Jalan berliku telah Nina lalui selama bertahun-tahun, semakin lama semakin terjal. Nyaris tak ada jalan untuk keluar dari belenggu yang menjerat tangan dan kakinya. Entah sampai kapan
Nina mencoba bersabar dan bertahan.
Tetapi sayangnya, kesabarannya tak berbuah manis.
Suami yang ditemani dari nol,
yang demi dia Nina rela meninggalkan keluarganya, suaminya itu tidak sanggup melewati segala uji.
Dengan alasan agar bisa melunasi hutang, sang suami memilih mencari kebahagiaannya sendiri. Berselingkuh dengan seorang janda yang bisa memberinya uang sekaligus kenikmatan.
Lalu apa yang bisa Nina lakukan untuk bertahan. Apakah dia harus merelakan perselingkuhan sang suami, agar dia bisa ikut menikmati uang milik janda itu? Ataukah memilih berpisah untuk tetap menjaga kewarasan dan harga dirinya?
ikuti kelanjutannya dalam
KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Hari telah gelap ketika Wito dan Nina hendak pergi ke percetakan. Aroma hujan mulai tercium, menambah kesejukan malam. "Mas, apa gak sebaiknya besok saja, sepertinya akan hujan deras," kata Nina, sedikit khawatir.
“Cuma mendung saja itu Dek. Biasa memang sudah musimnya. Tiap kali mau panen mesti cuaca gini.” Wito sedikit mengeluhkan cuaca. Pasalnya jika pas waktu panen dan hujan turun terus-menerus, alamat harga gabah pasti akan anjlok drastis.
“Ibu, nanti kalo pulang beliin Agus jajan, ya?” Agus yang sedang berbaring dengan remot di tangan berpesan.
“Apa kamu gak mau ikut saja? Sekalian kita jalan-jalan,” tanya Wito yang mendengar pesan anaknya.
“Gak mau, ahh. Agus mau nonton Upin Ipin,” tolak Agus. “Lagian Ibu bilang kayak mau hujan,” tambah Agus lagi.
“Ya sudah, biar dia di rumah saja, Mas. Hujan pun kalo cuma kita berdua yang kehujanan.” Nina setuju Agus tetap tinggal di rumah. Dan mereka berdua pun berangkat tanpa Agus.
Sepanjang perjalanan, mereka membahas strategi pemasaran lainnya selain brosur. "Gimana kalau kita buat akun khusus untuk promosi di Facebook, Mas? Aku lihat banyak orang promosi di sana," usul Nina. “Kan para tetangga juga banyak yang punya Facebook?”
“Kamu saja, Dek.” Wito lebih senang menyerahkan urusan seperti itu pada istrinya. “Aku mana paham begituan. Aku cuma tahunya WA saja, Kirim pesan dan nerima panggilan. Lagian aku lebih banyak megang cangkul daripada HP,” gurau Wito.
Lima belas menit perjalanan, mereka sampai di percetakan. Percetakan itu tampak ramai, mungkin karena bersamaan dengan anak sekolah yang kembali aktif masuk setelah libur lebaran.
Setelah menunggu antrian beberapa saat, akhirnya kini giliran mereka. Hanya beberapa menit saja, brosur mereka pun selesai dicetak. "Alhamdulillah, sudah selesai. Terima kasih ya, Mas." ucap Nina sambil menerima tumpukan kertas yang sudah dikemas dalam plastik oleh pemilik percetakan.
Nina pun membayar dan mereka bergegas pulang, membawa harapan baru dalam bungkusan brosur sederhana itu. "Semoga brosur ini bisa membantu, ya, Mas," kata Nina, menatap bungkusan brosur di tangannya.
“Aamiin, Dek,” sahut Wito.
“Kita beli apa, Dek, buat Agus? Katanya dia suruh beliin jajan?” Tanya Wito ketika mereka berada dalam perjalanan pulang.
“Kita beliin sate aja, Mas. Yang biasa mangkal di perempatan. Gak usah cari-cari, keburu hujan,” saran Nina, dan wito pun segera melajukan sepeda motornya.
Sampai di tempat penjual sate, Nina segera memesan.
“Wah, dari mana, Mbak? Kencan ya?” gurau si tukang sate yang memang sudah kenal akrab.
“Dari nyetak brosur Kang.” Nina menjawab sambil mengeluarkan selembar brosur dan memberikan nya pada Kang Sate. “Nyuci in baju di tempatku dong, Kang.” Nina meletakkan brosur itu di meja gerobak.
“Iya, deh, kapan-kapan,” jawab Kang Sate. “Oh iya, Mbak. Ini tadi ada orang pesen ternyata gak diambil. Mau yang ini aja gak Mbak? Masih hangat juga kok, Mbak.” Kang Sate sate menunjukkan bungkusan yang katanya pesanan orang.
“Ya udah, Kang. Itu aja juga gak papa. Daripada aku nunggu Akang kipas-kipas, nanti malah keburu hujan.” Nina menyetujui tawaran kang Sate.
