NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berbaikan / Cinta Beda Dunia / Kehidupan di Kantor / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.

Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.

Karena

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Ayah, Jangan Pergi"

Pagi yang mula-mula cerah perlahan kehilangan sinarnya, seperti langit yang ikut merunduk menyaksikan duka yang menggumpal di dalam ruang sidang megah itu. Liana berdiri di sana, di hadapan kursi terdakwa, menatap ayah angkatnya dengan mata yang tak lagi sanggup menyembunyikan luka.

Langkah-langkah kaki para hadirin terdengar perlahan, seperti tahu diri untuk tidak mencampuri pertemuan antara dua jiwa yang selama ini terpisah oleh waktu, jarak, dan nasib.

“Ayah… maafkan Lia. Karena Lia… Ayah jadi seperti ini,” suara Liana nyaris pecah, bergetar halus, menggantung di udara seperti kabut tipis yang belum juga tersibak matahari.

Pria yang duduk di balik jeruji hukum itu, ayah yang pernah menjadi raja dalam gelapnya dunia narkoba, hanya mematung. Ia menatap gadis di depannya dengan sorot mata yang campur aduk—kaget, bahagia, pilu, dan rindu yang tertahan terlalu lama.

“Lia... dari mana saja kamu, Nak?” suaranya bergetar, menggenggam udara yang tak bisa dipeluk. “Kamu tinggal di mana sekarang? Kamu… kamu baik-baik saja?”

Liana menunduk. Seperti anak kecil yang merasa bersalah karena pulang terlalu larut malam. “Se-sehat, kok, Yah…” jawabnya lirih. Tapi suaranya seperti hanyut, tenggelam oleh derasnya air mata yang ditahan.

Sang ayah menarik napas panjang. Mencoba meredam badai yang berkecamuk di dadanya. “Kamu tidak perlu merasa bersalah, Lia. Ayah sudah tahu… semua ini adalah hasil dari langkah-langkah salah yang ayah ambil. Ayah merusak banyak hidup. Ayah menghancurkan masa depan orang-orang yang bahkan tak ayah kenal.”

Liana terdiam. Kata-kata itu bagaikan anak panah yang melesat ke jantungnya sendiri. Ia ingin menyangkal, tapi tak bisa. Karena justru kejujuran itulah yang membuat luka itu terasa lebih nyata.

“Oh ya, Li…” sang ayah kembali bersuara, kali ini dengan nada yang lebih dalam, lebih berat. “Jika setelah persidangan ini ayah dijatuhi hukuman mati… sebelum hari itu tiba, ayah hanya ingin satu hal. Satu hari. Satu hari saja bersamamu. Karena ada sesuatu… ada satu rahasia… yang belum pernah ayah ceritakan padamu.”

Liana mendongak. Matanya membulat, tubuhnya menegang. “Ayah… jangan bicara seperti itu. Kita belum tahu apa hasilnya. Jangan dulu berpikir sejauh itu, Ayah…”

Tapi pria itu hanya tersenyum. Senyum yang tidak mencari penghiburan. Senyum yang pasrah—dan dalam kepasrahannya ada cinta yang tak pernah benar-benar pergi.

“Ayah tahu apa yang telah ayah lakukan. Dan ayah tahu… hukuman apa yang pantas ayah terima. Tapi sebelum semuanya berakhir… izinkan ayah menebus, meski hanya seujung kuku, dosa-dosa yang ayah wariskan padamu.”

Liana tak mampu berkata-kata. Tangis yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh juga. Tapi ia cepat-cepat menghapusnya, menegakkan punggungnya seperti prajurit yang dipaksa kuat di medan perang.

“Baiklah, Yah… Tapi jangan menyerah dulu. Kita belum tahu apa yang akan terjadi esok.” Suaranya lembut, namun penuh harap yang masih menyala meski kecil.

Saat ia kembali duduk di kursinya, Johan menyambutnya dengan tatapan yang dalam. Seperti laut yang diam-diam menyerap badai dari langit.

“Kamu baik-baik saja, Li?” tanyanya pelan.

Liana mengangguk sekali. Tapi di balik anggukan itu, ada gunung yang hampir runtuh.

“Ya, Jo. Aku cuma… butuh waktu. Untuk mencerna semuanya. Untuk memeluk kenyataan ini.”

