--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 32
“Tapi sebelum aku membeberkan semua, aku ingin tahu lebih dulu. Apa alasanmu menerimaku sebagai istri? Bukankah kau bisa menolak dengan alasan yang sangat jelas?”
Sudah lama sejak Xavier menerima dirinya sebagai hadiah kemenangan perang dari Kaisar, Ashiana sangat penasaran alasan di balik kelegawaan lelaki itu.
Mendapat istri dengan gangguan mental yang cukup parah bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan bahkan cenderung ke arah terhina. Ditambah Grim Hills, tanah yang tidak berguna yang juga menjadi kelengkapan penghinaan itu.
“Apa kau tidak paham kalau Kaisar sangat keterlaluan? Dia menghinamu dengan wilayah mati dan aku yang sakit jiwa?”
Xavier tersenyum penuh makna. Berbanding terbalik dengan eskpresi Ashiana yang serius itu, dia sama sekali tak ada beban terkait perkara yang tengah dibahas.
“Tentu saja karena kau cantik. Memangnya apa lagi?”
PSSSS!
Wajah Ashiana merona merah, sekaligus juga terkejut. “Apa dia gila? Alasan macam apa itu?" cicit hatinya, tak habis pikir.
“Tapi 'kan saat itu kau tahu aku tidak normal? ... Ah, tidak! Baiklah untuk alasanmu itu, aku mungkin memang cantik, tapi alasan itu tidak begitu kuat dibanding jiwaku yang tidak sehat! Bagaimana pun ... walau wanita mana pun, secantik apa pun dia, kurasa akan terbanting jika dalam kondisi gila. Bukankah begitu?”
“Tapi kau kan tidak gila!”
Ashiana membeku dengan mulut sedikit terbuka. Lalu menggeleng kaku dengan perasaan bingung---bingung bagaimana menghadapinya.
“Aku benar, 'kan?" Xavier terus tersenyum, senyum yang lama-lama terasa mengesalkan bagi Ashiana.
Benar-benar membuat tak habis pikir.
Setelah cukup menenangkan degupan di dadanya, Ashiana berkata, “Ya, kau benar, aku memang tidak gila, bahkan sangat waras sekali. Tapi ....” Dia menjeda sekian saat. “.... Kurasa justru kau orang gila yang sebenarnya.”
Mendengar itu, ekspresi Xavier langsung berubah datar, seperti sangat tersinggung dengan ucapan itu. Namun sekian detik kemudian ... “Hahaha!” Tawanya meledak keras.
Raut Ashiana sudah bukan terkejut lagi, melainkan puncak dari rasa tak habis pikir, kegilaan yang sesungguhnya.
Tak lama tawa itu berhenti sudah. Xavier berganti ekspresi, menjadi senyuman tipis yang tentu saja masih bermakna sialan.
“Kau sadar, dan itu bagus. Aku memang segila itu. Karena hanya dengan menjadi gila, aku bisa membalaskan semua ketidakadilan yang kudapat dari kepingan takdir yang tak terduga. Bukankah itu juga yang kau lakukan ... Istriku?”
Terperangah ke sekian kali.
Lagi-lagi ucapan pria itu tidak bisa disangkal, Ashiana membenarkannya melalui hati. Sekarang raut yang ditunjukkan hanya perasaan kalah---dari pria yang tak lain adalah suaminya sendiri.
Senyum di wajah Xavier masih bertahan. Kediaman Ashiana dia tahu persis apa maknanya.
“Dan untuk Grim Hills ....”
Ashiana melengak lagi mendengar nama wilayah itu mulai disentil.
Ya, lalu bagaimana dengan Grim Hills? Itu juga yang sangat ingin diketahuinya, setelah tentang dia yang dijadikan istri terjawab lantang.
“Karena kau adalah istriku dan aku sudah tahu kau wanita yang sehat ... akan aku beritahu apa yang akan aku lakukan terhadap wilayah yang mati itu. Tapi sebelum itu kau harus berjanji dulu.”
“J-janji ... janji apa?”
“Janji untuk tetap berada di pihakku!”
Wanita itu tercenung diam dan memikirkan. Bayangannya bergerak mundur pada semua kenangan yang dilalui bersama Xavier dan perlakuannya.
Beberapa saat termakan hanya untuk itu.
Tidak ada kilas negatif yang membuatnya harus menolak, hingga .... “Baiklah. Aku setuju.”
Lengkungan bibir Xavier melebar lagi. “Aku senang mendengarnya.”
Ashiana menunggu kelanjutannya dengan serius tanpa menyela. Dan Xavier pun menjelaskan semua tujuan tanpa dipotong-potong.
Sampai pada waktu ....
“Mari bekerja sama untuk membangun kembali Grim Hills. Ashiana, dampingilah aku, sebagai rekan, juga sebagai istriku.”
Rasanya jadi terharu, bening mata Ashiana meremang berkaca-kaca. “Tentu saja. Kau adalan suamiku. Terima kasih sudah memberiku kepercayaan.”
Mereka saling tersenyum.
“Dan sekarang giliranku. Aku akan menjelaskan semua tentang diriku, padamu, Xavier.”
