NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20: Pertemuan ke-dua

"Bukan susah, Mah," ucapan Ryan terhenti karena suara seseorang memanggil mereka.

"Mamah....." Panggil cantika yang baru saja tiba di restoran tersebut bersama Raya yang ada di sampingnya, Raya terpaku menatap ke arah Ryan begitu pun dengan Ryan yang ikut terdiam saat melihat sang adik menggenggam tangan Raya.

"Akhh... Kalian sudah datang! Kemari, lah!" ujar Liu dengan senyum ramah yang sudah sangat familiar, seolah tidak ada yang berubah. Raya dan Ryan langsung mengalihkan pandangannya bersamaan, sebuah kejadian yang tentu saja membuat Liu dan Cantika bertanya-tanya.

•••

"Raya... Ayo duduk, sayang. Kita makan dulu, setelah itu ada yang ingin Tante katakan," ujar Liu, dengan nada yang lebih lembut. Raya pun duduk tepat di samping Ryan, yang kini langsung berhadapan dengan Liu dan Cantika. Keheningan sesaat menyelimuti meja, di mana hanya terdengar suara sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring.

Beberapa saat berlalu, mereka makan malam dengan tenang tanpa ada drama. Semua tampak berjalan seperti biasa, hingga akhirnya Liu membuka pembicaraan.

"Bagaimana kuliahmu, Raya? Apa semua baik-baik saja? Tante dengar sebentar lagi kamu akan wisuda?" Tanya Liu memulai pembicaraan dengan pertanyaan basa-basi yang biasa ia ajukan pada orang lain. Meskipun terdengar ringan, ekspresinya menunjukkan perhatian yang mendalam.

"Iya, Tante, semuanya baik-baik saja. Aku juga berharap bisa lulus tepat waktu," jawab Raya dengan senyuman yang tulus, namun sedikit ragu.

"Setelah jadi sarjana, kamu ingin melanjutkan kuliah S2 di universitas mana, sayang? Atau mungkin kamu punya rencana lain?" Tanya Liu lagi, mencoba menggali lebih dalam tentang masa depan Raya.

"Akhh... Itu dia yang ingin Raya sampaikan, Tante. Raya akan ikut dengan teman Raya pindah ke Bali, karena Raya punya impian untuk menjadi seorang penulis. Teman Raya akan membantu mewujudkan impian itu, jadi aku akan ikut bersamanya," ujar Raya, menarik napas sejenak, seolah mencari keberanian.

"Sebelumnya, terima kasih banyak untuk semua yang telah Tante berikan padaku. Jasa Tante tidak akan pernah aku lupakan. Setelah aku pergi, Tante bisa mengambil kembali rumah itu. Raya akan mengembalikan semuanya. Terima kasih banyak sekali lagi karena telah menampung Raya selama ini ," Suasana tiba-tiba terasa lebih hening. Setelah Raya mengucapkan kata-kata itu dengan penuh ketulusan, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti beban yang ingin segera dilepaskan. Liu, yang awalnya ceria, kini terlihat murung. Mimik wajahnya yang semula ramah dan penuh perhatian, kini perlahan berubah menjadi keheningan yang penuh tanda tanya.

Bukan hanya Raya, tapi juga Ryan dan Cantika yang ikut menyadari perubahan mimik wajah Liu yang tiba-tiba terlihat murung. Suasana di meja makan mendadak canggung, membuat Raya bingung dan merasa tidak nyaman.

"Tante... ada apa?" tanya Raya dengan nada ragu, menatap Liu yang menunduk. Liu menghela napas panjang sebelum menatap Raya penuh harap.

"Raya... boleh Tante minta satu hal?" tanyanya dengan suara pelan, namun terdengar jelas dalam keheningan malam itu.

"Iya, katakan saja, Tante. Ada apa?" tanya Raya lagi, kini sambil melirik Cantika, berharap mendapatkan petunjuk. Namun, Cantika hanya menjawab dengan gelengan kepala, terlihat sama bingungnya.

"Menikahlah dengan anak Tante..." Liu menarik napas panjang sebelum akhirnya mengucapkan permintaannya.

Kalimat itu membuat Raya terdiam seketika. Seolah waktu berhenti. Dia menatap Liu dengan mata membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bahkan Ryan yang sedari tadi sibuk menunduk memainkan sendok garpu kini menoleh, menatap ibunya tajam.

