NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 19 - Petunjuk Buku Usang

Hening menyergap di antara desing mobil yang melaju melewati lebatnya hutan, penuh dengan pepohonan tinggi.

Darius membuang pandangan. “Aku sudah menyewa apartemen untuk sementara waktu. Dan untuk alasannya—mengapa aku mendadak ingin berangkat hari ini, aku rasa kamu bisa mengingat ucapanmu sebelumnya.”

Ah, ya ... aku paham. Dia tidak mengizinkanku untuk tahu, maka kusimpulkan bahwa ini menyangkut hal pribadinya.

Aku pun manggut-manggut. Mencoba untuk tidak memedulikan, hanya fokus membuang pandangan—ke mana pun asalkan tidak beradu tatap dengannya.

Karena jalanan lumayan padat, hampir satu jam lebih akhirnya kami baru sampai di apartemen yang dimaksud Darius. Ketika kami berjalan masuk ke dalam lobby, penjaga apartemen menyambut ramah. Kunci diserahkan, koper diantar ke dalam.

Interior apartemen sederhana tapi bersih. Sofa abu-abu, dapur minimalis, dan kamar tidur berukuran pas. Darius menjatuhkan diri di atas ranjang, wajahnya tampak letih—sepanjang perjalanan dia menahan jerih, sampai pucat mangkrak di wajahnya.

“Aku akan mulai terapi lagi besok,” katanya, “Dan ... kalau kamu butuh pergi entah ke mana, aku tidak akan tanya.”

Aku menoleh, lantas mengangguk setuju. “Baiklah, aku mungkin akan beberapa kali keluar rumah atau bahkan menginap di luar.”

Kakiku hendak melangkah, siap membereskan pakaian dalam koper. Tetapi mendadak aku mendengar suara sesuatu—pergerakan cepat dari belakang, gerakan mengingsut dari ranjang yang kentara cepat sekali.

Tentu saja itu Darius.

“Jangan macam-macam, kamu—”

“Aku tahu, Mas,” kataku menyela ucapan, “Aku tidak mungkin lupa tentang apa yang pernah kamu ucapkan hari itu. Aku juga kan sudah bilang, aku tidak mungkin hamil oleh siapapun.”

Aku tidak menengok, tetapi aku yakin dia termenung sambil memasang wajah lega atau pasrah. Yang terpenting aku tidak mengingkari perjanjian di antara kami, aku hanya ingin mencari tahu letak titik benang merah yang mengikat hubungan mereka—mendiang Soraya dan Darius juga rahasia kelam keduanya.

Di balik senyap ini, kami sama-sama tahu … perjalanan baru telah dimulai. Kota ini akan menjadi panggung bagi ingatan yang kembali, dan rahasia yang akhirnya terkuak. Dan sebelum itu terjadi, aku harus memastikan bahwa aku telah berhasil memecahkan misterinya.

Menjelang malam, aku yang tak tahan—tanpa berpamitan lantas bergegas keluar dari apartemen. Aku ingin sekali datang ke rumah, yakin sekali bahwa di sana, di kamar mendiang kakak angkatku itu pasti menyimpan suatu petunjuk atau apapun yang bisa membawaku ke undakan selanjutnya.

Sebelum melewati ambang pintu, aku sekilas melirik ke arah ranjang. Darius tidur membelakangiku, entah dia masih terjaga atau pura-pura tidur. Kami tidak terlibat ucapan apapun lagi.

***

“Nerissa?”

Ibu menyambutku dengan tatapan bingung, terlihat dari keningnya yang mengerut. Aku tersenyum kikuk, mencoba tetap tenang ketika tahu saat ini aku tidak punya alasan apapun untuk menjelaskan mengapa aku datang ke sini.

“Lho, kenapa kamu kemari, Nak?” Ayah menyahut di belakang ibu, ikut kaget melihat kehadiranku.

Aku menarik napas. “Aku akan menginap beberapa hari di sini, tidak masalah kan?”

“Kenapa lagi?” Ibu langsung menyodorkan pertanyaan dengan raut tak suka.

“Apa kalian ada masalah?” Ayah ikut menambahi.

Aku menggeleng pelan. “Aku hanya rindu. Aku juga memiliki sesuatu yang perlu aku ambil di sini—maksudku, barang di kamarku. Karena—”

“Di mana suami kamu, Nerissa? Kamu tidak kabur dan meninggalkan dia hanya karena ingin kemari, kan?”

Aku tersenyum tipis. “Aku mana mungkin kabur, justru aku sudah berpamitan pada Mas Darius. Dia mengizinkan aku untuk menginap di sini. Karena Mas Darius sendiri juga punya urusan lain yang harus dia lakukan di sini.”

“Urusan lain?”

