"Aku istrimu, Aditya! Bukan dia!" Aurelia menatap suaminya yang berdiri di ambang pintu, tangan masih menggenggam jemari Karina. Hatinya robek. Lima tahun pernikahan dihancurkan dalam sekejap.
Aditya mendesah. "Aku mencintainya, Aurel. Kau harus mengerti."
Mengerti? Bagaimana mungkin? Rumah tangga yang ia bangun dengan cinta kini menjadi puing. Karina tersenyum menang, seolah Aurelia hanya bayang-bayang masa lalu.
Tapi Aurelia bukan wanita lemah. Jika Aditya pikir ia akan meratap dan menerima, ia salah besar. Pengkhianatan ini harus dibayar—dengan cara yang tak akan pernah mereka duga.
Jangan lupa like, komentar, subscribe ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 - Kalina Berontak
"Aku tidak gila! Aku tidak gila! Lepaskan aku!" teriakan Kalina menggema di lorong rumah sakit mental di Swiss, tempat di mana ia dulu pernah dirawat secara diam-diam.
Seorang suster perempuan mencoba menahan lengannya, sementara dua perawat laki-laki mendekat dari sisi kanan dan kiri. Wajah Kalina merah padam, napasnya terengah-engah, matanya liar penuh kemarahan dan ketakutan bercampur jadi satu.
"Kalina, tolong tenang. Kami hanya ingin memastikan kondisimu stabil," ujar seorang dokter berjas putih, tenang namun tegas.
"Stabil? Kalian yang gila! Aku sehat! Kalian tidak tahu apa-apa! Aku harus pulang! Aku harus ke Aditya! Dia menungguku!" teriak Kalina lagi, kali ini suaranya pecah, matanya basah menahan amarah dan... luka yang tak kasat mata.
Di ruangan observasi yang luas, Kalina diperiksa ulang. Hasilnya mengejutkan seluruh tim medis. Kalina ternyata mengalami delusional disorder yang cukup parah. Banyak kejadian yang ia ceritakan tidak pernah terjadi. Bahkan, beberapa dialog yang ia klaim sebagai percakapan dengan Aditya selama ini... fiktif.
"Dia meyakini Aditya mencintainya, membelanya, dan bahkan ingin menikahinya lagi," ujar dr. Ellen pada salah satu staf saat membaca hasil wawancara psikologis.
Video rekaman Kalina saat berteriak dan memanggil Aditya pun diabadikan oleh tim medis sebagai bahan evaluasi. Dalam video itu, Kalina duduk di kursi roda, mengenakan pakaian pasien berwarna abu, tubuhnya lemas tapi matanya tajam, bibirnya menggumam tanpa henti,
"Aditya... sayang... kamu janji... kamu janji tidak akan ninggalin aku..."
Video itu kemudian dikirimkan ke pihak keluarga sebagai informasi.
Dan video itu... sampai ke tangan Aurelia.
Di ruang kerjanya yang rapi dan elegan, Aurelia menatap layar tablet dengan mata yang berkaca-kaca. Video itu memutar ulang Kalina yang terus menyebut nama Aditya.
"Astaga, Kalina..." bisik Aurelia.
Ia menarik napas panjang. Di hadapannya, Reyhan dan Raka berdiri tanpa suara. Keduanya baru kembali dari pertemuan dengan salah satu pemilik saham yang dulunya bagian dari kongsi bisnis Pak Surya.
"Kita tidak bisa abaikan kondisi Kalina. Tapi kita juga tidak bisa mempercayainya lagi," kata Raka pelan.
Aurelia mengangguk. "Aku tahu... Tapi ada satu hal yang harus kita lakukan."
Ia menggeser video itu ke layar besar di ruang rapat dan memutar ulang.
"Aditya harus tahu ini. Kalau dia masih punya hati, dia akan mengerti siapa sebenarnya Kalina."
Pagi itu, Aditya duduk di sofa rumah rehabilitasi tempat ia tinggal sementara untuk pemulihan kakinya. Bekas luka bakar di lengannya masih membekas, dan ia hanya bisa berjalan dengan bantuan tongkat.
Reyhan menyerahkan tablet milik Aurelia ke tangannya.
"Apa ini?" tanya Aditya, sedikit curiga.
"Lihat saja. Ini dari Aurelia."
Aditya memutar video itu.
Saat wajah Kalina muncul di layar, Aditya nyaris menjatuhkan tablet itu. Tangannya gemetar, wajahnya pucat.
"Apa... ini... kapan... di mana dia...?"
Video itu terus memutar. Kalina menangis, tertawa, berteriak, menyanyi—semuanya dilakukan dalam satu fragmen video berdurasi tiga menit. Dan setiap kalimat yang ia ucapkan... semuanya tentang Aditya.
