“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Mata Syanas langsung berbinar saat melihat beberapa buah segar yang menggoda.
“Bu, boleh aku petik buah ini?” tanyanya antusias.
Amara tertawa kecil. “Tentu aja nak. Sebanyak yang kamu mau.”
Tanpa pikir panjang Syanas meraih buah yang menggantung rendah dan memetiknya dengan senang hati. Namun saat hendak mengambil lebih banyak ia baru sadar satu hal penting.
“Eh, nggak ada wadah?”
Rangga yang baru saja datang langsung berseru, “Tenang mbak! Saya bawa!” dengan gerakan dramatis, ia mengangkat sebuah keranjang dari belakang punggungnya.
Namun sebelum Rangga sempat memberikan keranjangnya ke Syanas, Kahfi sudah lebih dulu mengambilnya dengan ekspresi datar. “Biar aku yang bawa.”
Rangga berkedip lalu menatap Kahfi dengan tatapan menyelidik. “Gus, kok kamu keliatan buru-buru banget?”
Syanas melirik Kahfi dan menyadari sesuatu. Lelaki itu memang tampak biasa saja, tapi tangannya mencengkeram keranjang itu sedikit terlalu erat.
Syanas menyipitkan mata.
Sedangkan Rangga yang tampaknya menangkap momen ini, tiba-tiba menaruh tangan di dadanya dengan ekspresi dramatis. “Aduh! Kalau gitu mbak, saya nggak mau basah basi lagi nih. Gimana kalau mbak jadi istri saya? Biar saya punya seseorang yang bisa petik buah bareng setiap hari!”
Syanas membelalak.
Kahfi langsung menoleh ke Rangga dengan tatapan tajam, sementara lelaki muda itu hanya menyeringai, memberi isyarat kecil kepada Syanas.
Syanas sempat berpikir sejenak. Apa Kahfi cemburu? Tidak mungkin. Mana mungkin seorang Kahfi cemburu karena dirinya? Tapi ini kesempatan bagus untuk mengetesnya.
Dengan senyum jahil, Syanas melipat tangan di dada dan menatap Rangga dengan pura-pura mempertimbangkan. “Hmm, jadi maksudmu, aku harus ninggalin suamiku?”
Rangga mengangguk penuh semangat. “Betul! Saya yakin saya bisa jadi suami yang lebih perhatian, dan lebih baik mbak! Gimana mbak?”
Syanas melirik Kahfi. Lelaki itu tetap diam, tapi ada otot yang menegang di rahangnya. Tangannya masih mencengkeram keranjang, dan jelas sekali kalau ia tidak suka dengan arah pembicaraan ini.
Syanas menahan senyum. Ini benar-benar menarik.
“Hmm... tawaran yang cukup menarik.” Syanas pura-pura berpikir keras sambil menatap Rangga seolah sedang mempertimbangkan dengan serius. “Tapi masalahnya....” Syanas melirik Kahfi lagi, dan menunggu reaksi lebih lanjut.
Dan tepat seperti dugaannya, tiba-tiba Kahfi bergerak. Dengan gerakan cepat, ia menarik pinggang Syanas mendekat ke sisinya sambil menatap Rangga dengan sorot mata yang lebih tajam.
“Istriku nggak butuh suami lain,” ucap Kahfi tenang, tapi ada ketegasan yang tak bisa disangkal dalam suaranya.
Syanas tersentak. Oke, ia tidak menduga Kahfi akan bereaksi sejauh ini.
Rangga tertawa puas. “Jadi beneran kamu cemburu ya Gus?”
Kahfi mendengus pelan. “Kamu taukan saya ini suaminya?”
“Semua orang sudah tau kok Gus.”
“Kalau tau, jangan coba-coba merayu istri orang. Masih banyak gadis di desa ini yang lebih pantas untuk kamu nikahi.”
Rangga pun semakin tertawa. “Saya hanya bercanda aja kok Gus.”
Syanas merasa wajahnya mulai memanas.
Rangga semakin menggoda. “Yaudah deh, kalau gitu aku nyari istri lain aja. Mbak Syanas udah diklaim duluan.” Rangga begitu saja pergi.
Syanas terkikik kecil sementara Kahfi hanya menghela napas panjang, melepaskan Syanas dengan sedikit enggan.
Syanas pun kembali menatap Kahfi dengan pandangan lebih tajam, mencoba mencari kepastian. Namun lelaki itu langsung mengalihkan tatapannya, seakan menolak memberikan jawaban.
Dan seakan ingin menyembunyikan reaksinya lebih jauh, Kahfi menyerahkan keranjang itu ke tangan Syanas dengan ekspresi datar. “Pegang sendiri.”
