Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
"Lo bercanda! Ini nggak mungkin." Julian menatap Artha dengan tajam. Dia jelas tak percaya akan kalimat yang baru saja terucap dari bibir lelaki itu.
Begitupun dengan Mesa. Ini jelas mustahil. Mana mungkin gadis SMA dan pria SMA ternyata sudah menikah. Atas dasar apa?
"Gue serius. Gue udah nikah sama Naira. Beberapa bulan yang lalu sebelum gue pindah sekolah."
"Artha!" Mesa ternganga. Sungguh kenyataan ini teramat sulit dipercaya. Atas dasar apa Artha menikahi Naira di usia yang teramat muda?
Dia kemudian mengarahkan tatapan pada Naira. Gadis berhidung mancung itu hanya menunduk, tak mengatakan apa pun. Seakan-akan semua yang Artha katakan tak ditampiknya sama sekali.
"Pasti ini semua hanya kebetulan, kan? Enggak mungkin kalian nikah saat SMA kalau enggak ada apa-apa! Apa Naira hamil? Dan lo dipaksa buat tanggung jawab?"
Jika begitu, itu artinya Artha pernah berhubungan badan dengan Naira. Pantas saja cewek itu selalu lengket dengan Artha. Ternyata menggunakan tubuhnya untuk merayu.
"Gue nggak hamil. Jangan berkata sembarangan!"
Julian bernapas lega. Baru saja dia sudah membayangkan malam panas Artha bersama Naira. Rasanya tidak rela sekali. Tubuh semampai dengan lekuk indah itu ternyata sudah ada yang menikmati.
"Kalian belum melakukan itu, bukan?" tanya Julian kemudian, merasa penasaran dengan apa yang telah terjadi.
Artha menanggapi dengan santai.
"Hubungan ranjang nggak boleh disebarin. Itu urusan pribadi suami istri."
"Artha!" Mata Naira melebar, wajahnya memerah. Hubungan ranjang apa? Bahkan mereka tidak pernah berciuman.
"Jangan sembarangan kalau ngomong." Dia cukup malu dengan perkataan ambigu Artha.
"Gue nggak sembarangan. Kita memang nggak boleh ngebahas urusan ranjang di luar. Nggak baik, Nai!"
"Jadi kalian sudah pernah? Gila! Gue nggak rela!" Julian berteriak. Membayangkan wajah cantik Naira mendesah di bawah kungkungan Artha membuatnya merah padam.
"Gue juga mau sama Naira," gumamnya lirih.
"Artha! Jangan membuat orang salah paham. Kita bahkan tidak pernah ciuman." Wajah Naira bertambah merah ketika mengatakannya.
Artha terkekeh.
"Baiklah, nanti malam gue cium."
Mesa yang mendengar Artha tampak santai mengatakan hal tersebut menjadi merah padam. Bisa-bisanya tidak menghargai perasaannya. Apalagi saat ini dirinya sedang sakit.
"Nggak boleh, nggak boleh. Nggak ada cium-cium!" Julian langsung memprotes perkataan Artha.
"Jangan mau, Nai. Napas Artha bau jigong. Lo ketularan bau entar."
"Eh, busyet. Lo kurang ajar banget!" Artha melemparkan kunci motor ke tubuh Julian.
"Apa pun itu, Naira istri gue. Itu kenyataannya."
"Lo cinta sama dia? Lo ada perasaan sama dia?" Mesa bertanya dengan mata memerah. Jika Artha memang mencintai Naira, dan keduanya sudah menikah, tentu tiada lagi harapan untuknya.
"Apa pun perasaan gue, itu nggak bisa ngerubah kenyataan."
"Bisa. Tentu saja bisa!" Mesa berkata dengan semangat.
"Usia kalian belum bisa menikah secara hukum. Kalian pasti baru menikah secara agama. Dan pernikahan secara agama sangat mudah untuk bercerai tanpa persidangan yang rumit."
Kenyataan bahwa Artha dan Naira menikah, tetapi tak ada sedikit pun hubungan fisik membuat Mesa tetap optimis. Artha bisa kembali padanya.
"Gue nggak tahu. Gue belum kepikiran ke sana." Artha pun tak banyak menanggapi. Dia ke sini hanya ingin melihat kondisi Mesa. Tidak lebih.
"Lo harus mikirin itu secepatnya. Jangan nyakitin Naira dengan memberi harapan palsu. Lo bisa aja bikin Naira baper dengan perhatian lo. Tapi sebenarnya hati lo buat cewek lain. Mending Naira sama gue. Gue udah cinta sama Naira dari awal. Gue nggak akan nyakitin dia."
