Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.
Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.
Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Semua terasa... sepi.
Setelah guncangan, ledakan, teriakan, dan retakan dimensi, sekarang yang tersisa hanyalah—hening. Sunyi yang nggak bikin damai, tapi juga nggak bikin takut. Lebih ke arah: “oke... terus sekarang ngapain?”
Lyra duduk di lantai ruang cermin itu. Udara dingin menempel di kulitnya, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang... entah berapa minggu—bulan?—ia merasa tubuhnya nggak lagi terbebani ribuan energi sihir yang menunggu untuk meledak.
“Gue... masih hidup?” gumam Arven dari sudut ruangan, suara serak kayak abis konser rock lima jam nonstop.
“Sepertinya,” sahut Kaelen, nyender ke dinding. Bajunya sobek di beberapa bagian. Bukan fashion statement, tapi malah kelihatan keren. Jengkelin emang cowok ini—abis perang tetep kelihatan ganteng.
Viona duduk bersila, matanya menatap cermin kosong yang tak lagi bergemuruh. “Retakar lenyap. Cermin Jiwa—udah tenang. Kayak... dia ikut lega.”
“Dia?” tanya Lyra, heran.
“Yah, lo juga bakal punya kepribadian kalau selama ribuan tahun dipakai sebagai gerbang antar dunia dan tempat orang curhat nggak jelas,” jawab Viona santai. “Cermin juga punya hati.”
Kaelen tertawa kecil. “Nanti kita bikin lagu. Judulnya Cermin Patah, Hati Utuh.”
Arven mengangkat tangan. “Copyright-nya punya gue ya.”
Mereka diam. Tapi bukan karena canggung. Lebih ke... abis semua badai, akhirnya bisa tarik napas.
Tapi kemudian, Lyra berdiri. Dia melihat ke arah cermin—dan untuk pertama kalinya, dia melihat dirinya sendiri. Bukan pantulan yang aneh. Bukan ilusi. Tapi benar-benar dirinya. Dengan luka-luka. Dengan rambut acak-acakan. Dengan mata yang menyimpan lelah dan kemenangan.
Dan ia tersenyum.
“Apa ini artinya... kita bisa pulang?” tanyanya pelan.
Elaren, yang baru saja muncul dari sisi lain ruangan sambil bawa teh (dari mana dia dapet teko itu, nggak ada yang tau), mengangguk. “Cermin sudah menutup, tapi masih ada jalur kecil yang tersisa. Sekali jalan. Satu kesempatan.”
“Wah, kayak ujian masuk universitas,” komentar Arven.
“Beda. Ini ujian hidup. Kalau gagal, nggak ada remedial,” balas Viona sambil ngelirik tajam.
Tiba-tiba, Lyra merasa aneh.
Ada yang... kurang. Bukan dari ruangan ini, tapi dari hatinya.
“Aku harus ke suatu tempat dulu,” katanya.
Kaelen menoleh. “Ke mana?”
Lyra memandangi bayangan samar di ujung ruangan. “Aku harus... ketemu Ayah. Atau—apa pun yang tersisa darinya.”
Arven terdiam. “Lo yakin? Dunia bawah udah runtuh. Itu berarti apa pun yang ada di sana sekarang... bisa aja udah nggak stabil.”
“Justru karena itu,” kata Lyra. “Aku nggak bisa tinggalkan tempat ini tanpa tahu—siapa sebenarnya aku. Siapa dia.”
Kaelen berdiri. “Gue ikut.”
“Kaelen—”
“Jangan. Gue udah janji kita jalan bareng. Lo nggak bakal masuk ke kegelapan itu sendiri.”
Lyra menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Oke. Tapi kalau ada monster sisa Retakar, itu bagian kamu.”
Kaelen mengangkat bahu. “Fair.”
Mereka berdua melangkah menuju sisi lain ruang cermin.
Tempat di mana dunia bawah pernah terhubung. Retakan kecil di udara mulai muncul, samar-samar membentuk pintu dari cahaya gelap—kontradiktif, tapi begitulah Aedhira.
Viona dan Arven menatap mereka berdua, lalu saling pandang.
“Gue tetap di sini,” kata Viona. “Kalau kalian gagal, seseorang harus jagain gerbang ini.”
Arven tersenyum tipis. “Gue juga. Lagian, gue trauma kalau diajak petualangan ke dunia gelap lagi. Badan gue udah protes sejak tadi pagi.”
