Enzio Alexander Pratama, pria 28 tahun dengan kekayaan dan status yang membuat iri banyak orang, ternyata menyimpan rahasia kelam—ia impoten.
Sebuah kecelakaan tragis di masa lalu merampas kehidupan normalnya, dan kini, tuntutan kedua orangtuanya untuk segera menikah membuat lelaki itu semakin tertekan.
Di tengah kebencian Enzio terhadap gadis-gadis miskin yang dianggapnya kampungan, muncul lah sosok Anna seorang anak pelayan yang berpenampilan dekil, ceroboh, dan jauh dari kata elegan.
Namun, kehadirannya yang tak terduga berhasil menggoyahkan tembok dingin yang dibangun Enzio apalagi setelah tahu kalau Anna adalah bagian dari masa lalunya dulu.
Bahkan, Anna adalah satu-satunya yang mampu membangkitkan gairah yang lama hilang dalam dirinya.
Apakah ini hanya kebetulan, atau takdir tengah memainkan perannya? Ketika ego, harga diri, dan cinta bertabrakan, mampukah Enzio menerima kenyataan bahwa cinta sejati sering kali datang dari tempat yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. TigaPuluhSatu
Suasana klub malam itu riuh dengan suara musik yang menghentak dan lampu-lampu berkelap-kelip. Di sudut ruangan, Viona duduk sendirian di meja bar dengan gelas berisi minuman keras di tangannya.
Cairan keemasan itu sudah kesekian kali ia teguk malam ini, namun rasa pahit yang menyesakkan dadanya tidak juga hilang.
“Aku benci kalian!” seru Anna. Kepalanya terasa berat, pikirannya kacau. Seminggu yang lalu, hidupnya masih terasa normal atau setidaknya ia berpikir demikian. Tapi setelah kebenaran terungkap bahwa Anna adalah kakak kandungnya dan Laras adalah seorang buronan polisi, dunianya seketika runtuh.
Seumur hidup, Viona percaya bahwa ia adalah putri tunggal dalam keluarga kecilnya. Ia tidak pernah menyangka bahwa selama ini Laras menyembunyikan begitu banyak hal darinya. Yang lebih menyakitkan lagi, setelah semua ini terbongkar, sikap Bima terhadapnya semakin dingin, seakan-akan ia adalah beban.
Viona menghela nafas panjang, menatap kosong ke dalam gelasnya. Apa salahnya? Apa hanya karena ia anak Laras, maka ia harus dihukum seperti ini? Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang ingin jatuh. Tidak. Ia tidak akan menangis.
“Berikan aku satu gelas lagi!”
“Sudah cukup, Viona.”
Viona menoleh dengan malas, matanya yang sedikit sayu menatap sosok pria tinggi yang kini menatapnya tajam.
Theo.
Pria itu masih mengenakan jas hitam, wajahnya serius dengan rahang mengeras.
Viona mendengus, kembali meneguk minumannya. “Kenapa kamu ada disini?” tanyanya dengan nada malas.
Theo melipat tangannya di dada. “Aku yang harus bertanya. Kenapa kamu terus menghancurkan dirimu seperti ini?”
Viona tertawa sinis. “Kamu mengikutiku?”
Theo tidak menjawab. Ia memang sengaja mengikutinya. Kemarin, ia kebetulan melihat Viona keluar dari rumah dengan wajah penuh kemarahan, dan entah kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang memaksanya untuk memastikan gadis itu baik-baik saja.
Dan sekarang, melihat keadaan Viona yang nyaris tidak sadar akibat alkohol, ia semakin yakin bahwa keputusannya benar.
“Ayo pulang.”
Viona menatapnya tajam. “Aku tidak butuh ceramahmu, Theo. Aku bukan anak kecil.”
“Aku tidak bilang kamu anak kecil. Tapi lihat dirimu. Mabuk seperti ini, duduk sendirian di klub malam, tanpa peduli apa yang bisa terjadi padamu.”
Viona mengangkat gelasnya dengan tangan gemetar. “Lalu? Kalau aku ingin menghancurkan diriku sendiri, apa urusanmu?”
Theo meraih gelas itu dari tangannya dan menaruhnya di meja dengan kasar. “Urusanku karena aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal bodoh.”
Viona tertawa kecil, tapi matanya berkaca-kaca. “Lucu sekali. Sejak kapan kamu peduli padaku? Padahal keluargaku sendiri tidak peduli.”
Theo terdiam.
“Ayahku memperlakukanku seperti sampah.” Suara Viona terdengar lirih, nyaris tenggelam oleh dentuman musik. “Dia tidak pernah menganggapku ada. Seolah aku hanya beban dalam hidupnya.”
Theo menatap gadis itu dengan sorot mata yang lebih lembut. Ia memang tidak terlalu mengenal Viona sebelumnya, tapi melihatnya dalam kondisi seperti ini membuat hatinya sedikit tersentuh.
“Aku mau ke toilet,” gumam Viona sebelum berjalan menjauh. Theo langsung mengikutinya.
Viona hampir tersandung saat berjalan, tubuhnya oleng karena mabuk berat. Sesampainya di toilet, ia masuk dengan tergesa-gesa, lalu terdengar suara muntahan dari dalam.
Theo berdiri di luar dengan gelisah. Ia tidak bisa meninggalkan Viona dalam keadaan seperti ini.
Beberapa menit kemudian, Viona keluar dengan wajah pucat. Keringat dingin membasahi dahinya. Theo dengan cepat menangkap lengannya sebelum gadis itu jatuh.
