Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Sang Ayah Yang Menyayangi Putrinya
Beberapa hari telah berlalu.
Herald tetap menjalankan rutinitasnya seperti biasa—mengantar Clara keluar dari kamarnya dan mengajaknya berkeliling di sekitar Mansion. Dia ingin memastikan bahwa Clara terbiasa dengan lingkungan sekitarnya. Setidaknya, selama seminggu, dia harus bisa berjalan tanpa rasa canggung. Jika dia sudah merasa nyaman, bukan tidak mungkin suatu hari nanti Clara bisa bergerak lebih leluasa di dalam Mansion tanpa perlu bergantung pada orang lain.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan Clara semakin terlihat. Awalnya, dia hanya berjalan dengan penuh kehati-hatian, terkadang bahkan terlalu gugup untuk melangkah. Dia lebih sering diam, terlalu sibuk menyerap suasana sekitar yang selama ini hanya bisa dia bayangkan dalam benaknya. Namun, hari demi hari, dia mulai menunjukkan perubahan. Kini, dia lebih aktif bertanya kepada Herald tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi.
"Di mana kita sekarang, Herald?" pertanyaannya kerap kali muncul di sela-sela perjalanan mereka.
Herald merasa bahwa interaksi ini sedikit menghilangkan rasa bosannya. Setidaknya, percakapan mereka membuat hubungan mereka semakin akrab, dan secara tidak langsung, membawa Herald lebih dekat dengan tujuannya.
Di sisi lain, para pelayan serta prajurit yang biasa berlalu-lalang di sekitar Mansion mulai menyadari kehadiran Clara. Awalnya, mereka hanya mengamatinya dari kejauhan, sekadar lewat tanpa menyapa. Namun, lambat laun, mereka mulai memberanikan diri untuk menyapanya. Sapaan mereka memang singkat, dan Clara hanya membalasnya dengan kata-kata sederhana, tetapi itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa dia mulai terbuka terhadap dunia luar.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan pola yang sama. Herald masih rutin menemani Clara berkeliling. Ada kalanya dia berpikir untuk membawanya keluar dari Mansion agar bisa merasakan dunia luar yang lebih luas. Namun, keinginannya itu terhalang oleh satu kendala—dia belum mendapatkan izin dari Astalfo. Untuk saat ini, satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah membiarkan Clara mengenali Mansion lebih jauh. Meski begitu, dia tetap berharap suatu saat bisa menunjukkan lebih banyak hal yang mungkin bisa membuat Clara kagum.
Namun, ada satu hal lain yang masih terus mengusik pikirannya—kejadian saat Clara mengaku bisa melihat bunga Dandelion. Sejak saat itu, Herald beberapa kali mengujinya. Setiap kali mereka menemukan bunga yang sama, Clara akan mencoba untuk melihatnya lagi. Dia begitu yakin dengan apa yang pernah dia alami, seolah-olah itu bukan sekadar ilusi. Tapi hasilnya tetap nihil. Seberapa lama pun dia menatap bunga itu, seberapa sering pun dia mencoba, yang dia lihat hanyalah kegelapan yang sama seperti sebelumnya.
Clara mulai merasa frustrasi. Semakin sering dia mencoba dan gagal, semakin besar kebimbangannya. Dia tidak ingin percaya bahwa yang dia alami saat itu hanya sebuah delusi. Baginya, itu adalah sesuatu yang nyata—bunga dengan tangkai ramping dan bulu-bulu halus berwarna putih yang melayang saat disentuh. Gambaran itu masih jelas di kepalanya, seolah-olah terekam dalam ingatan yang tak mungkin pudar. Tapi kenyataan berkata lain. Dia tidak bisa melihatnya lagi, tidak peduli seberapa keras dia berusaha.
Herald, di sisi lain, semakin yakin bahwa kejadian itu hanyalah kebetulan atau sekadar permainan pikiran Clara. Meski dalam hatinya masih ada sedikit keraguan, dia memilih untuk tetap pada kesimpulannya. Dia tidak ingin memberikan harapan palsu. Setiap kali Clara mulai merengek dan meyakinkan bahwa dia benar-benar melihat bunga itu, Herald hanya bisa menenangkannya.
"Mungkin itu hanya imajinasimu, Clara," katanya berkali-kali.
Clara merasa lelah, begitu pula Herald. Ini adalah situasi yang tidak mudah. Tapi, suka atau tidak, mereka harus menghadapi kenyataan. Dan bagi Herald, ini adalah tugas yang lebih merepotkan dari yang dia bayangkan.