Dan begitu—Lyra dan Kaelen melangkah masuk.
Menuju gelap yang terakhir. Menuju jawaban yang selama ini mereka cari.
Dan di belakang mereka, pantulan di cermin berubah pelan-pelan.
Menampilkan dua bayangan kecil—Lyra kecil dan Kaelen kecil—berdiri di sisi lain, saling genggam tangan, dan tersenyum.
Begitu melewati celah itu, dunia berubah drastis.
Udara yang tadinya dingin berubah menjadi... dingin banget. Bukan dingin kayak AC 16 derajat, tapi dingin yang kayak, “kalau lo napas, paru-paru lo bisa mogok kerja.” Gelap pun bukan gelap biasa. Ini gelap yang kayak... matahari dipecat dari pekerjaannya dan bulan lagi cuti.
Lyra menggenggam tangan Kaelen lebih erat.
“Aku benci tempat ini,” gumamnya.
Kaelen mengangguk. “Sama. Rasanya kayak semua kenangan buruk kita numpuk di sini.”
Langkah mereka menyusuri reruntuhan dunia bawah yang sudah kehilangan bentuk aslinya. Tidak ada lagi pilar-pilar bayangan atau lorong berbisik. Hanya tanah retak, puing-puing, dan... suara.
Suara-suara bisikan lama yang kembali, lirih, menusuk, seperti...
> “Kau bukan siapa-siapa.”
> “Ayahmu monster.”
> “Kau tidak akan pernah cukup.”
Lyra berhenti. “Suara itu... Retakar masih di sini?”
Kaelen menggeleng pelan. “Bukan. Ini... sisa. Energinya. Kayak hantu wifi—nggak keliatan, tapi sinyalnya masih gangguin hidup lo.”
“Analogi yang... mengejutkan relevan.”
Langkah mereka membawa ke ruang inti dunia bawah yang sudah retak.
Dulu, tempat itu megah. Sekarang, seperti cangkang kosong. Tapi ada sesuatu di sana. Berdiri di tengah—sebuah bayangan. Tinggi. Mengenakan jubah hitam yang berkibar pelan, meski tak ada angin.
Lyra menegang. Tangannya gemetar.
“Auron...” bisiknya. “Ayah?”
Bayangan itu tidak menjawab. Tapi ia menoleh. Dan saat itu, Lyra melihat—mata itu. Mata yang dulu selalu dia lihat dalam mimpi buruk. Tapi kini... tidak ada teror. Hanya... kosong.
“Lyra,” suara itu terdengar. Berat. Dalam. Dan sedih.
Kaelen maju. “Kau... sadar?”
Bayangan itu—Auron Draveil—mengangguk perlahan. “Untuk sesaat. Retakar telah pecah... dan aku... terbebas.”
Lyra melangkah maju. “Apa maksudmu... semua ini?”
Auron menunduk. “Aku bodoh. Aku pikir aku bisa mengendalikan Retakar. Aku pikir, dengan kekuatan itu, aku bisa lindungi kalian semua. Tapi aku salah. Dia memakan diriku—jiwaku.”
“Lalu kenapa kau menciptakan dunia bawah?” Lyra menahan air mata. “Kenapa kau tinggalkan Ibu? Aku?”
“Karena aku pengecut,” jawab Auron, lirih. “Dan karena aku... takut. Takut kehilangan kalian. Jadi aku mencoba mengikat nasib kita ke tempat ini. Tapi tempat ini... menghisapku.”
Suasana hening sejenak.
Lyra ingin marah. Ingin teriak. Tapi juga... ingin memeluk.
“Kenapa sekarang?” tanyanya.
“Karena Retakar sudah hancur. Tapi aku... tidak bisa kembali. Tubuhku—jiwaku—sudah terlalu dalam di dunia ini.”
Kaelen menatap Lyra. “Lo harus bilang sesuatu. Ini... satu-satunya kesempatan.”
Lyra mengangguk. Ia melangkah maju, berdiri di depan ayahnya.
“Aku pernah benci padamu. Aku pernah berharap kau mati. Tapi sekarang... aku hanya ingin tahu. Apa kau... pernah mencintaiku?”
Auron menatapnya. Untuk pertama kalinya, mata itu tak lagi kosong.