"Apa?" gumam Raya, suaranya hampir tidak terdengar.

"Tante hanya ingin meminta itu saja, Raya, Tante sudah tua dan sangat ingin memiliki cucu dari putra-putri Tante. Namun, di antara kalian, hanya Ryan yang sudah cukup umur untuk menikah. Sedangkan Cantika masih sangat muda, dan Tante serta suami Tante tidak akan pernah mengizinkannya menikah di usia semuda itu," ujar Liu dengan tatapan penuh harap.

Raya tidak bisa berkata apa-apa. Pikirannya berkecamuk. Dia tidak tahu harus merespons seperti apa. Tangannya bergerak gelisah di bawah meja, memainkan cincin yang melingkar di jari manisnya.

"Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku bahkan tidak mengenal pria itu, dan jelas-jelas dia tidak menyukai kehadiranku. Dari awal datang, dia bahkan tidak menyapaku, apalagi tersenyum," pikirnya.

"Raya, kamu mendengarkan ucapan Tante, kan?" Liu kembali bertanya, memastikan bahwa gadis itu benar-benar mendengar permintaannya.

"Iya, Tante," jawab Raya pelan, tanpa menatap langsung ke arah Liu.

"Jadi?" desak Liu, menunggu jawaban pasti. Raya hanya diam, tidak tahu harus menjawab apa. Situasi ini terlalu tiba-tiba untuknya. Liu yang menyadari kebingungan Raya, mencoba melunakkan nada suaranya.

"Raya... apa kamu sudah memiliki kekasih?" tanyanya hati-hati. Dan Raya hanya menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Tidak, Tante," jawabnya.

"Kalau begitu, apa tidak bisa kamu pertimbangkan permintaan Tante barusan? Kamu bisa memikirkannya terlebih dahulu," ujar Liu, tetap bersikeras pada keinginannya. Namun, sebelum Raya bisa merespons, Ryan yang sejak tadi diam akhirnya buka suara.

"Dia sudah punya kekasih, Ma. Jadi sudahlah. Apa yang Mama lakukan ini, memaksa orang lain seperti itu?" ucapnya dingin, nada suaranya terdengar tajam. Ucapan Ryan itu membuat semua orang di meja makan menoleh ke arahnya, termasuk Liu yang tampak terkejut. Cantika hanya bisa menghela napas panjang, berusaha meredam ketegangan di antara mereka.

"Ryan, kamu jangan mengada-ada," kata Liu, tetap tenang namun terdengar tidak percaya.

"Aku serius, Ma. Apa Mama percaya begitu saja kalau dia tidak punya kekasih? Dia pasti hanya tidak mau menyebutkan namanya di sini," jawab Ryan tanpa menatap siapa pun, memilih fokus pada piringnya. Liu mendengus pelan, mencoba mengabaikan argumen putranya.

"Kamu kenal dengan dia?" tanya Liu, menantang Ryan.

"Don't joke, Mom. Untuk apa aku mengenal dia?" jawab Ryan angkuh, kini menatap ibunya dengan ekspresi datar.

"Ryan, Mama hanya ingin kamu menikah. Raya itu wanita yang baik, pintar, dan Mama tahu dia akan menjadi istri yang tepat untukmu. Lagi pula, dari mana kamu tahu dia punya kekasih? Raya sendiri baru saja bilang kalau dia belum punya," ujar Liu, mencoba mengendalikan nada suaranya agar tetap lembut, meskipun jelas ada ketegasan di dalamnya.

"Aku..." ucapan Ryan terpotong oleh dering ponselnya. Tanpa menunggu lama, dia langsung mengangkat panggilan tersebut setelah melihat nama sang ayah muncul di layar.

"Ya, Papa, kenapa?" tanya Ryan, suaranya terdengar bingung.

"Bagaimana, Son? Semuanya lancar? Kamu suka dengan pilihan Ibumu?" tanya suara tegas Rudianto di seberang, dengan nada penuh harap.

"Tidak, aku tidak suka, Papa!" jawab Ryan tegas, tanpa ragu.

"Ryan... Ryan. Lagi dan lagi, di mana Ibumu? Kenapa dia tidak menjawab telepon papa?," desah Rudianto, terdengar kesal.