***
Di dalam ruangannya, Astalfo berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan tatapan lembut. Dari sana, ia melihat Clara berjalan di samping Herald, wajahnya tampak ceria, seolah menikmati setiap langkah yang ia ambil.
[Dia terlihat begitu bahagia.]
Senyum tipis terukir di wajahnya, namun sebelum ia sempat larut dalam pikirannya, suara langkah kaki terdengar mendekat. Tak lama kemudian, Hermas muncul dan menghampirinya.
“Tuan Astalfo, apa yang sedang Anda lakukan?” tanyanya dengan nada datar, tatapannya mengarah pada sosok majikannya yang berdiri diam di balik tirai jendela.
Astalfo perlahan menutup gordennya, lalu berbalik dengan ekspresi santai. “Aku hanya melihat-lihat putriku yang sedang berjalan-jalan. Dia terlihat sangat senang.”
Hermas mengangguk pelan. “Saya juga senang melihat perkembangan Nona Clara. Ini kemajuan yang luar biasa.”
Astalfo menyandarkan tangannya di dagu, lalu berpikir sejenak. “Mungkin dalam waktu dekat ini, aku akan mengadakan pesta untuknya. Ini adalah langkah besar baginya, dan aku ingin merayakannya.”
Mendengar hal itu, Hermas hanya menghela napas pelan. Ia sudah cukup lama bekerja untuk Astalfo, dan tentu saja ia tahu tabiat tuannya yang sering bertindak impulsif. Tanpa mengubah ekspresi, ia menunjuk ke arah meja kerja yang penuh dengan tumpukan dokumen.
“Ya, ya, ya… pesta nanti saja. Untuk sekarang, sebaiknya Anda selesaikan dulu semua dokumen ini. Ada banyak di antara mereka yang menunggu untuk diperiksa,” ujarnya dengan nada setengah bosan.
Astalfo melirik ke meja kerjanya dan langsung mendesah panjang. Wajahnya seketika berubah, seolah dunia runtuh di hadapannya. “Heh… kenapa setiap hari dokumen-dokumen ini semakin bertumpuk? Jangan-jangan mereka bisa berkembang biak?” keluhnya dengan ekspresi frustasi.
Hermas melipat tangannya di dada. “Yah, kalau cara kerja Anda masih malas seperti ini, wajar saja kalau dokumen-dokumen itu terus menumpuk. Jadi, mulai sekarang, Anda harus lebih cepat menyelesaikannya. Kalau tidak, saya ragu Anda akan bisa mengadakan pesta untuk Nona Clara.”
Seolah tertampar oleh kenyataan, Astalfo tiba-tiba bangkit dengan penuh semangat. “Aku akan menyelesaikannya secepat mungkin! Demi putri kesayanganku!!” serunya penuh tekad.
Tanpa membuang waktu, ia segera duduk di kursinya, mengambil pena, dan mulai memeriksa dokumen-dokumen satu per satu dengan kecepatan yang luar biasa.
Hermas mengangkat bahu, lalu kembali ke tempatnya. “Baiklah, waktunya aku bekerja juga.” Setelah berhasil memberikan sedikit dorongan motivasi, ia pun kembali tenggelam dalam pekerjaannya.
Tiga hari berlalu.
Astalfo telah berubah menjadi seorang pria yang nyaris tak pernah meninggalkan ruangannya. Hampir sepanjang hari ia habiskan di sana, berkutat dengan dokumen-dokumen yang seolah tak ada habisnya. Waktu tidurnya berkurang drastis, kantung matanya semakin jelas terlihat, namun ia tetap bertahan.
Pada suatu saat, ketika ia sedang beristirahat sejenak, kepalanya bersandar di kursi, dan pikirannya melayang ke hal yang tak terduga.
[Heh… aku tidak menyangka kalau tugas sebanyak ini akan membuatku terjebak di dalam ruangan ini. Rasanya seperti…]
Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya tersadar.
[Ini mirip seperti yang dilakukan Clara selama ini. Eh, tunggu… saat ini Clara sudah sering keluar dari kamarnya, sementara aku yang malah terkurung di sini. Kehidupan kami seperti… bertukar tempat.]
Astalfo menatap langit-langit dengan ekspresi campur aduk. Ia merasa aneh sekaligus takjub dengan perubahan ini. Tapi pada akhirnya, ia menggelengkan kepala dan menghela napas.
“Selama pestanya bisa terlaksana, hidup ini tak terlalu buruk,” gumamnya santai.
Saat itulah, tanpa sengaja matanya menangkap sesuatu—sebuah bingkai foto yang berdiri di atas meja. Perlahan, ia mengulurkan tangan dan mengambilnya.