Johan tidak berkata apa-apa lagi. Karena ia tahu, hari ini bukan hanya tentang menang atau kalah di ruang sidang. Tapi tentang satu anak yang mencoba berdamai dengan bayang-bayang masa lalu. Tentang cinta yang terlambat disampaikan, dan luka yang mungkin tak pernah sepenuhnya sembuh.

Pukul delapan pagi, ruang sidang itu bukan sekadar tempat persidangan. Ia menjelma menjadi panggung takdir. Tempat kebenaran dan kebusukan bertarung diam-diam, tanpa pedang, tanpa darah, hanya dengan kata-kata yang mengguncang jiwa.

Saat hakim memasuki ruangan, semua orang seolah menahan napas. Keheningan merambat pelan, menyusup ke setiap sudut, seperti angin pagi yang menyusup lewat celah jendela. Inilah babak baru yang dinanti banyak mata—bukan semata untuk menghukum, tetapi untuk mengadili dengan hati. Untuk menimbang kebenaran yang telah lama dikubur dalam-dalam oleh kekuasaan dan ketakutan.

Liana duduk di kursinya. Tubuhnya tegak, tapi jiwanya bergolak. Hari ini bukan hanya tentang ayahnya yang berdiri di kursi terdakwa. Ini tentang seluruh hidupnya yang perlahan dikuliti satu per satu di depan publik. Tentang luka lama yang kembali dibuka, dan harapan yang dipaksa berdiri di ujung jurang.

"Sidang nomor 0427/Pdt.G/2018 di Pengadilan Negeri Kota Padang akan segera dimulai."

Suara pembawa acara menggema, kaku dan dingin. Ia membacakan dengan penuh wibawa: kasus kepemilikan ladang ganja delapan hektare, penculikan warga, penganiayaan, dan pembunuhan. Deretan kata-kata itu seperti cambuk yang menyayat pendengaran Liana.

Para hadirin berdiri. Sebagian besar adalah wartawan nasional, haus akan kebenaran, atau sekadar sensasi. Tapi di antara mereka, ada juga yang datang membawa doa, harapan, dan dendam yang tak sempat usang.

Lima hakim duduk tegak, laksana dinding keadilan yang kokoh. Mereka ditugaskan oleh hukum untuk menjadi penentu nasib manusia. Di tangan mereka, masa depan seseorang bisa runtuh, atau justru diselamatkan. Ketua majelis hakim mengetukkan palu tiga kali. Dentingnya nyaring, seolah menggema hingga ke dalam hati yang paling dalam.

"Apakah jaksa penuntut umum telah siap?" tanya hakim.

"Siap, Yang Mulia."

"Penasihat hukum, bagaimana dengan Anda?"

"Kami juga siap, Yang Mulia."

Panggilan untuk menghadirkan terdakwa membuat seluruh ruangan menegang. Novri Kharisma melangkah masuk, digiring petugas. Ia tampak tenang, tapi dari sorot matanya, siapa pun tahu—di balik ketenangan itu ada kepasrahan yang dalam.

"Saudara terdakwa, apakah Anda dalam kondisi sehat dan siap mengikuti persidangan hari ini?" tanya hakim.

"Saya sehat dan siap, Yang Mulia," jawab Novri. Suaranya berat, namun mantap. Seperti seseorang yang sudah berdamai dengan akhir dari cerita panjang hidupnya.

Di bangku hadirin, Liana menggenggam jemarinya sendiri. Gugup. Takut. Marah. Bingung. Semua rasa berbaur menjadi satu, seperti air laut yang tak pernah bisa benar-benar jernih. Di sampingnya, Johan menatap dengan tenang. Tak perlu berkata apa pun—tatapannya cukup untuk berkata: aku di sini, bersamamu.

Tak jauh dari mereka, Kalmi, Desi, dan para saksi lainnya duduk dengan tubuh tegak dan mata penuh nyala. Mereka bukan hanya korban, mereka adalah suara-suara yang selama ini dibungkam. Hari ini, mereka ingin bicara.

Jaksa mulai membacakan dakwaan. Fakta-fakta mengalir seperti sungai deras. Ladang ganja, penderitaan warga, jenazah yang ditemukan tanpa nama. Kata-kata itu membentuk luka baru, membelah ruang dengan kesunyian yang mencekam.

