"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15: Tragedi Jihwan
"Kamu pergi kapan?" tanya Seonho sambil menatap sang adik yang masih memeluk Haesung, yang tetap fokus pada ponselnya. Posisi duduknya kini sudah menyesuaikan diri dengan Jihwan yang memeluknya.
"Malam," jawab Jihwan, asik memperhatikan apa yang sedang Haesung lakukan.
"Berangkat dengan manajer mu?," tanya Seonho lagi, memastikan segalanya sudah diatur.
"Emm..." gumam Jihwan, seolah tak memperdulikan Seonho karena terlalu fokus pada Haesung.
"JIHWAN-SSI!! Kalau Hyung sedang bicara padamu, lihat ke sini. Tidak sopan!" tutup Seonho dengan nada tegas, yang langsung diikuti oleh Jihwan.
"Mi'an, Hyung..." tuturnya pelan sambil menunduk, merasa sedikit bersalah.
"Sudah dipersiapkan semuanya?" tanya Seonho lagi, mengabaikan permintaan maaf Jihwan.
"Namjin Hyung yang membantu aku," ujar Jihwan, kini dia berbicara sambil menatap kakak tertuanya itu.
"Nanti malam, Hyung antarkan?" tanya Seonho menawarkan diri, sama seperti Namjin.
"Tak usah, aku pergi dengan manajer-nim," jawab Jihwan tegas.
"Hyung tidak mau mengajak ku," keluh Jungsoo.
"Ke mana?" tanya Jihwan penasaran.
"Konser," jawab Jungsoo dengan semangat.
"Eleh, nanti kau malah menyusahkan di sana," ujar Jihwan sambil memutar bola matanya malas. Dia teringat saat dia pernah mengajak Jungsoo dan Yongki saat konser pertamanya di luar negeri, namun Jungsoo malah mengacau dan merengek minta kembali ke Korea lagi. Untungnya ada Yongki yang bisa menenangkan adiknya itu.
"Itu dulu!" tukas Jungsoo sambil terkekeh, seolah tidak mau kalah.
"Oh iya, Hyung, bagaimana jika kita membuat sebuah lagu?" tanya Yongki yang menyela pembicaraan dengan antusias.
"Lagu... untuk apa?" tanya Seonho, penasaran.
"Namjin bilang untuk kenangan bersama saja. Dia meminta aku untuk menulisnya," jawab Yongki, matanya berbinar penuh semangat.
"Tiba-tiba?" tanya Seonho sambil melirik ke arah Namjin, yang sedang fokus dengan ponsel di tangannya. Meskipun Jungsoo terus bergelayut padanya, Namjin tampak tak terganggu dengan aktivitasnya, yang memang suka membaca.
"Namjin...." tuturnya berusaha mengalihkan perhatian Namjin.
"Aku hanya ingin kita punya kenangan indah bersama untuk dilihat di masa depan. Lagipula kalian kan pandai bernyanyi," tutur Namjin sembari menatap sang kakak.
"Tidak.. maksudku kenapa tiba-tiba sekali?" tanya Seonho penasaran dengan permintaan Namjin yang mendadak.
"Ya... seperti yang Yongki Hyung bilang, aku ingin punya kenangan indah bersama kalian. Lagipula dunia ini terus berjalan maju tanpa henti, tidak ada salahnya menciptakan sesuatu yang indah di tengah roda kehidupan yang terus berputar," tutur Namjin.
"Menarik.. Hyung setuju, kau buatlah, Yongki," tuturnya yang di angguki oleh Yongki.
"Aku yang akan menyanyikannya, kan, Hyung?" ucap Jungsoo.
"Lakukanlah apapun yang kamu mau," ujar Seonho, yang membuat Jungsoo tersenyum.
Keharmonisan keluarga begitu terasa di antara mereka, seolah kehidupan mereka begitu sempurna tanpa adanya cacat yang diceritakan banyak orang.
...
Sementara itu, di tempat lain, Yoora yang sedari pagi bekerja di restorannya akhirnya mendapatkan waktu untuk beristirahat. Pelanggan yang datang sudah tidak sebanyak tadi pagi. Restoran tersebut memang selalu ramai dikunjungi hanya pada waktu-waktu tertentu, jadi tidak sepanjang hari Yoora dan pegawai lainnya disibukkan dengan pekerjaan. Contohnya sekarang, mereka semua sedang berkumpul sambil menikmati makanan yang sudah dipesan oleh Wong-sik.
"Menurut kalian pria tadi itu siapa?" tanya Yoora penasaran, matanya melirik ke arah teman-temannya, berharap mendapatkan jawaban yang melegakan.
"Mungkin orang yang dekat denganmu, kau tahu?" jawab Wong-sik sembari menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, mengangkat alis dengan ekspresi penuh selidik.
"Kalau aku tahu dia siapa, aku tidak akan bertanya, oppa," tutur Yoora, nada suaranya sedikit menyentuh nada kecewa. Jawabannya membuat semua orang di sana tertawa, termasuk Wong-sik yang terbahak-bahak menertawakan dirinya sendiri.
