Cerita ini berlatar 10 tahun setelah kejadian di Desa Soca (Diharapkan untuk membaca season sebelumnya agar lebih paham atas apa yang sedang terjadi. Tetapi jika ingin membaca versi ini terlebih dahulu dipersilahkan dan temukan sendiri seluruh kejanggalan yang ada disetiap cerita).
Sebuah kereta malam mengalami kerusakan hingga membuatnya harus terhenti di tengah hutan pada dini hari. Pemberangkatan pun menjadi sedikit tertunda dan membuat seluruh penumpang kesal dan menyalahkan sang masinis karena tidak mengecek seluruh mesin kereta terlebih dahulu. Hanya itu? Tidak. Sayangnya, mereka berhenti di sebuah hutan yang masih satu daerah dengan Desa Soca yang membuat seluruh "Cahaya Mata" lebih banyak tersedia hingga membuat seluruh zombie menjadi lebih brutal dari sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pasien Misterius
Jantungku terasa berhenti. Tubuhku mematung untuk beberapa saat. Keringat dingin mulai menetes di pelipisku. Hingga pada akhirnya tubuhku kembali bisa ku gerakkan, aku langsung menoleh dengan cepat untuk segera mengetahui siapakah pemilik suara serak yang mengerikan itu.
"Astrid?!" suaraku bergetar. Perasaanku menjadi bercampur antara lega, kesal, dan merinding secara bersamaan. Aku pun menghela napas panjang sembari memegang kedua pundaknya dan tertunduk lemas.
"Kenapa, Yang? Aku cuman bilang "cahaya yang indah" kok? Liat tuh bulannya," tukasnya heran.
"Kenapa suaramu bisa sangat mengerikan, Sayang?" ucapku lirih dengan kaki yang masih menopang tubuhku dengan lemas. Astrid berdehem sejenak, kemudian berucap,
"Mungkin dahakku tersangkut di tenggorokanku," jawabnya sembari terkekeh.
Aku kembali mengangkat kepalaku dan tersenyum kesal kepadanya. Aku pun menepuk lembut kepalanya untuk melampiaskan rasa kesalku kepadanya.
"Hei jangan perlakukan aku seperti anak kecil!" gerutunya sembari menepis tanganku. Aku langsung mencubit kedua pipinya yang memang agak tembem dan sekenyal jeli. Dia pun memekik dan meringis kesakitan. Yah walaupun aku tau itu hanyalah aktingnya saja.
"Inilah akibatnya jika kamu mengejutkanku lagi," ucapku dengan senyum menyeringai dan merasa puas sudah membuat kedua pipinya memerah. Astrid nampak menatapku tajam sembari memegangi kedua pipinya.
Aku kembali menepuk kepalanya pelan untuk meredakan emosinya walau tatapannya masih menatapku tidak senang. Dia langsung mencengkram tanganku dan menggigitnya. Aku tersentak dan meringis kesakitan bersamaan.
"Kamu yang membangunkan seekor harimau tertidur, berarti kamu juga yang harus menanggung amarahnya!" ucapnya dengan suara yang cukup mengerikan. Aku hanya tersenyum kikuk melihat tingkahnya saat ini.
Kami terlarut dalam candaan yang seperti dua orang anak kecil yang berada di tubuh orang dewasa. Kami saling mencubit, memukul gemas dan menepis setiap serangan yang dilancarkan.
"Hihihi udah ah, Yang! Nyerah aku ish," ucap Astrid menyerah dan menerima setiap serangan berbalut rasa sayang yang terus ku gempurkan kepadanya. Aku pun tersenyum puas dan menghentikan tindakanku.
"Memangnya kamu lagi ngapain sih? Kok sendirian disini?" tanya Astrid sedikit heran. Aku tertegun dan kembali teringat akan sosok berambut panjang terurai dengan baju putih yang sebelumnya berjalan di lorong ini.
"Aku tadi ngikutin seseorang yang agak aneh. Itu dia lagi di sana!" ucapku sembari menunjuk ke arah sebuah tempat tidur troli yang sekarang sudah tidak ada siapapun yang berdiri di sana.
"Loh? Eh?" aku tersentak. Pandanganku seketika menyisir ke area itu.
"Sayang? Kamu tidak apa-apa?" suara lembut Astrid mencoba untuk menenangkan hatiku yang gelisah.
"Tadi aku ngikuti seseorang, lalu dia nampak termenung di samping tempat tidur itu," sanggahku dengan tanpa menoleh dan telunjuk yang masih tertuju ke sana walau dengan bergetar.
"Mungkin kamu sudah kelelahan. Lebih baik kita istirahat dulu, ya?" ucapnya. Aku pun mengiyakan perkataannya sembari mengusap bola mataku.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara roda yang menggelinding pada lorong koridor yang ada di belakangku. Dengan cepat aku langsung menoleh ke sana. Di sana terlihat sebuah kursi roda yang berjalan pelan dengan tanpa seseorang yang duduk di atasnya dan seseorang yang mendorong di belakangnya.