Di dalam bingkai itu, terpampang gambar seorang wanita cantik dengan senyuman lembut yang tak pernah berubah meski waktu terus berlalu. Astalfo menatapnya lama, bibirnya perlahan membentuk senyum.
“Auriel-ku tersayang… kamu pasti sangat senang melihat anak kita yang kini lebih ceria. Aku memang tidak bisa melakukan banyak hal, tapi setidaknya, dia sudah bisa tersenyum dengan baik sekarang. Kuharap… kau bisa melihatnya dari sana.”
Ia menaruh kembali bingkai itu di tempatnya, lalu menoleh ke arah meja. Masih ada setumpuk dokumen yang belum tersentuh.
Astalfo menarik napas dalam-dalam, lalu mengepalkan tangan. “Baiklah, waktunya kembali bekerja. Sore ini semuanya harus selesai.”
Dengan semangat yang kembali menyala, ia pun kembali tenggelam dalam pekerjaannya, memastikan bahwa pesta untuk putrinya akan benar-benar terlaksana.
Sore pun tiba. Sesuai dengan tekad yang ia ucapkan sebelumnya, akhirnya semua tugasnya telah rampung. Namun, hasil dari kerja kerasnya itu membuatnya terkapar di atas meja, wajahnya menempel di atas tumpukan dokumen yang baru saja ia selesaikan. Tangannya masih menggenggam pena tanpa ia sadari, seolah tubuhnya belum rela melepaskan tugas-tugasnya sepenuhnya.
Tak lama setelah itu, pintu ruangan terbuka, dan Hermas masuk sambil membawa secangkir teh hangat di atas nampan.
“Permisi, Tuan Astalfo. Saya masuk,” katanya, berjalan mendekat dengan langkah tenang.
Namun, begitu melihat kondisi Astalfo yang tergeletak di meja, Hermas sedikit mengernyit. Ia memperlambat langkahnya, matanya melirik ke arah tumpukan kertas yang kini tersusun rapi. Setumpuk dokumen yang sebelumnya menjadi gunungan tak tersentuh kini telah berubah menjadi arsip yang terselesaikan.
[Ketika seseorang memiliki keinginan dan tekad yang kuat, tak ada satu pun rintangan yang bisa menghalanginya. Tuan Astalfo benar-benar bekerja keras.]
Hermas meletakkan cangkir teh di meja dengan hati-hati, lalu menepuk bahu Astalfo dengan ringan.
“Tuan… Tuan… bangun, Tuan. Tidak baik tidur di meja seperti ini.”
Astalfo mengerjapkan matanya, perlahan bangun dari posisi terlelapnya. Ia terduduk di kursinya dengan ekspresi setengah sadar, matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya melihat sosok Hermas yang berdiri di hadapannya.
“Oh, jadi kamu, Hermas… Kukira siapa,” gumamnya serak, suaranya masih terdengar malas. “Jadi, kenapa kamu membangunkanku?”
“Saya hanya datang mengantarkan minuman untuk Anda, sekalian ingin melihat bagaimana perkembangan pekerjaan Anda.”
Astalfo melirik ke samping dan menemukan secangkir teh hangat yang disediakan untuknya. Dengan gerakan lelah, ia meraih cangkir itu dan membawanya ke bibir. Begitu tegukan pertama menyentuh tenggorokannya, ia menghela napas panjang. Kehangatan teh itu seketika menjalar ke seluruh tubuhnya, sedikit demi sedikit mengembalikan kebugarannya.
Sementara Astalfo menikmati tehnya, Hermas melirik kembali ke arah dokumen yang telah tersusun rapi. Ia mengangguk kecil, ekspresinya menunjukkan rasa kagum.
“Sepertinya saya tak perlu bertanya lebih jauh. Anda benar-benar bekerja keras, Tuan,” ucapnya dengan nada tulus.
Astalfo menjauhkan cangkir dari bibirnya, lalu tertawa lepas. “Hahaha! Untuk putriku, aku akan melakukan apa saja! Hal semacam ini hanyalah tantangan kecil,” katanya dengan nada bangga. “Sekarang, pesta untuknya bisa segera digelar.”
Hermas tersenyum tipis. “Ya, pesta itu akan segera terlaksana. Saya sudah mempersiapkan semuanya.”
Keduanya kemudian terdiam, memandangi langit senja yang terbentang di luar jendela. Cahaya keemasan perlahan memudar, menandakan malam segera menjelang. Namun, di dalam hati mereka, harapan yang terang tengah menyala.
Pesta untuk Clara… hanya tinggal menunggu waktu.