“Aku selalu mencintaimu. Tapi aku terlalu lemah untuk menunjukkannya.”
Air mata Lyra jatuh. Tapi kali ini... bukan karena sakit.
Dan tiba-tiba, bayangan Auron mulai memudar.
Cahaya lembut muncul dari tubuhnya—cahaya yang hangat, bukan gelap. Seperti cahaya pagi setelah malam yang panjang.
“Waktuku habis,” katanya. “Tapi kau... punya masa depan.”
Kaelen meraih tangan Lyra saat tubuh Auron berubah menjadi partikel cahaya. Tak ada jeritan. Tak ada drama. Hanya... perpisahan yang damai.
Dan sebelum hilang sepenuhnya, Auron berbisik, “Maafkan aku... dan jagalah Aedhira.”
Cahaya itu lenyap.
Dan ruangan itu menjadi benar-benar kosong.
Lyra berdiri lama. Lama sekali. Lalu akhirnya berkata, “Akhirnya... selesai.”
Kaelen mengangguk. “Akhir yang... pahit manis. Kayak teh tubruk yang kelamaan didiemin.”
Lyra tertawa di tengah air mata. “Ayo pulang.”
Dan mereka pun berbalik, meninggalkan kegelapan. Menuju cahaya baru. Menuju awal baru.
Mereka berjalan tanpa banyak bicara. Dunia bawah, yang dulu terasa seperti perangkap tanpa ujung, kini terasa... kosong. Tapi bukan kosong yang mengerikan. Lebih seperti—ruang yang akhirnya selesai menjerit. Ruang yang akhirnya bisa bernapas.
Kaelen sesekali melirik Lyra.
Wajahnya tenang. Tapi di balik itu... ya, cowok itu tahu betul—Lyra baru aja kehilangan ayahnya, lagi. Dan bukan kehilangan karena dibunuh atau diambil Retakar. Tapi kehilangan karena... melepaskan.
Setiap langkah kaki mereka memantul lembut di lantai batu yang mulai terurai menjadi debu cahaya. Dunia bawah benar-benar mulai hancur... atau mungkin—berevolusi?
“Jadi... kita nggak dikejar monster, nggak dilempar ke portal acak, nggak ada ledakan dadakan?” Kaelen pura-pura bingung. “Apa ini artinya... kita dikasih akhir yang damai?”
Lyra meliriknya, menyipit. “Jangan ngomong gitu. Nanti semesta denger.”
Dan seolah semesta benar-benar denger, tiba-tiba, tanah bergetar pelan.
Kaelen langsung mundur. “Gue cabut ucapan gue. Gue tarik. Serius.”
Tapi getaran itu hanya sebentar. Dan dari kejauhan, muncul sebuah celah cahaya—bukan portal. Bukan lubang hitam. Tapi lebih seperti... pintu. Pintu yang terbuka pelan.
Dari sana, Arven muncul. Dengan wajah lelah, rambut berantakan kayak baru ditarik naga, dan ekspresi: “Lu nggak tau seberapa kacau tempat ini tadi.”
“Arven?” Lyra tersenyum kaget. “Kamu nyusul?”
Arven nyengir. “Lo pikir gue bakal biarin dua orang paling keras kepala di dunia ini keluyuran tanpa pengawasan?”
Kaelen: “Ngaku aja lo kangen.”
Arven: “Ngaku aja lo pengen dipeluk.”
Mereka bertiga tertawa—suatu hal yang hampir nggak mungkin beberapa minggu lalu.
Sesaat setelah mereka menyusuri celah itu, cahaya menyelimuti segalanya.
Dan seperti mimpi yang tiba-tiba sadar diri, dunia bawah mulai menghilang. Bukan meledak atau runtuh. Tapi perlahan... larut ke dalam ketenangan.
Dan saat mata mereka terbuka kembali—mereka sudah di atas permukaan.
Langit Aedhira.
Langit yang biru dan segar, tanpa sobekan gelap. Udara murni. Burung-burung yang bukan ilusi. Dan jauh di kejauhan, istana Si’vara kembali berdiri, dengan reruntuhan yang perlahan-lahan dipulihkan oleh sihir alam.
Lyra berdiri mematung.
“Akhirnya... pulang.”