Namun, penasihat hukum tak gentar. Ia maju dengan kalimat-kalimat tajam, menusuk celah-celah dalam dakwaan. Ia mencoba mengubah narasi, menanamkan keraguan. Tapi dari gerak matanya, Liana tahu—ada sesuatu yang disembunyikan. Tatapan itu tidak bisa bohong.

Ketika ketua hakim menjatuhkan vonis, waktu seakan berhenti. "Terdakwa Novri Kharisma dijatuhi hukuman mati."

Tidak ada jeritan. Tidak ada protes. Hanya keheningan. Sunyi yang menggema lebih nyaring daripada suara apa pun. Liana menutup mulutnya, menahan napas. Dunia runtuh, tapi ia tetap duduk di sana, menatap lurus ke depan.

Sebelum palu terakhir diketukkan, hakim memberi kesempatan pada Novri untuk bicara.

"Demi keadilan," ucap Novri, pelan namun jelas. "Saya menerima keputusan ini dengan lapang dada. Saya sadar, saya telah berdosa. Tapi… sebelum semuanya berakhir, ada satu kebenaran yang harus saya ungkap."

Semua mata menatapnya. Ada yang curiga, ada yang takut, ada yang berharap.

"Sebenarnya… ladang ganja itu bukan milik saya. Saya hanya menjalankan perintah. Pemilik aslinya adalah seorang pejabat tinggi negeri ini. Ia menggunakan kekuasaannya untuk menutupi semua jejak, untuk mengekspor hasil ladang itu ke luar negeri."

Suara Novri mengoyak keheningan. Sebagian hadirin tersentak. Penasihat hukum Novri berdiri tergesa, mencoba memotong.

"Yang Mulia, izin memotong pernyataan klien saya."

"Tidak kuizinkan," suara hakim tegas, menusuk ruang.

Novri menghela napas, lalu melanjutkan.

"Nama orang itu adalah…"

Dan saat itulah, sebuah ketegangan baru menggantung di udara, seolah kebenaran besar siap menghancurkan segalanya.

“Duarrrrrrr!”

Suara tembakan itu memecah ruang sidang. Bukan sekadar dentuman, tapi seperti gelegar petir yang membelah langit, menampar keheningan yang sedari tadi menggantung di udara.

Semua berubah dalam sekejap. Jerit. Teriakan. Kekacauan. Tubuh-tubuh berhamburan mencari perlindungan. Sementara di tengah pusaran kepanikan itu, seorang pria tua terduduk lemas di kursi pesakitan, dengan darah menggenang di sisi dadanya.

Novri Kharisma. Ayah angkat Liana. Lelaki yang baru saja mencoba membongkar sebuah kebenaran besar—ditembak tepat ketika kata-katanya belum selesai.

Liana tidak berpikir. Tidak sempat berpikir. Tubuhnya bergerak lebih cepat dari akalnya. Ia berlari melewati kerumunan yang masih sibuk menjerit, lututnya terhempas saat tiba di sisi ayahnya. Tangan kecil itu mengguncang tubuh lelaki yang semakin berat nafasnya. Darah hangat menodai ujung jemarinya.

Tangisnya pecah. Bukan tangis biasa. Tapi tangis seorang anak yang baru saja melihat dunia mencuri satu-satunya tempat bersandar dalam hidupnya.

"Ayah! Kumohon… bertahan… Ayah jangan pergi..." suaranya melengking, bergema pilu di sela hiruk pikuk yang belum juga reda.

Johan melangkah cepat. Wajahnya pucat. Ia menatap luka tembakan di dada Novri, lalu menoleh ke arah polisi.

“Pak, tolong! Kita harus bawa dia ke rumah sakit sekarang!”

Polisi tersentak dari keterpanaannya. Lalu bergerak. Iring-iringan kecil pun terbentuk. Johan, Kalmi, dan Liana bahu-membahu mengangkat tubuh Novri ke dalam mobil. Wartawan menjejalkan kamera, memotret tragedi tanpa etika, tanpa belas kasihan. Dalam hitungan menit, berita ini menjalar seperti api yang membakar seisi hutan.