Syanas terkejut. “Eh?”
Namun sebelum ia bisa berkata lebih lanjut, Kahfi sudah berbalik dan pergi begitu saja.
Namun sebelum Kahfi benar-benar menjauh, Rangga kembali datang dan berdiri di dekat Syanas dengan seringai usilnya. “Mbak, masih ada waktu kalau mau pertimbangkan tawaran saya lho. Saya siap jadi suami siaga!”
Syanas baru saja hendak membalas, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, bayangan Kahfi sudah kembali ke arahnya. Langkahnya cepat, tatapannya tajam, dan tanpa banyak bicara, tangannya langsung mencengkeram pundak Rangga dengan cukup kuat.
“Udah waktunya Ashar. Ke mushola,” ucap Kahfi datar, tapi nada perintah dalam suaranya tidak bisa diabaikan.
Rangga berkedip lalu mendecak pelan. “Tapi saya belum selesai Gus. Usahakan nggak membuat kita menyesal nantinya.”
Kahfi tidak menjawab, hanya menarik Rangga menjauh dari Syanas dengan paksa. Namun, meskipun digiring pergi, Rangga masih sempat menoleh ke Syanas dengan ekspresi menggoda.
“Mbak, pikirkan lagi ya tawaran saya!” godanya dengan senyum penuh arti.
Syanas hanya menghela napas dan menggeleng pelan, berusaha untuk tidak memikirkan keusilan lelaki itu. Tapi matanya tetap mengikuti sosok Kahfi yang menarik Rangga menjauh.
Bahunya yang tegap, cara jalannya yang sedikit lebih tegas dari biasanya semua itu membuatnya semakin menyadari sesuatu yang sebelumnya selalu ia abaikan.
Amara yang sedari tadi mengamati hanya tersenyum geli. “Begitulah kalau lelaki menyukai seseorang.”
Syanas menegang sejenak lalu mengerutkan kening. “Maksudnya bu?”
Amara menatap Syanas lembut, seolah tak ingin memaksa menerima sesuatu yang belum siap ia pahami. “Kamu pasti sudah menyadarinya kan?”
Syanas hanya diam, tidak memberikan jawaban. Ia ingin menyangkal, ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu semua hanya permainan Rangga.
Tapi bayangan Kahfi yang tadi begitu protektif, genggamannya yang kuat di pundak Rangga, cara ia menahan diri meski jelas-jelas tidak suka, semua itu terus bermain di kepalanya.
Syanas menggigit bibir. Apakah mungkin Kahfi benar-benar menyukainya?
Namun sebelum ia bisa menemukan jawaban, suara adzan ashar berkumandang dari kejauhan. Amara tersenyum kecil lalu menepuk bahu Syanas pelan.
“Ayo, kita ke mushola juga,” ajaknya.
Syanas hanya mengangguk, tapi pikirannya masih tertinggal di satu hal.
Setelah sampai di sana, Syanas memperhatikan gerak-gerik Kahfi dengan sengaja. Entah sejak kapan ia mulai menyadari ada yang aneh dengan lelaki itu.
Tatapannya yang biasanya tajam dan menusuk kini lebih sering menghindar. Bahkan saat mereka berada dalam jarak dekat, Kahfi seakan berusaha mengalihkan pandangan, seperti tidak ingin matanya bertemu dengan milik Syanas.
Syanas menyipitkan mata, semakin menajamkan pengamatannya. Kahfi tetap bersikap datar, seperti biasa, namun ada sesuatu yang terasa berbeda.
Gerakannya sedikit lebih kaku, nada suaranya lebih singkat, dan ada jeda kecil di antara responsnya, seolah ia tengah menahan sesuatu.
Tidak mungkin, pikir Syanas. Tidak mungkin Kahfi benar-benar menyukainya. Lelaki itu selalu membuatnya menderita. Perkataannya sering tajam, perhatiannya sekilas saja, dan sikapnya? Jelas bukan sikap seorang lelaki yang tertarik pada istrinya sendiri.
Mungkin ini hanya akting. Ya, pasti begitu. Mungkin Kahfi hanya ingin membuat hubungan mereka terlihat harmonis di mata orang lain.
Atau mungkin ini hanya kebetulan belaka. Tidak ada alasan baginya untuk percaya bahwa Kahfi menyimpan perasaan lain di luar kewajiban sebagai suami.
Syanas mengangguk pelan. Itu sepertinya yang lebih masuk akal. Tidak ada yang berubah, tidak ada yang istimewa. Semuanya hanya permainan peran yang harus mereka jalani. Hanya itu.
Namun, entah mengapa, semakin ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, semakin hatinya terasa berat.