Beberapa hari kemudian
Festival kembali diadakan. Bukan untuk merayakan perang, tapi untuk mengenang mereka yang hilang dan merayakan perdamaian. Vyrka, sang Dewi Bayangan, berdiri di tengah altar, mengangkat tangan dan mengucap restu untuk generasi baru.
Lyra, Kaelen, dan Arven berdiri di sampingnya. Para penjaga Si’vara, rakyat, dan bahkan makhluk dari tanah terasing berkumpul. Ini bukan sekadar akhir cerita. Ini adalah awal dunia yang baru.
“Aku nggak nyangka,” gumam Kaelen ke Lyra. “Kita hidup. Kita balik. Dan... kita damai.”
Lyra tertawa pelan. “Kita masih harus memperbaiki banyak hal. Tapi... ya. Setidaknya sekarang kita bisa tidur tanpa takut ditarik ke dunia cermin tengah malam.”
Arven menyahut sambil menggigit apel: “Gue nggak yakin. Kadang kamu mimpi jalan-jalan ke sana lagi sambil nyanyi, Ly.”
Lyra: “Satu lagi komentar begitu, gue yang lempar kamu ke dunia cermin.”
Kaelen: “Eh, please. Jangan mulai lagi. Kita baru aja selamat dari apocalypse, jangan bikin apocalypse volume 2.”
Di antara keramaian, Lyra melihat sesuatu.
Seseorang. Seorang wanita. Rambut panjang, mata tenang. Sosok itu tersenyum. Dan dalam sekejap... lenyap.
“Ibu...?”
Tapi sosok itu sudah tak ada.
Lyra menatap langit. Dan untuk pertama kalinya, ia tak merasa sendirian.
Dan malam pun turun.
Tapi malam itu bukan kelam.
Bintang bersinar terang. Cahaya kecil di langit, seolah mengingatkan mereka: bahkan setelah kegelapan terdalam, selalu ada cahaya.
Dan dalam diam, Lyra menggenggam liontin kecil peninggalan ayahnya. Ia menatapnya, lalu berbisik,
“Aku akan menjaga Aedhira, Ayah. Aku janji.”
Udara malam Aedhira membungkus dunia seperti selimut hangat setelah badai. Langit yang dulu robek oleh sihir dan perang kini kembali utuh—dihiasi bintang-bintang yang bersinar seperti mata kecil para penjaga lama yang kini telah beristirahat.
Di beranda atas istana Si’vara, Lyra duduk sendiri. Kakinya menggantung dari tepian batu putih, matanya menatap horizon yang perlahan larut dalam gelap. Tapi malam ini bukan kegelapan yang menakutkan. Justru... menenangkan.
Kaelen muncul dari belakang, membawa dua gelas kecil. “Teh bunga? Atau... air lemon campur air mata naga, siapa tahu kamu lagi butuh kesegaran ekstrem?”
Lyra terkekeh. “Teh bunga aja, thanks. Udah cukup drama naga untuk satu kehidupan.”
Mereka duduk bersebelahan. Sunyi, tapi bukan canggung. Hanya... tenang.
“Menurut lo,” Kaelen akhirnya buka suara, “apa hidup kita bakal... normal lagi?”
Lyra mengangkat alis. “Normal? Kita punya teman setengah bayangan, pernah ke dunia cermin, ngobrol sama dewa, dan... yah, hampir kiamat dua kali.”
Kaelen mengangguk pelan. “Bener juga. Tapi lo tahu maksud gue. Bisa nggak sih kita... ya, hidup. Bukan cuma bertahan.”
Jawabannya nggak langsung datang. Lyra menatap cangkirnya, lalu menoleh ke langit. “Mungkin... normal itu bukan tujuannya. Mungkin kita cuma perlu... tenang. Sejenak. Nggak harus sempurna. Cuma... cukup.”
Dan di antara percakapan itu, mereka menyadari—kedamaian itu bukan datang dari luar. Tapi dari dalam.
Di tempat lain, Arven berdiri di ruang penyimpanan senjata.
Ia menatap panjang pada tongkat lamanya. Dulu tongkat itu penuh sihir agresif. Kini, setelah semuanya, benda itu hanya... tongkat kayu. Alat. Bukan senjata.
“Lo akhirnya pensiun juga ya,” gumamnya sambil menyentuh permukaan kayu itu. Lalu tertawa. “Gue juga, bro. Kayaknya gue siap buka kebun. Tanam tomat. Damai banget.”