“Sudah selesai?” tanya Theo pelan.
Viona tidak menjawab. Kepalanya masih terasa pusing, tubuhnya lemas.
Theo menatapnya dalam diam. Untuk pertama kalinya, ia melihat Viona bukan sebagai gadis yang sombong atau penuh percaya diri, melainkan sebagai seseorang yang hancur dan tersesat.
“Ayo, aku antar.”
Viona menggeleng lemah. “Tidak perlu. Aku belum selesai.”
Theo menghela napas panjang, lalu tanpa aba-aba, ia meraih tubuh Viona dan menggendongnya.
“Hei! Apa yang kamu lakukan?!” Viona mencoba meronta, tapi terlalu lemah untuk melawan.
“Jangan berisik!” Theo melangkah keluar dari klub malam itu.
Viona tidak punya tenaga untuk membalas. Dalam hati, ia merasa lega karena ada seseorang yang peduli. Meskipun ia tidak ingin mengakuinya, malam ini, Theo menjadi satu-satunya orang yang menahannya agar tidak jatuh lebih dalam.
__________
Viona melangkah turun dari mobil dengan tubuh yang masih sedikit limbung akibat alkohol. Rasa pusing masih menggelayut di kepalanya, tapi ia tetap berusaha tersenyum tipis ke arah Theo yang berdiri di samping mobilnya.
“Terima kasih, Theo. Aku bisa masuk sendiri,” ucapnya pelan.
Theo hanya mengangguk, tapi sorot matanya tetap tajam, memperhatikan setiap gerak-geriknya.
Viona melangkah menuju pintu rumah dengan langkah berat. Ia mengira malam ini akan berakhir begitu saja, bahwa ia hanya perlu tidur untuk melupakan semuanya. Namun, begitu ia membuka pintu, sambutan yang ia dapatkan bukan kehangatan rumah, melainkan—
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipinya, membuat kepalanya menoleh ke samping.
Viona membeku. Rasa panas menjalar di pipinya, tapi yang lebih menyakitkan adalah siapa yang menamparnya.
Bima.
Ayah yang selama ini ia hormati dan kagumi, kini berdiri di hadapannya dengan mata penuh amarah dan kekecewaan.
“Kamu pergi ke klub malam?!” suara Bima menggelegar. “Berani-beraninya kamu mempermalukan keluarga ini!”
Viona masih terdiam, tidak percaya bahwa ayahnya baru saja menamparnya. Jantungnya berdegup kencang, dadanya terasa sesak.
“Aku hanya ingin melupakan semuanya, Pa. Melupakan Enzio.”
Bima tertawa sinis. "Melupakan Enzio? Kamu pikir masalahmu akan selesai dengan minum-minum di klub?! Kamu pikir aku akan terus menanggung aib yang kamu bawa?!”
“Aib?” Viona menatap ayahnya dengan mata melebar.
Bima menghela napas panjang, menatapnya dengan penuh kemarahan sekaligus jijik. “Mungkin memang sudah waktunya aku mengatakan ini padamu. Kamu bukan anakku, Viona.”
Dunia Viona seakan berhenti berputar.
“Apa…?”
Bima menatapnya tajam. “Ketika aku menikahi Laras, dia sudah hamil. Aku tidak tahu kamu anak siapa, dan jujur saja, aku tidak peduli. Aku hanya bertahan selama ini karena mengira kamu masih bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Tapi melihat sikapmu sekarang, aku tidak yakin lagi.”
Viona merasa dadanya diremas. Rasanya seperti seseorang baru saja mencabut nyawanya.
Selama ini, ia sudah merasa bahwa Bima selalu bersikap dingin padanya, seakan-akan ia hanyalah beban. Tapi tidak pernah ia membayangkan bahwa ia bukan anak kandungnya.
Viona mundur selangkah, tangannya bergetar. “Jadi, selama ini kamu membenciku karena aku bukan darah dagingmu?”
Bima tidak menjawab. Viona tertawa getir, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku selalu berusaha membuatmu bangga. Aku selalu mencoba menjadi anak yang baik. Tapi kamu tidak pernah melihatku, kan? Kamu hanya melihatku sebagai kesalahan ibuku.”
Hujan mulai turun di luar. Suaranya menggema di antara keheningan yang menyakitkan.
Viona tidak bisa bernapas. Rumah ini, yang selama ini ia anggap sebagai tempatnya kembali, kini terasa seperti tempat paling asing di dunia.
Dengan langkah terburu-buru, ia berlari keluar rumah tanpa mempedulikan hujan yang semakin deras. Air mata bercampur dengan tetesan hujan yang membasahi wajahnya. Tubuhnya menggigil, tapi rasa sakit di hatinya jauh lebih menyakitkan daripada dinginnya hujan malam ini.
Hingga tiba-tiba, seseorang menutupi tubuhnya dengan sebuah payung.
Viona menoleh, dan di hadapannya, Theo berdiri dengan tatapan penuh kekhawatiran.
“Kamu masih di sini?” tanya Viona.
Theo tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangan dan menarik Viona ke dalam pelukannya. Seakan semua pertahanannya runtuh, Viona menangis sejadi-jadinya di dada Theo. Tangis yang selama ini ia tahan, kini pecah tanpa bisa dikendalikan.
“Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang…” isaknya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
theo Viona
ada apa dengan kalian 🤭
Apa kah Anna dan Viona satu papa yaitu Pras 🤔
bisanya hanya maksa.
viona jadi benalu antara dirimu dan zio syg