“Beneran gak papa nih, Mbak? Aku gak enak sebenarnya,” ucap Kang Sate sambil menggaruk tengkuknya.
“Udah gak papa, Kang. Malah kebetulan. Aku lagi buru-buru juga, takut kehujanan.”
Hujan mulai turun deras saat mereka sampai di rumah. "Alhamdulillah, pas hujan kita sudah sampai rumah,” ucap Wito.
“Hujan deras sekali. Semoga besok cuaca cerah, ya, Mas.," kata Nina, “Gak papa kalau hujannya malam, jadi siang tetep bisa jemur pakaian.” Nina meletakkan brosur di atas meja, lalu dia bergegas mencari piring untuk tempat sate.
“Ibu beliin apa buat Agus,” tanya bocah itu yang sudah bangkit lalu mengikuti ibunya ke meja makan.
“Ibu gak sempat cari apa-apa, Nak. Cuma beli sate aja, soalnya takut keburu hujan, nanti hasil cetakan rusak.” Nina membawa piring berisi sate sambil menjelaskan pada anaknya.
“Yeee, sateee,,,!” Agus melompat-lompat sambil bertepuk tangan. “Makasih, Ibu.” Agus spontan memeluk ibunya.
“Sama-sama, Nak. Sana dimakan bawa di depan TV sana. Jangan lupa bagi juga buat ayah, ya. Ibu mau ganti baju dulu.” Nina menyerahkan piring pada Agus.
“Siap, Bu.” Agus membawa piring ke depan TV. “Yah, ayo makan sate, Yah.” Agus berseru memanggil ayahnya.
***
Keesokan harinya, mereka membagi-bagikan brosur ke tetangga di desa sebelah.
"Selamat pagi, Bu! Ini brosur laundry kami," sapa Nina ramah kepada setiap tetangga yang dijumpainya.
“Oh, yang katanya laundry baru itu, ya?” jawab Ibu itu balik bertanya.
“Iya, Bu. Semoga Ibu berkenan mencoba.”
“Tapi dengar-dengar laundry baru itu kan kurang bagus hasil pelayanannya?”
“Astaghfirullah,,,” Nina beristighfar dalam hati. Ternyata rumor yang ditebar Romlah tak hanya berhembus di desanya, bahkan sampai desa sebelah.Tapi dia tetap berusaha tersenyum.
“Saya mengundang Ibu untuk mencoba barang sekali. Jika hasil tidak memuaskan, saya akan kasih gratis yang lima puluh persen, bagaimana?”
Nina mendapatkan respons cukup positif dari mereka yang ditemuinya. Beberapa orang tertarik dengan harga yang terjangkau dan layanan yang ditawarkan. Ada juga yang penasaran karena mendengar cerita tentang gosip yang beredar.
“Memang, bu ibu. Beberapa waktu ini laundry kami mendapatkan ujian. Ada yang sengaja menebar rumor dengan bilang laundry kami kotor. In Syaa Allah itu tidak benar, kok. Saya mengundang ibu-ibu semua untuk membuktikannya," jelas Nina dengan sabar.
Nina memanfaatkan kesempatan itu untuk menjelaskan dan membantah rumor yang beredar.
“Iya deh besok aku coba kesana. Tapi bener ya, nanti kalo nyuci banyak diskon?”
"Terima kasih, ya, Bu. In Syaa Allah ibu tidak akan kecewa," ucap Nina, setelah memberikan brosur.
***
Seminggu kemudian, perubahan mulai terjadi. Pelanggan mulai berdatangan kembali, bahkan lebih ramai dari sebelumnya.
“Apa sih Dek ? Kok nyetrika sambil senyum-senyum sendiri gitu?” Wito yang baru masuk rumah bertanya heran.
"Alhamdulillah, Mas, lihat! Laundry kita ramai lagi!" seru Nina gembira. Berita tentang laundry mereka yang berkualitas dan harga terjangkau menyebar dari mulut ke mulut. Brosur yang mereka sebarkan juga terbukti efektif.
"Alhamdulillah, Dek. Usaha kita berhasil.” Nina dan Wito tak henti-hentinya bersyukur.
Romlah, yang mendengar kabar tersebut, hanya bisa menggerutu kesal. "Gak mungkin! Laundry mereka malah ramai!" gerutunya.
Upayanya untuk menjatuhkan usaha Nina gagal total. Dan itu membuatnya semakin dongkol. Kenapa semua tidak sesuai rencana. Bukankah seharusnya saat ini Nina sedang bangkrut lalu datang padanya untuk meminjam uang. Lalu dia akan memberikan pinjaman dengan syarat Nina mau berbagi suami dengannya. Ya, harusnya kalau sesuai skenario terjadi seperti itu. Tapi kenapa malah sebaliknya.
terima kasih tetap memberikan hiburan gratis ini,
jangan lupa istrahat cukupp yaaa/Kiss//Kiss/
jangan lupa istirahat yang cukup, minum air putih hangat dan hindari stresss 😍💚💚💚
apa dia punya maksud terselubung mungkin?