Dari belakang, Vyrka datang dengan anggun. “Tomat? Kau yakin itu panggilan barumu, Arven sang Penjaga Neraka?”
Arven hanya nyengir. “Neraka udah selesai, Vy. Sekarang waktunya urus tanah. Gue mau jadi petani. Atau... stand up comedian. Tergantung mood.”
Vyrka mengangguk dengan senyum samar. “Dunia membutuhkan lebih banyak petani. Dan tawa.”
Keesokan harinya, perayaan kecil diadakan.
Tidak megah. Tidak penuh kembang api. Tapi hangat. Anak-anak menari. Orang tua tertawa. Dan para penjaga duduk tanpa armor—tanpa takut. Aedhira memulai babak baru.
Dan di altar utama, patung Auron Draveil didirikan. Bukan sebagai dewa. Tapi sebagai ayah. Seorang ayah yang pernah gagal, kemudian berjuang, dan akhirnya memilih berkorban untuk anak dan dunianya.
Lyra berdiri di depannya, meletakkan bunga biru kecil. Tangannya gemetar sedikit, tapi senyumnya tetap.
“Aku nggak tahu bisa jadi seperti yang Ayah harapkan atau nggak,” bisiknya. “Tapi aku akan mencoba. Setiap hari. Dengan semua yang kumiliki.”
Kaelen berdiri di sampingnya, lalu menyenggol pelan.
“Gue bikin teh lagi, mau?”
Lyra menyeka matanya. “Kali ini kopi. Malam ini aku mau begadang.”
Malam kembali turun.
Dan di loteng istana, tempat di mana jendela menghadap langsung ke langit, Lyra membuka jurnal baru.
Tinta pertama di halaman pertama:
"Hari ini, Aedhira kembali bernapas. Dan aku... juga."
Ia meletakkan pena, memeluk lututnya, dan menatap langit malam yang penuh bintang. Mungkin, hanya mungkin, dunia ini sudah siap menyambut hari baru. Bukan dengan pedang. Tapi dengan harapan.
Dan cahaya itu, meski kecil... tetap ada.
Pagi menjelang di Aedhira.
Sinar mentari menyelinap masuk ke jendela-jendela istana seperti anak kucing penasaran yang baru belajar memanjat. Pelan tapi pasti, cahaya itu menyentuh setiap sudut, mengusir bayangan dan mengganti rasa takut dengan ketenangan yang lembut.
Lyra terbangun lebih pagi dari biasanya.
Ini bukan karena alarm magis—yang sekarang sudah disita oleh Kaelen karena katanya “mengganggu ritme alami tubuh manusia”. Tapi karena mimpinya. Dalam mimpi itu, dia melihat ibunya, berdiri di sisi sebuah danau, mengenakan pakaian sederhana. Tidak berkata-kata, hanya tersenyum.
Senyum itu bukan senyum yang megah, atau penuh makna tersembunyi ala karakter misterius dalam buku-buku tebal. Itu hanya senyum ibu. Hangat. Manusiawi. Dan itu cukup membuat Lyra bangun dengan mata berkaca-kaca, tapi hati ringan.
Setelah mencuci muka dan mengenakan jubah berwarna abu-abu lembut—warna damai katanya—dia turun ke dapur. Dan seperti yang sudah bisa ditebak...
“LU PASTI MAKAN ROTI GUE, KAN?”
Kaelen berdiri di depan lemari, memegang plastik kosong bekas roti isi keju. Mukanya mirip detektif yang baru tahu pelaku pembunuhnya adalah kucing tetangga.
Lyra hanya mengangkat alis sambil menyeduh teh. “Kaelen, itu roti udah expired dari dua hari lalu.”
Kaelen mengecek tanggalnya. “…oh. Yah, setidaknya gue mati dalam keadaan kenyang kalau kemarin gue makan itu.”
Mereka tertawa.
Itu hal kecil. Tapi bermakna.
Tertawa di pagi hari. Membicarakan hal remeh. Tidak ada bayangan kejatuhan kerajaan. Tidak ada senjata sihir yang mendesing. Hanya... hidup.
Dan kadang, itu cukup.
Di halaman belakang, Arven sedang melatih anak-anak lokal.
Bukan untuk bertarung, tapi untuk menari. Ya, menari. Dengan lagu-lagu rakyat yang dulu nyaris terlupakan karena dunia terlalu sibuk perang dan merapal mantra.