Bahuku terangkat naik seiring dengan kepala yang menggeleng pelan. “Aku tidak berhak tahu itu, Bu. Yang jelas, aku akan beberapa hari di sini.”

Usai menjelaskannya, tiba-tiba Ayah menggeser posisi Ibu agar tubuhnya yang berhadapan denganku. Lalu tanganku digandengnya, dituntun masuk—melewati Ibu yang terlihat masih tak terima dengan kedatanganku yang mendadak ini.

“Kamu boleh kemari kapanpun. Selagi memang Darius yang mengizinkannya. Karena bagaimanapun juga, dia itu suami kamu,” kata Ayah sembari menuntunku duduk di sofa.

Aku buru-buru menggeleng. “Boleh aku langsung masuk ke kamar? Aku merasa lelah sekali. Besok kita bicara lagi.”

Ayah memandangku cukup lama. Ibu di belakang menyusul. Aku meratapi keduanya secara bergantian, akhirnya Ayah mengangguk—seakan pasrah, padahal di wajahnya itu sudah terlihat sedang menyimpan banyak sekali pertanyaan. Kalau Ibu? Jangan ditanya, dia lebih dari cukup untuk dijelaskan.

Aku memang melesat ke kamar usai berpamitan tadi, tetapi aku tetap terjaga hingga jam satu malam. Aku tidak benar-benar pergi beristirahat, aku hanya menunggu hingga waktu memungkinkan agar aku bisa menyelinap masuk ke dalam kamar mendiang Soraya.

Mataku menyipit-nyipit persis ketika tanganku berusaha menekan gagang pintu, amat hati-hati agar tidak menimbulkan suara apapun. Sementara ruangan di sekitar hampir seluruh lampunya dimatikan, sehingga kini di sekelilingku tampak remang-remang.

Aku mengembuskan napas lega. Untungnya kamar ini tidak dikunci. Segera aku masuk, menutup pintunya kembali. Langkahku amat lamban, tanganku menggapai-gapai dinding untuk mencari saklar.

“Itu dia!”

Ketika terang menyinari kamar ini, tatapanku langsung jatuh pada meja kerja di depan ranjang, sebelah cermin besar yang menggantung di atas meja rias. Aku menarik kursi, lalu duduk di sana.

Sebuah laptop miliknya menjadi incaranku, segera aku hidupkan. Beruntung sisa baterai di sana cukup untuk membuatku mengacak-acak apa yang ada di dalam sana. Tetapi ternyata tak semudah itu, laptop tersebut terkunci.

Aku hampir menyerah, beberapa kali mencoba tetapi kata sandi yang kumasukan salah total.

“Haissh, bagaimana mungkin ini begitu menyulitkanku?” Aku bergumam sembari mengacak-acak rambut yang tak gatal.

Untuk mendinginkan kepala, aku pun mencoba beralih pada hal lain. Meninggalkan sejenak laptop tersebut, kini berfokus pada lemari yang membuatku merasa ada suatu hal di sana.

Sudah berulang kali aku membuka-buka laci lemari tua di kamar mendiang Soraya, tapi aku baru benar-benar menyentuh bagian paling bawah—di sana ada satu kotak kayu kecil yang terasa asing.

Itu sebuah keberuntungan karena kotaknya tak terkunci. Di dalamnya, tergeletak sebuah jurnal kulit berwarna merah tua. Halaman pertamanya kosong, tapi halaman-halaman berikutnya terisi oleh tulisan tangan Soraya yang rapi.

Sebagian besar isi jurnal itu adalah tulisan abstrak tentang kesehariannya, penggalan emosi, dan hal-hal personal yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Namun, di antara penggalan kata dalam catatan harian itu, aku menemukan sesuatu yang berbeda—kode tanggal, tempat, dan inisial-inisial nama yang tak kukenal.

“27 Januari – Toko Buku L – D, bicara soal keputusan besar.”

“14 Februari – Stasiun Bawah Tanah J – A Muncul lagi. Mata itu masih sama.”

“21 Maret – Pantai Senja B – Pertemuan terakhir dengan A. Aku tak sanggup menulis sisanya.”

Entah siapa “D” atau “A”, tapi catatan itu ditulis dengan ritme yang terlalu rapi, seolah Reina sedang mendokumentasikan sesuatu yang berat … dan berbahaya.

Sebetulnya masih banyak lagi kode tanggal, tempat dan inisial yang membingungkan di sana. Tetapi aku lebih berfokus pada beberapa halaman terakhir di buku—yang merujuk pada tanggal di mana sebelum dia mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.

Aku tahu langkahku belum panjang, tapi untuk pertama kalinya … aku merasa Soraya memang ingin aku menemukan sesuatu.

Dan aku tidak akan berhenti sebelum semua rahasia itu terbuka.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!