Meski tidak dengan panggilan yang manis seperti suamiku sayang dan lain-lain, Xavier justru senang. Namanya dengan lantang disebut istrinya berulang kali tanpa embel-embel kapten, panglima atau tuan. Itu cukup membuktikan jika Ashiana bisa dengan mudah menganggapnya sebagai teman---setidaknya teman untuk bercerita banyak sementara ini. Urusan yang lain semacam keintiman dan ranjang ... lain kali saja dulu.
Dan cerita Ashiana pun dimulai dari ....
“Aku depresi karena kehilangan orang tua dan saudaraku, di usia yang bahkan masih sangat muda. Aku kehilangan kepercayaan diri, kesepian dan sulit menerima keadaan.”
Dua belas tahun kala itu.
Masih ada satu-satunya orang yang bisa dia jadikan sandaran saat rantai kesakitan itu melilit dan mencekiknya---Duchess Maria, nenek dari ibunya. Tapi wanita itu sudah dalam kondisi sakit-sakitan.
Sampai saat Ashiana menemukan dirinya dalam ancaman serius setelah Duchess Maria ikut meninggalkannya menempuh ajal.
“Kudengar ada tabib yang bisa membuat ramuan untuk merusak saraf. Kita buat saja Asha gila secara perlahan, agar tak siapa pun dapat curiga.”
“Ide cemerlang.”
Suara Ratu Jennefit dan ... tentu saja suaminya--Kaisar Bjorn.
Tak sengaja Ashiana mendengar itu usai rapat dewan istana, tentang pengalihan kepemimpinan dari Kaisar Eugen setelan kematiannya, pada Bjorn, di taman belakang saat itu.
Poin penting hasil rapat para petinggi; Karena Ashiana masih dalam keadaan hidup, kelak saat dia menikah dan bisa melahirkan anak lelaki, maka potensi waris tahta Kaisar bisa jatuh ke tangan anaknya.
Itu yang jadi alasan dia dibuat gila oleh pamannya sendiri.
“Mereka merealisasikan niatan itu. Setiap malam sebelum tidur, aku disuruh menelan sebutir pil yang mereka bilang adalah obat penenang yang juga bisa membantu memulihkan traumaku. Tapi aku tidak pernah menelan itu.”
“Aku tahu itu!”
Ashiana melengak. “Kau tahu?” tanyanya dengan wajah mengerut, pada Xavier.
“Ya! Pelayan bernama Amber menjelaskan padaku tentang pemberian pil itu.“
“Amber? ... Nyonya Amber?!”
“Ya!”
“Bagaimana bisa kau---”
“Aku menculik dan mengancamnya. Dia takut ancamanku lalu bercerita banyak.”
Kembali diberi kejutan. “Lalu ... apakah Nyonya Amber tahu aku tidak pernah benar-benar menelan pil-nya?"
“Sepertinya tidak!" jawab Xavier. “Karena dia mengira hidupmu tidak akan lama lagi terhubung waktu kerja pil ramuan yang akan sampai pada batas krusial. Dia bahkan menyesali yang dia lakukan. Selain dia, aku juga punya dokter Merlia. Kau pasti mengingatnya, 'kan?”
Ashiana diam sesaat lalu mengangguk sekali saja. “Tentu saja. Dia mengambil sampel darahku,” katanya lalu membuang wajah, sadar saat itu dia kecolongan.
“Benar! Dari sana diketahui jika tubuhmu dalam keadaan sangat sehat. Tidak ada racun apa pun.”
Dokter Merlia memeriksa penuh kelembutan. Sampai Ashiana tidak sadar sample darahnya sudah diambil untuk pemeriksaan mendetail. Jadilah Xavier mudah menggali semua fakta yang rapat dia sembunyikan sekian tahun.
Tentang Dokter Merlia, Asha tidak mengomentari, tapi malah bertanya, “Lalu di mana Nyonya Amber sekarang?"
“Aku mengurungnya di suatu tempat.”
“Itu cukup baik, tapi ...” Ashiana gamang. “... aku juga kasihan padanya. Nyonya Amber hanya seorang yang disuruh-suruh.”
“Tidak ada kasihan untuk orang yang terlibat banyak dalam kejahatan," hardik Xavier. “Dia dibayar dan dia menikmati uangnya tanpa memedulikanmu.”
Kali ini Ashiana diam, lalu .... “Kau benar.”
Xavier tak suka ekspresi itu. “Jangan lemah!" semburnya. “Meskipun di hadapanmu tergolek bayi-bayi menangis yang akan dibantai dengan tebasan pedang, jika mereka iblis, maka mereka pantas mendapatkannya. Andai tak sanggup, kau cukup menutup mata.”
Terentak, Xavier terus membuatnya merasa bukan apa-apa.
“Baiklah. Aku akan berusaha.”
“Bagus! Kau sudah sangat berani, Asha. Meskipun dalam keadaan kacau, kau masih mau mempertahankan hidupmu dengan tidak menelan pil-pil itu.”
Pujian yang terdengar tulus, berhasil membuat wajah Ashiana tegas kembali. “Aku hanya berpikir, suatu saat ... aku harus membalas mereka, bukan?”
😍😍😍
😘😘😘🔞🔞🔞