"Ah, iya... Mama ada di sini bersamaku. Mungkin dia lupa membawa ponselnya. Biar aku berikan ponselnya pada Mama," ujar Ryan sambil menyodorkan ponsel kepada Liu, yang terlihat enggan menerimanya. Liu akhirnya mengambil ponsel itu dengan ekspresi kesal.

"Halo... apa semuanya baik-baik saja?" tanya Rudianto dari seberang, nada suaranya terdengar cemas.

"Entahlah... sudahlah, jangan ganggu aku dulu. Aku kesal padamu," ujar Liu, berusaha menahan amarahnya.

"Honey, aku sudah minta maaf karena tidak bisa datang menemanimu ke sana. Ini bukan karena aku tidak ingin bertemu calon menantu kita, tapi pekerjaan ini benar-benar tidak bisa ditunda lagi. Tolong mengerti sedikit, ya?" ujar Rudianto mencoba membujuk, namun terdengar lelah.

"Jika memang tidak ingin terikat dengan hubungan yang rumit, jangan pernah menjalin komitmen! Kau itu seorang suami, dan aku istrimu. Tapi kau selalu seperti itu padaku—ingin bertindak sesuka hatimu, sementara aku harus selalu tunduk pada semua aturanmu!" ujar Liu dengan nada penuh emosi, suaranya terdengar gemetar karena amarah yang ditahannya.

"Tidak seperti itu, honey. Sungguh. Tolong mengertilah," pinta Rudianto, suaranya terdengar lemah dari seberang telepon, seolah mencoba meredakan ketegangan.

"Setiap hari yang ada di kepalamu hanya pekerjaan dan pekerjaan! Sesulit itukah bagimu membagi waktu untukku dan keluarga? Hari ini ada acara dengan klien ini, besok ada makan malam dengan klien itu, lalu apa lagi?! Selalu ada alasan untuk tidak hadir. Memang kamu tidak bisa diandalkan!" balas Liu dingin, suaranya kini semakin tajam, menandakan betapa kecewanya dia, lalu tanpa banyak bicara, dia memutus sambungan telepon itu.

Liu menghela napas panjang, pikirannya kembali terfokus pada Raya. Namun, yang ditunggu-tunggu jawabannya sedari tadi malah hanya diam membisu. Suasana kembali hening, membuat Liu semakin gelisah.

"Mah, sudah, jangan terburu-buru," (tiba-tiba Cantika angkat bicara, mencoba menenangkan ibunya) "Kak Raya mungkin membutuhkan waktu untuk memikirkan semuanya. Biarkan Kak Raya dan Kak Ryan saling berkenalan dulu. Ini pertama kalinya mereka bertemu, kan? Mama bahkan belum memperkenalkan Kak Ryan sama sekali pada Kak Raya. Bagaimana Kak Raya bisa membuat keputusan secepat itu?" ujar Cantika panjang lebar, nadanya terdengar tenang, namun tegas.

Liu terdiam, mencerna ucapan putrinya. Dia sadar, apa yang dikatakan Cantika memang tidak salah. Tujuannya mengundang Raya ke sini seharusnya untuk memperkenalkannya kepada Ryan. Namun, karena terlalu bersemangat dengan keinginan pribadinya, dia malah langsung membahas soal pernikahan. Liu kini mulai menyadari, tindakannya yang terburu-buru itu mungkin membuat Raya merasa tidak nyaman. Liu menghela napas lagi, menatap Raya yang masih menunduk, sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Maafkan Tante, Raya... Seharusnya Tante tidak langsung memaksamu untuk menjawab pertanyaan tadi," ujar Liu lembut, menatap wajah wanita muda di hadapannya dengan penuh penyesalan.

"Ah, tidak apa-apa, Tante. Maafkan juga Raya karena belum bisa langsung memberikan jawaban atas permintaan Tante. Raya hanya ingin memastikan semuanya matang terlebih dahulu. Raya ingin menikah hanya sekali seumur hidup, jadi Raya harus benar-benar mengenal siapa yang akan menjadi teman hidup Raya untuk menyusuri jalan kehidupan ini," jawab Raya dengan nada hati-hati, suaranya terdengar tulus. Liu tersenyum kecil, lalu mengangguk.

"Kamu benar, sayang. Rumah tangga itu seperti sebuah kapal yang akan berlayar. Kita harus memastikan apakah kapal yang kita tumpangi sudah tepat atau belum. Karena jika kita menaiki kapal yang salah, nahkoda tidak akan pernah menghentikan kapalnya di tengah lautan. Satu-satunya pilihan adalah bertahan di kapal yang salah itu atau... menceburkan diri ke laut. Maafkan Tante kalau sikap Tante tadi terlalu berlebihan," ujar Liu panjang lebar, nada suaranya berubah menjadi lebih lembut di akhir.