“Langkahnya jangan kayak kodok keracunan, dong!” serunya sambil mengangkat tangan. “Satu-dua, putar—bukan jatuhin diri ke tanah, Meryl!”
Anak-anak tertawa terpingkal-pingkal. Arven sendiri ikut tertawa, walaupun sesekali harus menghindar dari sepatu yang nyaris mendarat di mukanya.
“Lo serius ngajarin anak-anak nari?” tanya Kaelen dari pinggir lapangan.
“Yup. Gue udah pensiun dari drama dewa-dewa. Sekarang waktunya jadi pelatih dansa internasional.”
“Lo tahu kita nggak punya negara lain selain Aedhira, kan?”
“Internasional dalam hati, bro.”
Sementara itu, Vyrka dan para Penenun Cahaya mengadakan pertemuan.
Tapi bukan yang berat-berat. Mereka sedang membahas—dengan sangat serius—cara membuat lampu lentera dari kaca daur ulang dan kristal kecil.
“Ini penting untuk festival malam nanti,” ujar Vyrka. “Setelah semua gelap yang kita lalui, kita butuh terang—dan sedikit seni dekoratif.”
Dan meskipun dulu mereka adalah penjaga dimensi dan perantara antar realitas, sekarang mereka bisa memperdebatkan bentuk terbaik untuk gantungan lampu. Bulat? Bintang? Hati?
Lyra mengintip dari balik pintu. “Pakai bentuk kucing, dong. Biar viral.”
Mereka semua tertawa. Termasuk Vyrka—yang ternyata punya tiga kucing di rumahnya. Salah satunya bernama "Guntur".
Sore harinya, perayaan dimulai.
Bukan pesta megah. Tapi hangat. Ada kue dari tepung lokal. Ada pertunjukan tari dari anak-anak Arven. Dan ada Kaelen yang entah kenapa jadi MC dadakan dan terlalu semangat menyebutkan semua sponsor... yang sebenarnya nggak ada.
“Terima kasih kepada... diri kita sendiri, yang udah selamat dari kiamat!”
Semuanya bersorak.
Dan di tengah keramaian itu, Lyra berdiri agak menjauh. Menatap mereka semua. Teman. Keluarga. Orang-orang yang dulu hanya asing dan sekarang menjadi bagian dari hidupnya.
Lalu, dari balik kerumunan, muncul seorang pria tua berjubah putih—berjalan perlahan, membawa buku tebal.
“Itu... Sefir?” tanya Kaelen.
Lyra mengangguk. Sang Penjaga Sejarah, yang dulunya tinggal di ruang terisolasi berisi ribuan kitab, kini muncul di antara orang-orang. Ia menyerahkan buku itu kepada Lyra.
“Ini... cerita kalian. Aku tulis agar dunia tak lupa. Dan... agar kamu bisa menuliskan kelanjutannya sendiri.”
Lyra menerima buku itu. Sampulnya berwarna biru gelap. Kosong. Tapi terasa berat. Bukan karena bobotnya, tapi maknanya.
“Aku?”
Sefir tersenyum. “Kau, Kaelen, Arven, Vyrka. Kalian yang hidup di dunia ini. Kalian yang tahu artinya bertahan, dan memilih untuk tetap mencintai.”
Malam pun turun.
Lampu-lampu kecil menyala. Langit gelap tapi tenang. Dan dari atap istana, Lyra, Kaelen, dan Arven duduk bersisian—menatap bintang.
“Kira-kira... kita bakal ngalamin hal aneh lagi nggak ya?” tanya Kaelen.
“Pasti,” jawab Lyra. “Tapi kita bakal hadapi bareng. Kayak biasa.”
“Selama nggak ada naga bersayap lima kepala yang suka nyanyi opera, gue oke.”
Dan mereka tertawa. Lagi.
Karena itulah manusia. Bahkan setelah perang dan kehilangan, mereka tetap bisa tertawa. Tetap bisa berharap.
Halaman terakhir dari bab ini ditutup dengan tulisan tangan Lyra:
"Ini bukan akhir. Ini awal dari segala yang baru. Bukan sempurna. Tapi cukup."
"Dan mungkin... itu sudah lebih dari cukup."
tapi kau di harapkan di dunia edheira