Desi sendirian.
"Sial!" umpat Desi menggebrak meja, dia mengacak rambut frustasi.
Bahkan setelah Alana menghilang, bayangan itu tetap saja menghantui kehidupannya. Haruskah Desi menyingkirkan adik tirinya itu agar keinginannya bisa terpenuhi?
Desi meninggalkan cafe terburu-buru. Sebelum memasuki mobil, dia mengeluarkan telepon genggam dari tasnya. Dia pun menghubungi seseorang, entah siapa author sendiri tidak tau.
Setelah berbicara panjang lebar, sudut bibir Desi nampak sedikit melengkung, dia kembali menyimpan ponselnya dan lekas memasuki mobil.
Desi duduk di bangku kemudi dan menyalakan mesin, tatapannya lurus ke depan dan nampak sangat tajam. "Jika aku tidak bisa memiliki Rizal, maka kau juga tidak akan bisa memilikinya!" batin gadis itu lalu menginjak pedal gas dan berlalu pergi meninggalkan parkiran.
Ya, Desi tau bahwa Alana sudah menikah karena fitnah yang dia tuduhkan. Beberapa waktu lalu dia sempat mendatangi kontrakan Azzam tapi tidak menemukan siapa-siapa di sana.
Menurut kesaksian warga sekitar, Alana dan Azzam sudah menikah di malam mereka diadili massa, beberapa hari setelah itu keduanya tidak pernah pulang ke kontrakan, padahal Azzam telah menyewa kontrakan itu untuk waktu yang lama.
Dari banyaknya warga yang menempati komplek itu, tidak satupun yang tau kemana perginya sepasang pengantin baru itu.
Awalnya Desi sangat senang karena berhasil menyingkirkan Alana dari hidupnya, tapi kini dia mulai khawatir.
Dia tau persis bahwa pernikahan Alana hanya sebuah keterpaksaan, dia juga tau keduanya tidak melakukan apa-apa waktu itu.
Dia takut Alana dan pria itu berpisah, itu artinya Alana bisa saja kembali ke pelukan Rizal.
Tidak tidak, sampai kapanpun Desi tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Rizal hanya miliknya, hanya dia yang pantas menjadi istri dari mantan kekasih adiknya itu. Apalagi dia tau Rizal sudah menjadi orang, hidupnya sangat mapan, tentu saja Desi sangat tergiur dengan semua itu.