Mendengar hal itu, tentu Artha langsung menggeleng.
"Enggak. Gue harus pilih-pilih kalau mau nyerahin Naira ke cowok lain. Yang paling penting Naira nyaman. Dan saat ini Naira cuma nyaman sama gue. Udah, lo nggak usah ngerayu-ngerayu. Lo nggak masuk kriteria!"
"Tega amat sih, lo, Ta! Sama sohib sendiri juga. Gue buktiin sama lo kalau Naira bakal nyaman sama gue. Udah, kasihin Naira ke gue. Bukannya lo masih suka sama Mesa?" Julian masih berusaha mencari secercah harapan agar impiannya mendapatkan Naira tak pupus saat itu juga.
"Kalian ngomongin apa, sih! Gue bukan barang yang diserah-serahin gitu aja." Naira langsung menyela dengan sedikit membentak. Mendengar perbincangan mereka bertiga membuatnya tidak dihargai sebagai seorang wanita. Apalagi Mesa dengan entengnya mengatakan pernikahan yang hanya dilakukan secara agama sangat mudah untuk melakukan perceraian.
Dia pergi begitu saja setelah mengatakannya, mengabaikan raut terkejut Julian dan Artha yang masih menatapnya.
"Nai, tunggu!"
Naira tak peduli. Dia pergi begitu saja keluar dari ruang perawatan Mesa.
"Gue susul dulu, Ta! Lo di sini aja!" Julian menawarkan bantuan. Namun, dengan tegas Artha melarangnya.
"Dia marah gegara lo tahu. Malah pake nyusulin lagi. Makanya, kalau bicara dipikir dulu." Artha mengembuskan napas kasar, mengambil jaket yang sempat dilepas untuk kemudian dikenakannya kembali.
"Gue balik dulu. Lo cepet sembuh, ya!" Artha berkata dengan mengusap kepala Mesa. Hanya mendapat sedikit sentuhan dan perhatian dari Artha, gadis bermata bulat itu merasa senang. Dalam hati dia berjanji akan membuat Artha nyaman dan tidak bisa berpaling hatinya kepada perempuan lain. Termasuk Naira sekalipun.
****
Mungkin dunia memang kejam kepadanya. Orang-orang yang disayangi satu per satu meninggArthannya. Bahkan, siang tadi dia merasa Artha dan Julian sedang mengatur-ngatur hidupnya. Apakah seburuk itu tak memiliki orang tua, sehingga orang lain berhak mengatur hidupnya? Malam ini, Naira berdiri di atas balkon kamar, memandangi langit malam yang tampak cerah. Sebelumnya sangat jarang dirinya bisa memandang langit seluas ini jika berada di rumahnya. Bagaimana tidak, kontrakan sempit itu dikelilingi oleh rumah-rumah yang jauh lebih besar dan tinggi
sehingga membuat jarak pandang Naira terbatas.
Semilir angin mengembuskan helaian rambutnya yang terkadang juga menutupi sebagian wajah. Naira membenarkan helaian rambut itu dan menyelipkan di belakang telinga. Dia menatap ke atas, masih menggunakan lengan untuk menopang diri pada pagar terali besi. Hingga saat sorot matanya berpindah ke samping di mana kamar Artha berada, seseorang yang sejak tadi melihat ke arahnya tersenyum padanya.
"Hai!"
Naira memutar bola mata malas melihat sikap ramah Artha. Dia masih kesal dengan ucapan lelaki itu tadi siang.
"Masih marah?" tanya Artha dengan melongokkan kepala pada batas dinding antara kamarnya dan kamar Naira.
"Bibir lo makin tebal kalau marah gitu."
"Biarin. Emang gue pikirin?"
Artha terkekeh.
"Kemari, deh! Gue mau nunjukin sesuatu sama lo!"
Naira menoleh pada Artha. Lelaki itu tersenyum, lalu membalikkan badan. Dan di sana, Naira melihat sesuatu yang berdiri tegak di balkon kamar Artha.
"Apa itu teropong?" tanya Naira memastikan.
"Lo mau lihat?" Naira mengangguk.
"Gue keluar bentar!"
"Eits, nggak perlu. Lewat sini aja!" Artha berjalan mendekat ke arah dinding pembatas, lalu mengulurkan tangan ke arah Naira.
"Sini, gue bantu!"
Naira agak ragu menyetujui. Pasalnya ini pasti mengerikan. Dia takut ketinggian.
"Sini, gue pegangin!"
Naira akhirnya mengangguk setuju. Dia menaikkan kakinya ke atas pagar pembatas antara kamarnya dan kamar Artha, dengan tangan Artha membantunya turun dari sana. Sempat tergelincir kaki karena terlalu tinggi, Artha menangkap tubuh Naira dari bawah.