"Dia... dia tidak pernah cerita tentang ini... kenapa dia di sana lagi...?" gumam Aditya, nyaris tak percaya.
Reyhan hanya berdiri diam, menatap sosok laki-laki itu yang kini terguncang.
"Kalina mengalami delusi berat, Aditya. Semua tentangmu... ada dalam pikirannya, bukan kenyataan."
Aditya menyentuh kepalanya sendiri, seolah tak percaya.
"Jadi selama ini..."
Tangis Kalina masih terdengar ketika para petugas medis membawanya masuk kembali ke ruang perawatan intensif. Dokter dan suster berusaha menenangkannya, namun jeritan Kalina memekakkan telinga siapa pun yang mendengarnya.
"Aditya! Jangan tinggalkan aku! Jangan...! Aku janji akan jadi lebih baik, aku janji...!"
Tubuhnya menggigil hebat, jari-jarinya mencakar udara seolah mencoba meraih seseorang yang tak ada di sana. Matanya kosong, napasnya terengah, dan tubuhnya yang lemah nyaris terkulai di ranjang. Obat penenang akhirnya diberikan, namun rasa sedih dan luka batin yang ditaNggung Kalina tampaknya lebih dalam dari apa pun.
"Pasien mengalami episode delusi berat. Trauma emosionalnya tak tertangani dengan baik sejak kecelakaan itu," ujar salah satu dokter kepada kepala pengawas rumah sakit.
Sementara itu, dokter pribadi yang ditugaskan Aurelia—Dr. Alin, wanita tenang berusia 40-an yang sangat profesional—mengirimkan rekaman video itu secara pribadi pada Aurelia.
Di Indonesia, Kediaman Aurelia
Aurelia duduk sendirian di ruang kerjanya yang kini juga menjadi ruang komando untuk semua strategi yang dijalankannya. Tangannya gemetar ketika membuka video yang dikirimkan Alin.
Ia menatap layar ponselnya dengan lekat. Di sana, terlihat Kalina meronta seperti orang hilang akal. Sorot matanya kosong, namun teriakannya jelas:
"Aditya... suamiku... kau janjikan kita hidup bersama! Aku relakan semua untukmu! Jangan pergi...!"
Aurelia menggigit bibirnya keras, menahan gejolak yang tiba-tiba mencuat di dada. Ada rasa kasihan. Ada rasa marah. Tapi juga... ada rasa lega.
“Ini bukan balas dendam yang kuinginkan,” bisiknya pelan. “Tapi... mungkin inilah bentuk karma yang menyakitkan itu.”
Beberapa Jam Kemudian
Aurelia memutuskan untuk menyerahkan video itu pada Reyhan, dan mereka sepakat untuk menunjukkannya langsung pada Aditya lagi.
Aditya, yang kini duduk di kursi roda dengan kepala diperban dan tangan yang belum sepenuhnya bisa digerakkan, tampak tenang... sampai video itu diputar.
Matanya membelalak. Nafasnya tercekat. Tubuhnya yang lemah menggigil pelan.
“Kalina... dia... dia seperti itu karena aku?”
Reyhan menatapnya tajam. “Kau pikir semua perbuatan tidak akan berbalik ke diri sendiri?”
“Tidak...” Aditya menunduk. “Aku hanya ingin dia pergi... aku tak pernah menyangka dia akan segila itu.”
Aurelia berdiri di hadapannya. Tatapannya tajam namun berisi air mata.
“Kau tidak hanya menghancurkan hidupku, Aditya. Tapi juga hidup Kalina, Vania... dan mungkin semua wanita yang pernah kau permainkan. Kau pikir luka hanya singgah sebentar? Tidak. Beberapa luka tinggal... untuk selamanya.”
Aditya menatap wajah Aurelia lama sekali. Untuk pertama kalinya, sorot matanya menunjukkan penyesalan yang tulus.
Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, sebuah pesan masuk ke ponsel Reyhan. Isinya:
Di saat yang sama, di layar pengawasan rumah sakit luar negeri, seorang pria misterius masuk ke ruang arsip medis Kalina. Ia mengenakan masker dan topi, dan dengan cepat mengakses data rekam medis lalu menghapusnya. Kamera hanya sempat menangkap tatapan matanya yang penuh kebencian.
“Target telah berubah,” gumam pria itu sambil menatap foto Aurelia di ponselnya. “Kali ini... giliranmu.”
(BERSAMBUNG KE BAB SELANJUTNYA)
kadang dituliskan "Aurelnya pergi meninggalkan ruangan tsb dengan Anggun"
Namun.. berlanjut, kalau Aurel masih ada kembali diruangan tsb 😁😁🙏