"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lily merasa lebih terperangkap dalam ruangan yang sempit dan hangat, dengan udara yang terasa berat dan menekan. Suara napas Zhen terdengar seperti ombak yang menghantam pantai, membuatnya merasakan jantungnya berdebar lebih cepat.
Sentuhan kulit Zhen terasa seperti api yang membakar, membuatnya merasakan keinginan yang tidak terkendali. Lily menatap Zhen dengan mata yang bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Zhen menatap Lily dengan mata yang tajam, seperti seekor predator yang siap menyerang.
Lily masih terperangkap dalam ciuman itu, napasnya memburu, pikirannya kosong, dan hanya menyadari satu hal, Zhen semakin dekat, semakin dalam, semakin menuntut. Air hangat di sekitar mereka tidak bisa mengalahkan panas yang menjalar di tubuhnya.
Ciuman itu akhirnya lepas, dengan Lily terengah-engah. Jari jemari Zhen perlahan bergerak ke kancing bajunya, Lily tersentak. Ia merasakan sentuhan dingin jemari pria itu yang begitu kontras dengan kulitnya yang memanas.
Jantungnya berdebar semakin liar, dan matanya membesar saat menyadari apa yang sedang terjadi.
Zhen tidak berbicara, hanya menatap dengan mata gelap yang dalam, seakan membaca setiap keraguan yang berkecamuk di pikiran Lily. Jemari Zhen yang panjang dan kuat menyentuh kancing pertama, membuka dengan gerakan yang lambat namun pasti.
Lily menahan napas. Ia tahu ia seharusnya mengatakan sesuatu, menghentikan atau setidaknya mengungkapkan pikirannya, tetapi tubuhnya seakan menolak perintahnya sendiri.
Kancing kedua terbuka.
Udara di antara mereka semakin menipis. Lily merasa tubuhnya gemetar ringan, bukan karena takut, tetapi karena sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
Matanya bertemu dengan mata Zhen, tetapi pria itu tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan ketegangan berbicara lebih banyak dari pada kata-kata.
Saat kancing ketiga terbuka, Lily tanpa sadar menggigit bibir bawahnya, mencoba mencari alasan untuk menghentikan semua ini, tetapi tubuhnya tetap diam, tenggelam dalam arus yang diciptakan Zhen.
Dan saat kancing terakhir terbuka, Lily sadar bahwa ia telah melewati batas yang selama ini ia jaga.
Perlahan tapi pasti, Zhen melepaskan pakaian Lily, membiarkan pakaian itu jatuh ke lantai tanpa suara. Di hadapan Zhen keindahan seakan terukir dengan sempurna. Garis-garis lembut dan lekukan halus membangkitkan gairah di antara mereka.
Tatapan Zhen menggelap, napasnya sedikit lebih dalam. Ada sesuatu dalam cara ia memandang Lily, seolah tidak bisa menahan diri di tengah ketegangan yang semakin menyesakkan ruangan di antara mereka.
Jemari Zhen bergerak perlahan, menyusuri kulit Lily yang kini lembap oleh air hangat. Sentuhannya ringan, hampir seperti belaian angin, tetapi meninggalkan jejak panas di setiap inci yang ia sentuh.
Dengan sabun yang mulai berbusa di tangannya, ia mengusap bahu Lily dengan gerakan lambat dan penuh kendali, seolah benar-benar ingin membersihkan tubuh wanita itu, namun di saat yang sama menikmati setiap momen yang terjadi.
Lily menahan napas ketika jari-jari Zhen turun, mengelus lembut sepanjang lengannya sebelum bergerak ke punggung, membiarkan buih sabun meluncur bersama aliran air.
Setiap sentuhan terasa lebih dari sekadar membersihkan, ada sesuatu dalam caranya menyentuh, seakan mengukir setiap lekuk tubuhnya dalam ingatan.
Lily menggigit bibirnya, menatap Zhen dengan keraguan yang memenuhi dadanya. Napasnya tidak beraturan, dan suara gemuruh di kepalanya semakin membuatnya bimbang. Kini ia tidak bisa menahan lagi. "Tuan. Apa anda benar-benar ingin melakukan ini?"
Zhen tidak langsung menjawab. Dengan gerakan tenang, ia menarik tubuh Lily lebih dekat, membawanya duduk di atas pangkuannya.
Lengannya melingkari pinggang wanita itu dengan santai, tetapi ada kekuatan dalam genggamannya yang membuat Lily tidak bisa bergerak.
Mata mereka bertemu. Sorot mata Lily penuh kebingungan, sementara tatapan Zhen tetap tak terbaca.
"Apa kau akan menolak tradisi itu?" tanyanya datar, tapi dalam nada suaranya tersirat tantangan yang membuat Lily semakin sulit bernapas.