Tubuhku membeku seketika. Mataku memandangi kursi roda tanpa awak itu. Jantungku berdegup tak karuan. Rasa cemas bercampur gelisah kembali menyelimuti. Pupil mataku terus tertuju pada kursi roda yang masih saja berjalan seakan ada seseorang yang mendorongnya dari belakang. Hingga akhirnya sebuah pilar yang ada di sisi lorong menghentikan pergerakannya.
Kursi roda memang sudah berhenti, tetapi itu masih belum cukup untuk meredakan rasa gelisahku. Pandanganku kembali tertuju pada sebalik lorong tempat di mana kursi roda itu berasal. Lorong itu nampak gelap. Dengan lampu temaram yang ada di atas langit-langit koridor, masih belum mampu untuk menerangi keseluruhan lorong itu. Nafasku masih tak beraturan yang membuatku tak mampu untuk menggerakkan kedua kakiku. Hingga sebuah suara besi yang dipukul secara berulang-ulang mengejutkan dan menyadarkan lamunanku.
"Klang! Klang! Klang!"
"Suara apa itu?" decakku.
"Suaranya ada di balik tembok itu!" seru Astrid sembari menunjuk ke arah pertigaan yang menghubungkan beberapa koridor.
Suara dentingan besi yang dipukul terus berbunyi berulang-ulang. Kami berdua menatapnya dengan hati yang masih bertanya-tanya sesuatu apakah yang bermain-main dengan itu. Aku tidak memiliki cukup keberanian untuk memeriksa ke arah sumber suara itu. Letaknya yang ada di sebalik tembok, tidak memungkinkanku untuk mengetahui dengan lebih jelas siapakah orang atau hewan yang memukul-mukul gerbang besi yang sebelumnya diam.
Besi yang berdenting lambat laun mengganggu penghuni rumah sakit yang lain. Beberapa orang mulai berdatangan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Hingga seorang pria bertubuh tegap datang dan bertanya dengan nada tegas kepadaku.
"Siapa yang berisik malam-malam begini hah?" ucapnya.
"Yah kau bisa mengecek dan melihatnya sendiri," jawabku dingin sembari memalingkan wajahku ke arah lorong dengan pencahayaan yang sedikit redup itu.
Dengan tanpa sepatah kata pun pria bertubuh tegap itu dengan percaya diri langsung berjalan lorong itu. Seluruh penghuni rumah sakit juga terlihat tegang dan tidak berkenan untuk menemani pria tegap itu. Suara benturan besi masih terus terdengar yang membuat langkah kaki pria tegap itu semakin cepat. Pria itu memasuki lorong dan sosoknya sudah sepenuhnya terhalangi oleh tembok.
Pria itu terdengar berteriak dengan tegas hingga mampu menghentikan suara pukulan besi berulang yang sedari tadi mengganggu ketentraman. Aku dengan cemas menunggu kejadian apa yang berikutnya akan terjadi. Suasana menjadi hening. Hanya suara desiran orang yang bercakap-cakap di kejauhan dan suara mesin yang menggeram lembut mengisi kekosongan. Untuk beberapa saat suasana hening ini terasa sedikit mencekam.
Tiba-tiba suara pria tegap itu terdengar seakan ingin menghentikan tindakan seseorang. Dia terus-menerus berucap dengan nada lantang diiringi suara langkah kaki yang berderap tak beraturan. Aku semakin penasaran tetapi rasa takut mengalahkan keinginanku untuk menyusul pria tegap itu.
Lalu, sebuah besi yang berdenting nyaring terdengar diikuti suara teriakan tegas pria itu. Kemudian terdengar sebuah tubuh yang dipukul oleh benda tumpul. Pria itu terdengar berteriak, tetapi suaranya seakan dipadamkan oleh rasa sakit yang menghantam. Aku dengan refleks ingin segera menghampiri pria tadi, tetapi rasa takut yang masih memeluk seakan menahanku untuk mengambil tindakan. Mataku masih membelalak tertuju pada lorong gelap.
Pria itu kembali berteriak tetapi dengan suara yang seakan tercekik dan tertahan di tenggorokannya. Samar-samar aku melihat genangan darah yang mengalir pada lantai di dalam kegelapan lorong itu. Aku sangat ingin beranjak pergi dari sini tetapi rasa penasaran seakan memaku tubuhku dan terus memaksaku untuk terus menanti kejadian berikutnya.
Hingga terlihat sebuah benda bulat menggelinding keluar dari lorong itu. Aku memperhatikan benda bulat itu dengan seksama. Hingga kusadari bahwa Itu adalah sebuah kepala dengan tanpa bola mata yang seharusnya bersarang di sana.