"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."
Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."
Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."
****
Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.
Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Kelas terakhir, akhirnya usai juga. Hana membereskan buku-bukunya, memasukkan kedalam ranselnya. Lalu bersama ketiga sahabatnya berjalan keluar gedung kampus.
"Ciee, udah dijemput ayang bebb," cicit Dafa, menatap Zahra dengan tatapan menggoda. "Nggak jadi galaunya deh."
Zahra hanya mendengus sambil tersenyum kecil. "Ih, apaan sih lo, Fa?" Tapi jelas wajahnya merona saat melihat Ares berdiri di samping mobilnya, menunggu dengan ekspresi datar seperti biasa.
Hana menggigit bibirnya, perasaan tidak nyaman kembali menyusup ke hatinya. Sejak kejadian di apartemen itu, ia merasa sulit menatap Ares tanpa mengingat apa yang terjadi di antara mereka.
"Yaudah gue duluan, ya," pamit Zahra sebelum berlari kecil menghampiri tunangannya.
Hana, Yuna, dan Dafa hanya bisa memandangi punggungnya yang semakin menjauh.
"Duh, kalau gue yang digituin tiap hari, sih, bahagia banget. Mas Ares tuh kayak paket lengkap, ganteng, mapan, kalem. Sempurna!" seru Dafa dengan nada menghayal.
Yuna mendengus. "Tapi belakangan katanya dingin banget sama Zahra, kan?"
Hana menelan ludah, matanya tanpa sadar melirik ke arah Ares, yang kini membuka pintu mobil untuk Zahra.
Dingin?
Mungkin karena dia... sudah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan.
Hana buru-buru menggeleng, menepis pikirannya sendiri. "Udah, yuk, pulang." Gadis cantik itu melangkah lebih dulu, namun sebuah motor sport berhenti membuatnya terlonjak kaget, hampir saja langkahnya menabrak motor yang berhenti mendadak di depannya.
"Astaga, mau bikin gue jantungan?!" bentaknya kesal.
Aaron hanya terkekeh, membuka kaca helmnya lebih lebar hingga wajah tengilnya terlihat jelas. "Nggak seru kalau nggak bikin lo jantungan dulu."
Dafa dan Yuna menatap mereka berdua dengan penuh rasa ingin tahu.
"Eh, itu cowok baru Hana?" bisik Yuna ke Dafa.
"Meneketehek, gue juga nggak tahu Yu." balas Dafa sambil menyipitkan mata curiga. "Tapi walaupun mirip preman, bening juga sih."
"Dih! Mata lo bisa nggak sih normal dikit. Liat cowok bening dikit aja langsung ijo."
"Wajarlah, Yu!"
Pletak!
Yuna menyentil dahi Dafa, "wajar pala lo! Inget lo itu cowok, Fa! Bisa-bisanya doyan sama terong juga."
Sementara itu, Hana melipat tangan di dada, menatap Aaron dengan tatapan tajam. "Gue nggak ada janji sama lo, jadi kenapa tiba-tiba nongol?"
"Gue lagi baik hati, mau nganterin lo pulang."
Dahi Hana berkerut. "Sejak kapan lo baik hati?"
Aaron terkekeh lagi, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Sejak gue tahu lo gampang dimanfaatin."
"Brengsek," gerutu Hana sambil melayangkan pukulan ke lengannya, yang hanya ditanggapi Aaron dengan tawa puas.
"Jadi gimana, lo mau naik sendiri atau gue angkat dan paksa naik?" tanyanya santai, sambil menepuk jok belakang motornya.
Hana menghela napas panjang. Dia tahu menolak pun percuma, Aaron selalu punya cara untuk membuatnya menurut. Dengan enggan, dia mengambil helm cadangan yang disodorkan Aaron dan mengenakannya.
Dafa dan Yuna masih terpaku di tempat, saling pandang dengan ekspresi penuh tanda tanya.
Sementara itu, Hana sudah naik ke atas motor. Aaron menoleh sedikit ke belakang, menyeringai sebelum berkata, "Pegangan yang erat, Sayang."
"Sialan lo!" Hana nyaris melepas helmnya untuk memukul kepala Aaron, tapi motor sudah lebih dulu melaju membuat Hana reflek berpegangan pada Aaron.
Ares yang menyaksikannya dari balik kemudi, mencengkeram erat kemudinya.
"Mas, ayok." Kata Zahra, sambil menatap aneh pada tunangannya. "Mas lihatin apaan sih?" Zahra menoleh ke arah pandang Ares, namun Ares segera menghidupkan mesin mobilnya. "Nggak ada apa-apa, kita langsung pulang aja."
"Nggak makan dulu seperti biasa?"
"Mas kenyang."
***
"Kenapa dilepas?"
Aaron menarik tangan Hana kembali, melingkarkannya erat di perutnya yang bidang. Di saat yang sama, tangan satunya memutar gas, membuat motor sport yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan malam yang lengang.
Hana nyaris kehilangan keseimbangan, tubuhnya refleks kembali merapat ke punggung Aaron. "Apaan sih lo!"
