"Ah...ini di kantor! Bagaimana jika ada yang tau! Kalau istrimu---" Suara laknat seorang karyawati bernama Soraya.
"Stt! Tidak akan ada yang tau. Istriku cuma sampah yang bahkan tidak perlu diingat." Bisik Heru yang telah tidak berpakaian.
Binara Mahendra, atau biasa dipanggil Bima, melihat segalanya. Mengintip dari celah pintu. Jemari tangannya mengepal.
Namun perlahan wajahnya tersenyum. Mengetahui perselingkuhan dari suami mantan kekasihnya.
"Sampah mu, adalah harta bagiku..." Gumam Bima menyeringai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KOHAPU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melihat Ke Dalam Cermin
Tidak ada yang diucapkan oleh Jarot. Pria itu mematung terdiam. Kemudian Bima sedikit melirik ke arah pelayan.
"Tagihan mangkuk yang pecah akan masuk ke dalam tagihanku. Satu lagi, bawakan makan siang untuk putraku (Pino), dessertnya cukup banana split." Bima mengusap pucuk kepala Pino.
"Tapi---" Kalimat sang general manager disela.
"Berikan kompensasi permintaan maaf berupa wine gratis. Selain itu Tata (waiters)...minta maaf pada mereka." Pemuda yang melangkah menggandeng tangan Pino.
"Kami akan menuntut ini secara hukum. Jika tidak mendapatkan kompensasi trauma untuk putri kami." Sulis membenarkan ide Jarot, untuk meminta 100 juta rupiah.
Sementara mata Jarot menelisik. Beberapa orang masih merekam. Dari wajah mereka dapat diketahui olehnya. Salah satunya konten kreator yang memiliki lebih dari 1 juta subscribers. Setidaknya satu atau dua kali wajah orang itu pernah terlihat di beranda media sosialnya.
"Kita kembali ke kamar!" Perintah Jarot.
"Mela mau ice cream seperti Pino!" Teriak Mela kembali menangis memekik.
"Aku belum memesan makanan, dan berfoto di restauran." Sulis membantah, tidak mau pergi.
"Terserah kalian saja!" Geram Jarot, melangkah pergi.
Sepasang ibu dan anak yang duduk bagaikan tidak terjadi apapun. Tapi tetap saja, Sulis ingin menuntut restauran ini. Kompensasi 100 juta lumayan kan? Jarot benar-benar pintar.
"Aku ingin tetap menuntut restauran ini!" Geram Sulis kala membaca daftar menu.
"Kami hanya akan mengikuti prosedur. Jika ingin anda dapat menuntut ini secara jalur hukum. Kami akan tetap memberikan permintaan maaf berupa sebotol wine berkwalitas, seperti ketentuan." Ucap Tata, mengambil buku kecil mencatatnya pesanan Sulis.
Sulis menelan ludahnya, apa ini? Harga makanan yang benar-benar mahal. Bahkan ice cream yang dipesan Pino sebelumnya diatas 300 ribu.
"Mela mau ice cream seperti punya Pino!" Ucap Mela.
"Kita beli yang murah saja. Lagipula kamu tidak akan menghabiskannya." Ucap Sulis menahan amarah.
"Tidak mau! Mau ice cream seperti ice cream Pino." Kembali anak itu berteriak memekik, menangis.
"Iya! Iya!" Sulis menutup telinganya sendiri, tidak tahan mendengar tangisan putrinya.
***
12 scoop ice cream yang ditumpuk, hanya sekitar 4 scoop yang dihabiskan oleh Mela. Menghela napas kasar, tidak mengetahui bagaimana harus berkata-kata pada putrinya yang tengah anteng bermain game.
Dengan terpaksa Sulis menghabiskan sisanya, hingga perutnya kembung dan otaknya sedikit beku. Kita anggap saja begitu, sensasi dingin yang bahkan sampai ke kepala.
"Ibu! Aku mau---" Kalimat Mela disela.
"Sudah! Kita kembali ke kamar!" Bentak Sulis usai menandatangani tagihan.
Wanita yang melangkah melewati area gazebo dekat kolam renang. Sosok menawan hati itu kembali terlihat. Pemuda yang konsentrasi dengan pekerjaannya, mengenakan kacamata baca, terkadang membuka sebuah map. Jemari tangannya beralih ke laptop.
Astaga! Bahkan Heru tidak terlihat setampan ini saat sedang bekerja. Sedangkan Pino makan di samping seseorang yang dipanggil Hendra itu.
"Paman! Sudah selesai." Ucap Pino samar.
Pria yang begitu telaten, mengusap bibir Pino menggunakan tissue basah. Kemudian mengantarnya cuci tangan.
"Pantas saja Dira tanda tangan tanpa ragu. Ternyata wanita murahan tukang selingkuh itu sudah punya cadangan." Gerutu Sulis iri setengah mati. Namun, tetap saja, benar-benar pria idaman, jika dibandingkan dengan Jarot yang hanya modal tampang.
