Kecelakaan besar yang disengaja, membuat Yura Afseen meninggal dunia. Akan tetapi, Yura mendapat kesempatan kedua untuk hidup kembali dan membalas dendam atas perbuatan ibu tiri beserta adik tirinya.
Yura hidup kembali pada 10 tahun yang lalu. Dia pun berencana untuk mengubah semua tragedi memilukan selama 10 tahun ke belakang.
Akankah misinya berhasil? Lalu, bagaimana Yura membalas dendam atas semua penindasan yang ia terima selama ini? Yuk, ikuti kisahnya hanya di noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 : FIRASAT
Yura merasa sungkan pada calon mama mertua. Belum apa-apa sudah memberi kesan yang buruk. Sudah menumpang, tidak tahu diri pula. Yura benar-benar merutuki dirinya sendiri saat ini. Ia berdiri mematung tak jauh dari ruang makan. Kakinya maju mundur karena malu.
“Yura, sini, Sayang!” Di luar dugaan, Cheryl masih tetap ramah padanya.
Gadis itu menyeret kakinya untuk mendekat. Lalu duduk berhadapan dengan Zefon yang tengah memainkan ponselnya. Yura mencebikkan bibir ketika mengingat kejadian di kamar tadi. Kesal sekali rasanya melihat pria tampan itu.
“Kamu keenakan ya, sampai tidurnya pules banget. Mama sampai takut kamu kenapa-napa,” cetus Cheryl memberikan piring beserta lauk pauknya pada Yura.
“Iya, Ma. Maafin Yura,” sahut gadis itu bingung menanggapinya.
“Eh kenapa minta maaf. Yang penting kamu enggak kenapa-napa, Sayang. Yaudah sekarang makan yang banyak sekalian makan siang tadi,” tutur Cheryl terkekeh.
Yura hanya tersenyum canggung, ini benar-benar langka menurutnya. Baiknya calon mertuanya, seperti ibu kandung. Padahal wanita paruh baya itu memiliki garis wajah yang tegas, galak namun masih sangat cantik.
Makan malam itu pun berjalan dengan begitu hangat. Cheryl terus mencairkan suasana agar gadis pilihan putranya merasa nyaman. Bahkan sesekali mereka bersenda gurau. Meski jauh berbeda dengan lelaki itu, sama sekali tidak ada suara ketika makan.
.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
.
Malam semakin larut, manik Yura semakin cerah saja. Ia membuka jendela kamar lebar-lebar dan duduk di sana menghadap keluar. Kepalanya menengadah ke atas, memperhatikan kilauan langit yang berpendar ribuan bintang.
Zefon meregangkan tubuhnya yang terasa sangat kaku. Usai berkutat dengan pekerjaan dan menelepon Calvin, pria itu mengawasi CCTV di mansion dari segala penjuru. Layar laptopnya terbelah menjadi beberapa bagian, yang masing-masing menunjukkan gambar yang berbeda.
Diraihnya cangkir berisi kopi, menyesapnya perlahan sembari menajamkan pandangan. Pria itu tersedak saat menemukan Yura yang melamun di tengah malam itu. Matanya mendelik, memusatkan pada salah satu layar.
Buru-buru Zefon meletakkan kembali cangkirnya, menyeka bibirnya yang basah. Kemudian meraih mantel tebal dan mengenakannya. Kakinya terayun dengan sangat cepat dan melangkah panjang. Segera keluar mansion hingga kini berdiri di depan Yura.
Kedatangan yang tiba-tiba membuat Yura terkejut dan hampir terjengkang jika saja Zefon tidak buru-buru menangkap punggungnya. Pandangan keduanya saling bertautan erat.
“Cari penyakit!” ketus lelaki itu menatap Yura dengan tajam.
Yura segera menepis lengan kekar Zefon. Maniknya tak kalah tajam. Ia hanya memutar bola mata malas mengabaikan lelaki itu.
“Masuk!” titah Zefon mengedikkan kepala.
“Enggak mau!” tolak gadis itu mengerucutkan bibirnya.
“Jangan menggodaku!”
“Heh! Siapa yang menggoda Anda, Tuan! Pikiran Anda saja yang mesum!” ketus Yura.