**

Ruang Sidang yang Kosong

Tempat itu kini sunyi. Bukan karena tenang, tapi karena mencekam. Polisi menyisir tiap sudut, memutar ulang rekaman dari CCTV, mengukur lintasan peluru. Semua demi satu tujuan—menemukan siapa yang ingin membungkam Novri selamanya.

Desi, pacar Kalmi, berdiri kaku. Matanya terpaku pada kursi kosong tempat darah masih basah. Ada sesuatu dalam sorot matanya. Ketakutan. Kecemasan. Atau mungkin... rahasia.

"Ayo pergi. Kita tidak aman di sini," bisik Kalmi lembut, menggenggam tangan Desi yang sedingin pagi hari di dataran tinggi.

Mereka berjalan cepat, mengikuti mobil yang membawa Liana dan Johan.

**

Dalam Mobil

Mobil melaju seperti dikejar waktu. Sirine meraung, menyibak jalanan Kota Padang yang sesak.

Liana duduk di kursi belakang, tangannya menggenggam tangan ayahnya yang semakin dingin. Darah telah berhenti mengalir, tapi luka itu masih dalam, sangat dalam. Bukan hanya di dada Novri, tapi juga di hati putrinya.

“Ayah, jangan menyerah... Aku masih butuh Ayah...” bisiknya lirih.

Mata Novri terbuka perlahan. Pandangannya kabur. Tapi ia tersenyum, tipis, sangat tipis. Ia ingin bicara, namun suara itu tak mampu keluar. Hanya gerakan bibir, seolah mengatakan: maaf...

"Sedikit lagi kita sampai," ucap Johan, walau suaranya sendiri bergetar. Ia mencoba tegar, tapi dadanya sesak menahan amarah dan duka.

**

Di Rumah Sakit

Tim medis sudah menunggu. Novri langsung dilarikan ke ruang gawat darurat. Liana menolak untuk dilepaskan dari sisi ayahnya, tapi perawat memintanya keluar. Dengan tubuh limbung, ia terduduk di kursi tunggu. Tangisnya masih mengalir, tapi kali ini tanpa suara. Air mata jatuh satu-satu, seperti hujan yang jatuh pelan di tengah kabut pagi.

Johan berdiri tak jauh darinya. Kalmi menelpon ke sana kemari, mencoba mengabari orang-orang penting. Tapi Liana hanya diam. Menunggu. Dalam sepi yang membunuh waktu.

**

Kembali ke Ruang Sidang

Hasil penyelidikan awal menemukan bahwa tembakan berasal dari luar gedung. Seorang penembak jitu, pembunuh bayaran. Misinya sederhana: membungkam Novri sebelum nama besar itu keluar dari mulutnya.

Saat polisi mengepung lokasi persembunyian, pria itu memilih jalan terakhir. Ia menarik pelatuk pistol, kali ini mengarah ke pelipisnya sendiri. Darah membasahi lantai beton. Ia mati tanpa sepatah kata pun, membawa nama penyewanya ke dalam kubur.

**

Kembali ke Rumah Sakit

Liana duduk di samping tempat tidur. Ayahnya belum sadar. Mesin-mesin berdetak pelan, seolah berpacu dengan waktu yang terus melambat. Setiap detik adalah harapan. Setiap hembusan napas adalah doa.

Tangannya masih menggenggam tangan ayahnya. Erat. Tidak ingin lepas.

"Ayah, tolong... bertahanlah... Aku belum siap kehilanganmu," bisiknya.

Tak ada jawaban. Hanya kesunyian yang terus menjalar, menyesakkan.

Johan menatap dari kejauhan. Diam. Matanya basah. Ia tahu, hari ini bukan hanya soal tembakan, bukan hanya soal rahasia. Tapi tentang cinta seorang anak. Tentang luka yang terlalu dalam untuk dijelaskan.

Dan tentang janji yang belum sempat ditepati.

1
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
Mika
anak mapala ternyata, mantan ku anak mapala juga/Chuckle/
Mika
kek hidup gua, ditinggal melulu/Sob/
Lara12
ditunggu updatenya nya/Grievance/
Mika: iyaa, padahal lagi seru serunya/Smirk/
total 1 replies
Lara12
waduhhhh/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!