Tangan Naira melingkar pada leher Artha, sementara tubuhnya berada dalam dekapan lelaki itu. Tatapan keduanya saling temu. Artha bisa dengan jelas melihat wajah cantik yang tengah disinari rembulan itu.
"Nai, lo bilang kita belum pernah ciuman, ya?" kata Artha tanpa melepaskan pelukan.
Naira hanya diam tak menanggapi. Berada di posisi seperti ini cukup membuat jantungnya berdetak kencang.
"Kalau kita ciuman sekarang, lo mau enggak?"
“Apa?"
"Gue tiba-tiba pengen ciuman sama lo."
Naira melotot, lalu seketika itu mendorong dada Artha menjauh.
"Enggak. Dasar mesum!"
Artha tergelak. Wajah Naira merah padam. Seru sekali menggoda Naira. Gadis itu sering kali marah-marah jika Artha meminta hal-hal aneh.
"Nggak ada ciuman. Nggak ada. Pokoknya nggak ada," ucap Naira memperingatkan.
"Gue mau ciuman sama orang yang jadi suami gue. Cinta sama gue. Bukan sembarang cowok. Ngerti!"
"Iya, iya, gue cuma bercanda doang. Jangan diambil hati!" Artha berkata setelah Naira menjauh.
Naira memperhatikan benda yang sejak tadi menjadi perhatiannya. Mengusap bagian yang tampak asing itu, lalu menatapnya secara teliti.
"Gimana cara makenya?"
Artha tersenyum, berjalan mendekati Naira. Dia berdiri tepat di balakang gadis itu.
"Sini, gue ajarin."
Naira memberi jalan pada Artha, membiarkan lelaki itu menggunakan teropongnya.
“Ini namanya Catadioptric. Dia ngggak cuma make lensa, tetapi juga cermin khusus. Jadi bisa lebih fleksibel dibawa ke mana-mana.”
Artha mengarahkan lensa pada arah yang sejak tadi menjadi bidikannya. Memutar koordinat sampai di titik yang pas.
"Kemari, Nai! Lihat ini!"
Naira yang sempat menyingkir maju mendekat, mengikuti Artha yang memberinya tempat di depannya.
“Lo lihat bintang yang besar itu?"
Naira mengangguk, menutup satu mata dan mengarahkan mata yang lain pada lensa.
"Itu adalah bintang Aldebaran. Bintang terbesar dan tercerah pada rasi bintang Taurus."
"Taurus?"
"Ya, rasi bintang taurus. Rasi berbentuk kerbau yang letaknya di antara rasi Gemini dan Aries. Aldebaran itu salah satu bintang yang berada di konstelasi Taurus, bintang paling terang yang bisa dilihat di bumi. Lo bisa bayangin aja matahari yang terang begitu masih kalah, karena Aldebaran memiliki cahaya yang terangnya 153 kali tingkat kecerahan sinar matahari.
"Coba lo lerhatikan warnanya. Warna terangnya unik dari bintang-bintang lain. Terkadang dia berwarna jingga sedikit kemerahan. Tapi malam ini dia tampak ungu kemerahan. Sangat cantik, bukan?"
Naira mengangguk menyetujui. Apa yang Artha katakan benar. Bintang itu sangat indah. Benar benar indah.
"Lo tahu banyak tentang bintang?"
Artha menggeleng.
"Gue cuma suka sama astronomi."
"Pantes lo pandai Fisika."
Artha terkekeh, lantas menggeleng.
"Menurut gue dengan mempelajari astronomi pikiran gue lebih terbuka. Coba lo bayangin berada di angkasa yang luasnya nggak terbatas. Lo bisa ngelihat luarnya dunia. Dan itu membuat gue lebih bebas. Saat gue memikirkan banyak masalah, gue ngelihat ke atas. Di saat lo ngerasa dunia begitu sempit, pandanglah ke tempat yang lebih luas, yaitu langit. Lo akan ngerasa bahwa dunia itu tak sesempit apa yang lo pikirin."
Naira menjauhkan matanya dari teropong, menoleh pada Artha. Dan saat itu Artha juga menatapnya. Kembali, pandangan mereka bertemu dalam beberapa jenak, hingga kemudian mata Artha meredup. Hanya terjadi persekian detik, bibir keduanya bersentuhan yang langsung membuat mata Naira membulat penuh.
"Itu namanya ciuman bintang jatuh. Cepat dan nggak berasa," kata Artha setelah menjauhkan wajahnya dari Naira yang masih mematung dengan kejadian yang baru saja dirinya alami.