Sadar salah bicara, Zefon menggaruk tengkuknya. Berdehem demi menetralkan kegugupannya, tentu saja mudah sekali wajahnya memasang tampang datar.
“Maksudku, jangan membantahku!” ralat Zefon menurunkan nada bicaranya.
Hanya helaan napas panjang yang terdengar sebagai tanggapan Yura. Zefon melirik gadis itu yang masih bergeming melanjutkan lamunannya.
“Jangan di sini, nanti masuk angin. Ayo iku!” ajak Zefon mengulurkan tangannya tepat di hadapan Yura.
Yura menatap tangan lebar itu, menyambutnya dengan meletakkan jemarinya yang dingin di atasnya, “Ke mana?” tanya gadis itu.
“Kamar!” cetus Zefon singkat yang sontak membuat Yura mendelik.
Ia berusaha melepas tangannya, tapi terlambat. Zefon menggenggamnya dengan sangat kuat sambil tersenyum smirk.
“Jangan macam-macam nanti kamu dicekik mama!” tolak gadis itu panik.
“Tidak akan kalau kamu diam saja.” Zefon melingkarkan tangan gadis itu dan menarik tubuh Yura ke punggungnya. Ia melenggang santai seolah tanpa beban menggendong Yura. Mau memberontak takut membangunkan orang-orang rumah, ia pun hanya bisa pasrah.
Tak sesuai dugaan, Zefon menurunkannya di dalam mansion, tepatnya gazebo yang dikelilingi taman yang indah dengan lampu-lampu yang menyala dan juga kolam renang.
Dari sana ia juga bisa menatap ribuan bintang yang berpendar, tanpa merasakan angin malam yang menusuk. Karena atapnya tertutup kaca sepenuhnya, kaca khusus yang tahan panas maupun hujan. Sangat indah dan nyaman.
Berkali-kali Yura menghela napas berat yang tentu saja menarik atensi Zefon. Gadis itu memejamkan matanya, terlihat sangat gelisah dan tidak tenang.
“Kamu kenapa?”
“Enggak tahu, rasanya sesak banget. Di sini!” tunjuk Yura di dadanya.
Wajah Zefon sontak memerah, membayangkan beberapa saat lalu di mana aset berharga Yura hampir saja terlihat sepenuhnya. Ia memalingkan mukanya dengan cepat.
“Kangen ayah,” gumam Yura lagi. Matanya masih terpejam, entah kenapa sesak itu semakin menjadi. Padahal ia sudah disakiti berkali-kali.
Malam itu mereka habiskan berdua, akan tetapi tanpa suara. Zefon yang tidak tahu ingin berbicara apa, sedangkan Yura sendiri enggan bercerita. Mereka larut dalam pikiran masing-masing.
Lama-kelamaan Yura tertidur bersandar pilar gazebo. Zefon berpindah di sisinya, melepas mantel tebalnya untuk menyelimuti tubuh Yura. Lalu meletakkan kepala gadis itu agar bersandar di bahunya. Semalaman ia terjaga, menatap lekat detail wajah gadis yang tertidur itu.
...\=\=\=\=000\=\=\=\=...
Pagi-pagi sekali kediaman Cullen kedatangan tamu. Bahkan terdengar bunyi bel berkali-kali dengan tidak sabar.
“Ck! Siapa sih pagi-pagi ganggu aja!” cebik Sarah kesal menuruni anak tangga. “Heh, kalian! Pada budek apa? Bel segini berisik enggak ada yang bukain pintu!” sentak Sarah melotot tajam pada para ART-nya.
“Bukankah Nyonya yang meminta kami agar tidak ikut campur?” sela salah satunya.
“Ini ‘kan termasuk pekerjaan kalian, bodoh!” berang wanita itu lagi yang terpaksa membuka pintu sendiri.
Ia langsung melihat seorang pria tampan nan begitu gagah di depannya, dibalut dengan jas yang sangat rapi dan tas dalam genggaman tangannya, membuat wanita itu mematung seketika tanpa berkedip. Tersihir dengan ketampanan pria muda itu. Bibirnya melengkungkan senyum, saat mengira lelaki itu adalah pengacara suaminya.
Bersambung~
Gaiiss.. Sambil nunggu update, mampir yuk..