Kembali melangkah kesal ke kamarnya. Akibat Mela berontak, menangis ingin berenang.
"Mela! Jangan berisik!" Bentak Sulis, memikirkan rencana untuk dapat berkenalan dengan pria tadi. Apa tamu disini? Atau bekerja di tempat ini?
***
"Paman terasi kenapa harus minta maaf kalau tidak salah?" Tanya Pino polos, mengingat kejadian tadi.
"Pino sayang, satu hal yang harus kamu pelajari jika ingin hidup dengan baik. Tidak apa-apa sesekali memanfaatkan rasa iba orang lain. Tau kenapa semua yang Pino miliki mudah direbut?" Bima bertanya balik, tengah membantu Pino berganti pakaian, dengan celana renang.
Anak polos itu hanya menggeleng.
"Dengar! Kalau tidak ada orang yang bisa membelamu. Pino harus tegas, katakan ini milik Pino, kalau kalah berkelahi karena tubuhmu kecil lebih baik berlari. Tapi jika ada orang yang mungkin bisa membela Pino, tidak apa-apa untuk mengadu, katakan segalanya. Tapi Pino harus ingat satu hal, jangan pernah merebut atau menginginkan milik orang lain. Paham?" Tanya Bima pelan.
Anak itu mengangguk, kemudian berucap."Ibu masih punya ayah, makanya paman terasi galak selalu bertengkar dengan ibu. Seperti itu?"
"I...i...iya...ku...kurang lebih seperti itu." Bima menghela napas, bagaimana anak ini dapat mengetahui isi otaknya.
"Paman terasi, tolong tetap berada bersama Pino. Pino tidak punya nenek, ayah sudah diambil Tante Soraya dan adik baru. Ja... jadi..." Kalimat Pino terhenti kala Bima memeluknya.
"Dengar! Entah kenapa paman begitu menyukai Pino yang manis dan pintar ini. Walaupun kita tidak memiliki hubungan darah, tapi Pino adalah anak paman, mengerti?" Tanya Bima memakaikan pelampung di lengan Pino.
"Mengerti!" Anak yang mengangguk penuh kesungguhan.
Menghela napas kasar, melihat Pino berlari membawa ban bebek kecil ke kolam renang. Pemuda yang hanya menghela napas, benar-benar mengerti perasaan anak ini yang mungkin akan menjadi korban perceraian kedua orang tuanya. Karena...dulu Bima juga mengalami hal yang sama.
Tidak memiliki tempat untuk bersandar, hanya Dira lah yang mengulurkan tangan padanya disaat terberat dalam hidupnya. Mungkin... karena itu juga Bima begitu menyayangi Pino layaknya putranya sendiri. Bagaikan melihat bayangannya sendiri di depan cermin.
***
Membandingkan kekasih baru Dira dengan Jarot? Tentu saja bagaikan langit dan bumi. Tidak henti-hentinya Sulis memikirkannya. Wanita yang tengah berimajinasi bagaimana jika dirinya bercerai dengan Jarot yang pernah berselingkuh, kemudian menikah dengan orang yang dipanggil pak Hendra?
"Kenapa kamu tidak cari kerja?" Tanya Sulis pada suaminya.
"Setiap bulan dapat 6,5 juta dari ibumu. Itu cukup untuk kita hidup. Buat apa susah-susah mengumpulkan uang, uang tidak dibawa mati." Jawab Jarot acuh, masih berbaring di tempat tidur sembari memainkan handphonenya.
"Iya! Uang tidak dibawa mati, tapi tetap saja, aku ingin seperti orang lain, setiap gajian dibelikan emas oleh suaminya." Sulis memutar bola matanya malas.
"Kamu ingat tidak!? Aku cuma digaji 150 ribu sehari. Panas-panasan, belum uang bensin, belum lagi keperluan lain. Bos di tempatku bekerja juga, seenaknya marah-marah mengatakan aku tidak becus bekerja. Sudahlah! Aku malas bicara denganmu. Kamu tidak mengerti bagaimana melelahkannya kerja!" Geram Jarot, meninggikan nada bicaranya.
"Begitu terus! Begitu terus! Ibu juga sama seperti anak kecil, marah tidak mau mengasuh Mela lagi. Kan capek dari pagi sampai sore mengurus Mela." Keluh Sulis, menatap Mela yang telah tertidur. Belum mandi sama sekali.
"Sudah aku bilang! Ibumu itu pilih kasih, dia lebih menyayangi Pino dan Dira. Besok ancam saja tidak akan mengijinkan ibumu bertemu dengan Mela. Nanti ibumu akan minta maaf... sekarang kan Mela cucu satu-satunya."
"Benar juga ya?"
Pembicaraan sepasang suami istri, yang tidak mengetahui apa yang akan menunggu mereka setelah pulang ke rumah nanti. Apa mungkin surat cinta dari kantor polisi?
Atau para fans mereka di media sosial? Yang berteriak bagaikan melihat artis? Entahlah...