"Kita kan pacaran, jadi lo nggak usah malu, hm?" kata Aaron sambil terkekeh, suaranya terdengar jelas meski angin berhembus kencang di sekitar mereka.
Hana mendelik, meskipun Aaron tidak bisa melihatnya. "Setres!" gerutunya, lalu mencoba menarik tangannya kembali. "Ngimpi lo ketinggian! Pacaran dari mana? Gue nggak pernah bilang iya!"
Aaron terkekeh lebih keras. Alih-alih membiarkan Hana menarik tangannya, ia justru menggenggamnya erat, menahannya tetap di tempat. "Nggak bilang ‘iya’ juga nggak bilang ‘nggak’, kan?" godanya.
"Lo kalau bawa motor jangan main-main, lo bawa nyawa orang ini bukan kucing yang punya sembilan nyawa."
Aaron menurunkan kecepatan sedikit, lalu menoleh sekilas ke arah Hana. "Tenang aja, selama lo sama gue, lo aman."
"Lo ini bener-bener nyebelin?!"
Aaron hanya tersenyum miring, lalu mempercepat laju motor lagi.
"Kalau bukan karena gue butuh info dari lo, sumpah gue nggak bakal mau bareng lo!"
"Oh, jadi lo butuh gue?" goda Aaron lagi.
"AARON!!!"
Tawa lelaki itu menggema di antara deru mesin motor yang melaju kencang di jalanan.
***
"Turun!"
Suara Aaron terdengar tegas saat ia mematikan mesin motornya.
Hana mengernyit, matanya mengamati sekeliling. Udara terasa lebih dingin di tempat ini, jauh dari keramaian kota. Yang membuatnya semakin bingung adalah bangunan besar di hadapannya—sebuah kastil tua bergaya Eropa yang berdiri megah di tengah kegelapan malam.
"Ini di mana? Lo bawa gue ke mana?" Hana melangkah mundur, firasatnya mulai tidak enak.
Aaron hanya tersenyum miring, lalu turun dari motornya. Dengan santai, ia melepas jaket kulit hitamnya dan menyampirkannya di punggung Hana. "Katanya lo butuh informasi?" ujarnya, suara dalamnya terdengar samar di antara hembusan angin. "Kalau lo mau masuk ke dalam, pakai ini."
Hana menatap jaket yang kini melingkari tubuhnya. "Informasi tentang Red Dragon?"
Aaron tidak menjawab langsung. Ia hanya menatapnya dengan ekspresi penuh misteri, lalu berbalik menuju pintu kastil yang tinggi dan kokoh.
"Aaron, tempat ini..." Hana menggigit bibirnya. "Tempat apa ini?"
Aaron berhenti sejenak, lalu menoleh ke belakang dengan tatapan yang sulit diartikan. "Tempat di mana lo akan tahu banyak hal yang lo pikir selama ini cuma rumor."
Hana menegang. Ia tahu ini bukan keputusan bijak, tapi jika ini satu-satunya cara untuk menemukan pembunuh Rico, ia tidak punya pilihan lain.
Menarik napas panjang, Hana menggenggam erat jaket yang Aaron berikan, lalu melangkah maju mengikuti pria itu ke dalam kegelapan kastil.
Semakin dalam mereka melangkah ke lorong-lorong gelap kastil, bayangan samar para anggota Red Dragon mulai tampak berkumpul di setiap sudut. Cahaya redup lentera yang terpajang di dinding-dinding batu tua menimbulkan bayang-bayang yang menari, menciptakan suasana mencekam yang seakan mengisyaratkan bahwa mereka telah memasuki jantung markas besar musuh.
Hana mempercepat langkahnya, memastikan dirinya tidak akan jauh dari Aaron.
Lorong panjang yang mereka lalui tiba-tiba terbuka ke sebuah aula besar yang dipenuhi oleh bayangan-bayangan berdiri tegak. Di tengah ruangan itu, sekelompok orang dengan jaket hitam berkumpul. Ini jelas bukan sekadar pertemuan kecil—ini adalah markas besar Red Dragon.
"Kita sudah sampai," bisik Aaron.
Hana menelan ludah, sesaat ia ingin mundur, namun naluri dan keberanian yang terpendam membuatnya tetap berdiri kokoh di sisi Aaron.
Saat mereka melangkah lebih dalam ke dalam aula, udara seolah menebal dengan ketegangan. Detik-detik berlalu dalam keheningan yang mencekam, hingga tiba-tiba, suara langkah kaki berat menggema dari ujung ruangan. Semua mata tertuju ke arah pintu besar yang terbuka perlahan. Dari balik pintu itu, muncul sosok yang tak pernah diduga oleh Hana—bukan anggota Red Dragon, melainkan seseorang yang jauh lebih mengejutkan.
Seorang pria berdiri di ambang pintu, kepalanya tertutup oleh tudung hoodie—dan pria itu adalah sosok misterius yang Hana cari.
Bersambung...