Lily menelan ludah. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-katanya seakan tersangkut di tenggorokan. Perasaan berperang di dalam dirinya, antara apa yang ia yakini dan apa yang kini terjadi di hadapannya.
Jantungnya berdebar tak menentu ketika pertanyaan lain meluncur dari bibirnya, kali ini lebih ragu, lebih dalam.
"Jika suatu saat saya mengandung anak anda, bisakah anda menepati janji? Meskipun di kemudian hari anda ingin memiliki atau menikahi wanita lain. Bisakah anda tetap menjadi seorang ayah yang baik?"
Keheningan menyelimuti ruangan. Uap air masih mengambang di udara, tetapi hawa di antara mereka terasa jauh lebih berat.
Zhen tidak langsung menjawab. Matanya menatap Lily dengan dingin, begitu dalam hingga rasanya menusuk ke dalam hati wanita itu.
Lily merasakan harapannya perlahan runtuh. Ia tahu, ia seharusnya tidak berharap terlalu banyak. Zhen adalah pria yang sulit ditebak, dan mungkin ia tidak akan pernah bisa mendapatkan jawaban yang diinginkannya.
Dengan lemas Lily menundukkan kepalanya, seakan pasrah dengan pikirannya sendiri.
Namun, tiba-tiba jemari Zhen terangkat, perlahan menarik dagu Lily agar kembali menatapnya. Mata tajam pria itu mengunci pandangannya, kali ini lebih dalam, lebih serius.
"Aku sudah berkata di awal," suaranya terdengar rendah, nyaris berbisik di udara yang masih dipenuhi uap tipis. "Aku akan bertanggung jawab dalam bentuk apa pun. Untuk apa aku menikahimu kalau aku tidak mengakui anak yang akan kau lahirkan?"
Lily menahan napas. Matanya yang mulai memanas tidak bisa berbohong tentang perasaannya saat ini.
Sebuah senyum tipis terbentuk di bibirnya, tetapi di baliknya, hatinya terasa begitu berat. Air mata yang sejak tadi ia tahan, perlahan terbendung di pelupuk matanya, siap jatuh kapan saja.
Zhen menatap Lily dalam diam, seakan menunggu reaksi yang tidak kunjung datang dari wanita itu. Sorot matanya tetap tajam, tetapi ada sesuatu yang berbeda di sana, sesuatu yang membuat Lily tidak bisa berpaling.
Tanpa peringatan, Zhen mencondongkan tubuhnya, mendekat dengan perlahan. Lily seharusnya menghindar, seharusnya mendorongnya, tetapi tubuhnya tetap diam di tempat. Ia bahkan tidak bisa berpikir jernih saat napas hangat pria itu menyapu kulitnya.
Kemudian, bibir Zhen menyentuhnya.
Lily terkejut, tetapi bukan karena keterpaksaan atau ketakutan. Ada sesuatu dalam ciuman itu yang membuat dadanya terasa lebih ringan, seakan beban yang selama ini menghimpitnya perlahan menghilang.
Ia tidak mengerti mengapa, tetapi kehangatan dari Zhen terasa begitu nyata, lebih nyata dari semua pertanyaan yang masih berputar di kepalanya.
Jemari Zhen meremas lembut pinggangnya, menariknya lebih dekat seakan tidak ingin memberinya kesempatan untuk lari.
Lily tidak sadar kapan tangannya mulai mencengkeram bahu pria itu, tetapi ia tetap diam di tempatnya, membiarkan ciuman itu berjalan lebih lama dari yang seharusnya.
Lily tidak menyadari kapan tepatnya Zhen mulai bertindak lebih impulsif. Yang ia tahu, detik berikutnya ia sudah berada dalam cengkeraman pria itu, terjebak dalam tatapan tajam yang membuatnya sulit bernapas.
Air hangat di bak mandi seakan menjadi saksi saat jarak di antara mereka menghilang sepenuhnya. Jantung Lily berdetak begitu kencang, hampir menyakitkan, tetapi tubuhnya seolah kehilangan kekuatan untuk bergerak, untuk menolak, atau bahkan untuk melarikan diri dari realitas yang tengah terjadi.
Napas Zhen begitu memburu di kulitnya, dan sebelum Lily bisa memahami apa yang terjadi, ia merasakan segalanya berubah.
Hawa panas yang mengelilingi mereka bukan lagi hanya berasal dari uap air, tetapi dari sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya.
Lily tersentak, tubuhnya menegang seketika, tetapi Zhen menahannya, menekan punggungnya dengan lembut agar ia tetap berada dalam genggamannya.
Detik-detik berlalu dengan ketegangan yang semakin pekat. Lily hampir tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang sekadar ilusi, tetapi satu hal yang pasti, di dalam bak mandi itu, mereka benar-benar menyatu, tanpa ada lagi jarak yang tersisa di antara mereka.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