"Sudah, tidak apa-apa, Tante. Raya tidak mempermasalahkan hal itu. Hanya saja, Raya belum bisa menjawab sekarang." Raya membalas dengan senyuman tulus.

"Baiklah, kalau begitu... Sesuai tujuan awal Tante mengajakmu ke sini, Tante ingin mengenalkan mu pada putra Tante. Dia Raden Ryan Andriano Eza, putra pertama Tante," ujar Liu sambil melirik Ryan, seolah memberi isyarat agar dia bersikap lebih ramah. Ryan, yang sejak tadi terkesan acuh, akhirnya bersuara.

"Ryan," ujarnya singkat sambil menyodorkan tangan ke arah Raya.

Raya dengan ragu menjabat tangan itu, meskipun hatinya tidak sepenuhnya nyaman. Ada sesuatu dari Ryan yang membuatnya sedikit tegang, apalagi setelah dia menyadari bahwa pria itu adalah orang yang dia temui sebelumnya di jalan saat bersama Arka.

"Aku Raya. Salam kenal, Kak," ujar Raya dengan senyuman canggung. Namun, Ryan tidak memberikan respons lain. Dia hanya melepaskan jabatan tangan itu dengan cepat dan kembali ke posisinya semula.

"Ryan, antarkan Raya pulang ya ini sudah malam, tidak baik seorang wanita pulang sendiri semalam ini. Biar Mama dan Cantika pulang bersama," pintanya, menatap Ryan penuh harap. Namun, Raya buru-buru menolak.

"Tidak usah, Tante. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pula, jarak dari sini ke rumah tidak terlalu jauh. Aku bisa naik taxi saja," ujarnya cepat, tak ingin memperpanjang waktu berdekatan dengan Ryan.

"Tolong, Raya. Untuk kali ini dengarkan Tante, ya? Tante mohon," ujar Liu dengan ekspresi memelas. Wajahnya terlihat begitu muda meskipun dia selalu mengaku sebagai wanita tua, membuat Raya merasa tak enak hati untuk menolak. Sebelum Raya sempat membalas, Ryan tiba-tiba menyela.

"Sudahlah... Biar aku yang mengantarmu," ujarnya datar, membuat semua orang di ruangan itu terkejut. Mata Liu seketika berbinar, wajahnya langsung berubah bahagia. Senyum lebarnya tak bisa disembunyikan. Dia tahu betapa sulitnya membuat Ryan menurunkan egonya, terlebih dalam hal seperti ini. Bagi Liu, ini sudah cukup, setidaknya Ryan bersedia membantu.

Ryan sendiri, meski terlihat tenang di luar, sebenarnya merasa kesal dengan situasi ini. Dia tidak suka melihat ibunya memohon kepada siapa pun, apalagi kepada seseorang yang baru dikenal. Baginya, lebih baik dia menurunkan sedikit egonya daripada harus melihat Liu yang paling dia sayangi terlihat seperti itu. Walaupun di dalam hatinya, Ryan tetap merasa kesal dengan perjodohan yang dipaksakan ini.

"Baiklah... antarkan dia dengan selamat ya Ryan, Mama percaya padamu. Dan Raya, jangan takut pada Ryan. Dia laki-laki baik kok. Kalau dia macam-macam, katakan saja pada Tante, oke?" ujar Liu dengan nada lembut sambil memeluk Raya. Dia mencoba menenangkan suasana, meskipun tahu betapa canggungnya situasi ini bagi Raya.

Raya yang mendengar hal itu tidak memiliki pilihan lain selain menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju, meskipun hatinya merasa sedikit ragu. Dia tak nyaman berada dekat Ryan, namun ia berusaha terlihat biasa saja di hadapan Liu dan yang lainnya, berharap semuanya bisa berlalu dengan cepat.

"Yasudah, mah, aku akan pergi duluan. Mama hati-hati ya di jalan, kalau sudah sampai rumah kabari aku! Kamu juga, dek, jaga Mama," ujar Ryan sambil bangkit dari duduknya. Dia tidak menunggu lama, langsung beranjak menuju pintu.

