Karena hendak mengungkap sebuah kejahatan di kampusnya, Arjuna, pemuda 18 tahun, menjadi sasaran balas dendam teman-teman satu kampusnya. Arjuna pun dikeroyok hingga dia tercebur ke sungai yang cukup dalam dan besar.
Beruntung, Arjuna masih bisa selamat. Di saat dia berhasil naik ke tepi sungai, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah cincin yang jatuh tepat mengenai kepalanya.
Arjuna mengira itu hanya cincin biasa. Namun, karena cincin itulah Arjuna mulai menjalani kehidupan yang tidak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekesalan Juna
Juna yang hendak masuk ke kamar mandi, mendadak mengurungkan niatnya, kala obrolan yang dia lakukan dengan Klawing, membuat otaknya berpikir cepat.
"Nggak mungkin lah, Wing. Aku nggak mungkin punya kakek sejahat itu," Juna mencoba membantah dugaannya sendiri.
Klawing tersenyum sinis dan kali ini dia memilih menunjukan sosok wajah aslinya yang sedang duduk di atas kasur busa. "Kalau faktanya seperti itu bagaimana? Apa kamu akan tetap membantahnya?"
Juna masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Anak itu justru memilih bergeser lalu bersandar pada dinding di dekat pintu kamar mandi.
"Awalnya, saya juga berharap seperti itu, Jun. Saya harap kamu bukan cucu dari majikanku. Tapi setiap saya merenung dan saya sangkut pautkan semua cerita tentang majikanku, itu semua menjurus ke arah Kakek kamu. Apa kamu pernah tahu alasan Nenek dan Ibumu berpisah dari Kakekmu karena apa?"
"Aku tahu," jawab Juna. "Kelakuannya sama persis dengan majikanmu. Tapi...."
"Tidak perlu mengatakan tapi," Klawing memotong ucapan Juna. "Kamu tunjukan aja cincin yang ada di lehermu, maka semuanya akan jelas."
Juna langsung menunduk, memperhatikan cincin yang dijadikan hiasan kalungnya.
"Kalau ibumu tidak tahu apa-apa, tidak mungkin, tadi dia meminta kamu membuang cincin itu," ucap Klawing. "Raut wajahnya saja terlihat sangat serius."
Juna menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. "Kalau emang aku adalah cucunya majikanmu, apa kamu ingin melampiaskan dendammu kepadaku, Wing?"
Klawing sontak terperangah mendengarnya. Bahkan tatapannya beradu pandang dengan tatapan Juna yang membutuhkan jawaban jujur darinya.
"Saya tidak tahu," klawing melempar pandangan ke arah lain. "Mungkin kalau kamu juga bukan keturunanku, ceritanya tidak akan seperti ini."
Kali ini gilran Juna yang tercenung, dan matanya masih menatap sosok yang wajahnya sama persis dengan wajahnya.
Juna lantas tersenyum sinis. "Ternyata arwah bisa galau juga," Juna tertawa kecil, merasa heran sekaligus lucu.
Klawing malah mendengus. "Bagi kamu mungkin ini lucu, tapi bagi aku, fakta ini sesuatu yang aneh."
"Aneh kenapa?" tanya Juna heran.
"Ya emang aneh. Bagaimana bisa keturunanku, menikah dengan keturunan musuhku? Harusnya hal ini tidak pernah terjadi."
Juna sontak tercengang mendengarnya. "Bagaimana kamu bisa berpikiran seperti itu? Kalau Bapak dan Ibuku tidak berjodoh, tidak mungkin aku lahir di dunia ini?" Juna merasa sedikit kesal jadinya.
"Apa kamu pikir, setiap keturunan musuhmu itu harus selalu orang jahat dan setiap keturunanmu itu harus menjadi orang baik? Mana ada. Lagian, yang bemusuhan kan leluhur ibu. Keturunnya ya mana ada yang percaya kalau cerita itu benar adanya. Aku aja kalau nggak ketemu kamu, tidak akan percaya."
Klawing terbungkam. Apa yang dikatakan Juna memang ada benarnya. Mungkin selama ini Klawing hanya mengikuti keturunan keluarga majikannya yang jahat jadi dia menyimpulkannya seperti itu.
"Kamu pikir, saudara dari Bapak ada yang tidak jahat?" Juna masih meluapkan kekesalannya. "Tuh, kakaknya Bapak, dengan tega dia menguasai hampir semua harta peninggalan orang tua Bapak. Saudara-saudaranya hanya mendapat sedikit. Itu lah alasan, yang membuat Bapak pindah jauh dari keluarganya."
Klawing semakin tidak bisa berkata-kata.