"Ya iya, bawel... kau ini laki-laki tapi mulutmu cerewet sekali," balas Liu dengan senyum geli. Meskipun dia tahu Ryan tidak suka diatur, dia tetap merasa bangga pada putranya.

"Ayo," ujar Ryan sambil menatap Raya sekilas. Pandangan singkat itu cukup membuat Raya merasa canggung, namun dia berusaha tetap tenang. Raya pun berpamitan pada Liu dan Cantika sebelum akhirnya mengikuti Ryan keluar.

Selama perjalanan, suasana di dalam mobil sangat sunyi. Ryan fokus pada jalan, matanya tak lepas dari rute yang harus ia lalui, sedangkan Raya hanya terdiam, sesekali menatap ponselnya yang tidak memberikan kabar apa pun. Angin malam yang masuk melalui celah jendela sedikit mengalirkan kesejukan.

Mobil Ryan melaju dengan tenang di jalan yang tidak terlalu ramai, lampu-lampu jalanan menambah kesan sepi yang ada. Raya, yang terus memandangi layar ponselnya, merasa cemas namun tidak tahu harus berkata apa.

Jarak dari restoran ke rumah Raya memang tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di depan rumah Raya yang tampak sepi, dikelilingi oleh pepohonan yang melambai lembut tertiup angin malam.

"Terimakasih banyak, kak!" ujar Raya dengan tulus, namun niatnya untuk segera turun dari mobil terhenti ketika suara berat Ryan memanggilnya.

"Terima saja apa yang ibu saya katakan, jangan membuatnya kecewa," ujar Ryan dengan nada yang dingin, suaranya seakan menusuk ketenangan malam. Raya, yang sudah memegang gagang pintu mobil, terhenti sejenak. Tubuhnya sedikit menegang. Ia menunduk, berusaha mencari kata-kata yang tepat.

"Maaf, kak... Aku masih ingin mengejar mimpiku untuk menjadi penulis. Bukan aku tidak mau menuruti keinginan ibumu, tapi aku masih memiliki mimpi yang harus aku wujudkan," ujar Raya pelan, tanpa berani menatap Ryan.

"Saya tahu kamu memiliki kekasih, tapi saya yakin kamu bukan orang yang tidak tahu terima kasih, kan? Jangan terlalu banyak alasan. Lakukan saja. Saya mengatakan ini bukan karena saya menyukai kamu, tapi karena saya tidak ingin melihat orang tua saya kecewa " ujar Ryan yang berusaha untuk memojokkan Raya.

Raya terdiam, bingung harus mengatakan apa. Ucapan Ryan membuatnya merasa seolah hidupnya sedang dijadikan bahan taruhan, pernikahan yang dipaksakan demi kepentingan orang lain. Apakah hidup ini hanya lelucon bagi mereka, pikir Raya dalam hati.

"Maaf, kak... Aku harus memikirkannya terlebih dahulu. Dan ya, terima kasih sudah mengantarku," ujar Raya dengan suara yang hampir tak terdengar, segera keluar dari mobil sebelum Ryan mengucapkan kata-kata lain yang bisa membuatnya semakin bingung.

"Raya... iskh, dasar wanita sialan!" kata Ryan dengan geram, suara kesalnya terdengar jelas meskipun dia berbicara dengan sendiri. Perasaan kesalnya tak mampu mengalahkan prinsipnya pantang bagi Ryan untuk memohon pada siapapun. Apalagi, dia memang tidak menyukai kehadiran Raya sejak awal. Baginya, Raya adalah pembawa sial yang tak seharusnya datang di antara mereka.

"Sudah aku katakan dengan baik-baik, Raya, tapi ya sudah. Kita lihat saja nanti, semoga Mama berubah pikiran. Namun jika tidak, ya sudah. Mau tak mau, aku harus menerima wanita seperti mu," ujar Ryan, sambil memandangi punggung Raya yang semakin menjauh.

Raya, yang kini sudah berjarak beberapa langkah dari mobil, memutuskan untuk berjalan cepat menuju pintu rumah. Ia tidak menoleh lagi, berusaha menenangkan dirinya dari kekacauan perasaan yang baru saja terjadi. Setelah memastikan bahwa Raya benar-benar masuk ke dalam rumah, Ryan akhirnya melajukan mobilnya perlahan, meninggalkan halaman rumah Raya yang semakin jauh.

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!