"Harusnya kamu juga berpikir, kenapa dulu istri majikanmu pergi dari rumah. Karena dia tidak ingin anaknya mewariskan kejahatan majikanmu. Buktinya, kamu bisa lihat sendiri kan, bagaimana sikap Ibu? Apa dia kelihatan seperti wanita yang gila harta?"
Klawing sama sekali tidak menjawab. Meski begitu dia tetap mencerna semua yang keluar dari mulut Juna.
"Sekarang, terserah kamu mau berbuat apa, Wing. Kamu mau melampiaskan dendammu silahkan. Atau jika kamu ada pilihan lain juga silahkan, aku tidak akan memaksamu."
Setelah mengatakan semua yang ada dipikirannya, Juna langsung masuk ke kamar mandi, meninggalkan Klawing yang terdiam sembari berpikir.
#####
Sementara itu di tempat lain, sekumpulan anak muda nampak sedang bahagia. Anak-anak orang kaya itu sengaja berkumpul lebih pagi sembari melakukan olahraga di tempat yang biasa mereka datangi.
"Gila! Ternyata mantra orang pintar itu ampuh banget," seru Marvin sangat antusias. "Semalam, aku benar-benar bisa tidur nyenyak lagi."
"Sama," sahut Brian. "Wajar sih, jika orang itu memasang tarif mahal. Mantra penangkal hantunya, nggak ada lawan."
"Berarti, kita masih bisa lanjut dong, main taruhannya?" tanya Denis.
"Ya lanjut lah," Marvin masih nampak antusias. "Gimana, Xel? Lanjut, kan?"
Axel mengangguk.
"Kamu kenapa? Masih kepikiran tentang Tiara?" tanya Denis tiba-tiba setelah memperhatikan sikap Axel yang agak berbeda dari biasanya.
"Nggak perlu terlalu dipikirkan, Xel," ujar Brian. "Itu kan salah Tiara sendiri. Siapa suruh pakai bunuh diri segala. Kaya nggak ada jalan keluar lain aja."
Axel tersenyum. "Aku hanya kepikiran aja. Seandainya arwah Tiara tidak tenang, mungkin aku juga akan dihantui seperti kalian."
"Cih!" sahut Marvin. "Aman lah, Bos. Nggak perlu panik. Kan kita sudah punya penangkal yang ampuh. Jadi kamu nggak perlu khawatir."
Axel mengangguk setuju.
"Sekarang kita fokus saja pada target kita berikutnya," ucap Denis. "Kapan kita mulai beraksi?"
"Nanti aja setelah kita masuk kuliah," sahut Brian.
"Wah benar banget tuh. Oke, aku setuju," Marvin menimpali.
"Aku juga," ucap Axel.
"Oke, jadi sepakat ya? Kita mulai taruhan berikutnya setelah masuk kuliah."
"Oke!"
#####
Di tempat lain, seorang pria tua terbaring dengan tubuh tak berdaya. Bahkan keadaan pria tua itu semakin parah, sampai mengalami kesulitan bergerak dan berbicara.
"Lebih baik Tuan jangan banyak bergerak," suara seorang wanita yang dia dengar, sontak membuat mata pria itu menatap penuh amarah kepadanya.
Pria tua itu susah menyadari, kalau tubuhnya tidak bisa bergerak bukan karena gejala struk, tapi karena perbuatan wanita muda yang menjadi simpanannya.
Awalnya pria tua itu percaya dengan ucapan dokter. Namun, yang membuat pria tua itu curiga, bukannya segera dibawa ke rumah sakit, wanita muda yang bersamanya malah mengabaikan saran dokter.
"Gimana keadaan anda, Tuan?" wanita itu duduk di tepi ranjang, melempar senyum penuh kemenangan.
"Kau..." pria tua itu mencoba mengeluarkan suaranya.
"Sudah aku katakan, jangan banyak bergerak," dengan santai Tarmini kembali mengulang ucapannya.
"Gimana rasanya tak berdaya? Menyenangkan bukan?" ucap Tarmini lagi. "Anda baru segini aja, sudah merengek manja minta diantar rumah sakit, bagaimana nasib orang-orang yang hartanya anda rampas diam-diam?"
Mata Bratawali kembali melebar.
"Nggak perlu melotot, aku nggak takut," balas Tarmini. "Aku nggak nyangka, ternyata tanpa bantuan cincin itu, anda sangat lemah. Bahkan anda tidak bisa berbuat apapun."
Amarah Bratawali semakin berkobar. Namun dia sama sekali tidak mampu melampiaskannya.
"Oh iya, aku mau ngasih tahu sama anda, sekarang semua anak buah anda berada di bawah kendaliku," ucap Tarmini lagi. "Dan satu hal yang harus anda tahu, saya sudah menemukan cincin anda, hihihii."
Bratawali hanya bisa menggeram penuh amarah.
lanjut thor 🙏