"Mungkin saja orang iseng, atau bisa jadi benar yang Rea ucapkan. Jika Yoora yang dimaksud pria itu bukan kamu, tapi orang lain. Hanya saja, karena Rea berpikir itu kamu, dia langsung mengiyakan ucapan pria itu lagi," tutur Naeyon, seorang wanita yang juga menjadi senior di tempat kerja itu, sambil menggelengkan kepala, mencoba menghibur Yoora.
"Ah, nae-eoni ada benarnya juga. Bukankah hal itu lebih masuk akal?" tanya Aeri, pekerja lain yang sudah bekerja cukup lama di sana, dengan nada menenangkan.
"Mungkin yang nae-eonni katakan benar, kamu tidak perlu memikirkannya," ujar Rea lagi, berusaha meyakinkan Yoora agar tidak terlalu terbebani.
"Katakan saja pada kami jika ada sesuatu hal yang mengganggumu. Kami akan membantu sebisa kami," tutur Jae-Kyung, pria yang menjadi teman Wong-sik. Senyumnya hangat, menawarkan dukungan yang tulus.
"Terima kasih, oppa," tutur Yoora sambil tersenyum, meski ada keraguan yang masih menghantui pikirannya.
"Tapi Yoora, kamu juga tidak boleh menganggap ini sepele," tutur Aeri, nada suaranya kini lebih serius, membuat semua orang menatapnya dengan cemas.
"Kenapa?" tanya Jae-Kyung, perasaan curiga mulai merayapi hatinya, bagaimana pun dia tahu jika rekan kerja nya itu selalu berpikir kritis terhadap sesuatu.
"Ekhh, memangnya oppa tidak tahu tentang kasus stalker yang membunuh seorang wanita di stasiun Sindang?" tanya Aeri, ekspresinya serius dan tegas.
"Ouh, kasus Jeon-Juhwan?" sahut Naeyon, nada suaranya mencerminkan keheranan.
"Iya, eonni. Bukankah dia juga diikuti begitu kan? Bahkan dari berita yang aku baca, katanya si pelaku mengikuti cewek ini selama tiga tahun dan selalu menghubungi serta mengirim pesan hingga ratusan kali," tutur Aeri, wajahnya tampak khawatir dan cemas.
"Tapi bukankah hal itu terjadi karena si cewek dan si cowok memang sudah sama-sama mau? Aku dengar katanya si pelaku ini memang mengancam si cewek dengan sebuah rekaman video seks mereka berdua?" tuturnya Wong-sik, suaranya penuh skeptis.
"Itu tidak benar, oppa. Katanya ini cinta bertepuk sebelah tangan di mana si Jeon-Juhwan ini jatuh cinta sama si cewek, tapi si cewek tidak. Dari yang aku baca, mereka juga satu tempat kerja di Metro Seoul," tutur Aeri, matanya membulat saat menjelaskan.
"Mungkin itu semacam obsesi. Aku juga pernah dengar eonni ku dulu membicarakan tentang ini bersama teman-temannya. Katanya sih si cowok itu, setelah ditolak, malah makin obsesif sama si korban ini. Bahkan saat ditangkap polisi, dia bilang kalau mereka itu pacaran. Kan gila ya, suka sama orang sampai menghilangkan nyawanya?" tutur Naeyon, wajahnya tampak serius dan merenung, merasakan ketegangan yang melingkupi ruangan.
" Mungkin di pikiran si pelaku, jika aku tidak bisa memiliki nya , maka tidak ada orang lain yang bisa memiliki mu ," ujar jae Kyung sembari terkekeh.
" Menyeramkan sekali jika bertemu dengan pria seperti itu, " Tutur yoora.
"Eummm... Katanya si Jeon-Juhwan ini tidak terima karena dia dapat tuntutan 9 tahun penjara dari jaksa. Oleh sebab itu, dia nekat membunuh wanita ini," ujar Aeri lagi, suaranya bergetar, menunjukkan betapa mengerikannya situasi tersebut.
"Mungkin karena dia terlalu cinta, jadi gelap mata," ujar Rea yang sedari tadi menyimak semua pembicaraan, matanya penuh rasa penasaran.
"Bukan cinta sih, tapi obsesi. Cinta dan obsesi itu berbeda, kau tahu? Cinta itu saling memberi, mengerti, dan menghormati kebebasan satu sama lain , tidak ada penekanan dan ancaman dalam lingkup ikatan cinta. Sedangkan obsesi adalah keinginan untuk memiliki sepenuhnya, sampai-sampai merasa orang itu hanya miliknya dan mengabaikan perasaan atau kehendak orang lain. Obsesi lebih tentang kontrol, bukan kasih sayang , seseorang yang terobsesi akan selalu melakukan apapun yang dia mau tanpa perduli dengan perasaan pasangan nya " tutur Naeyon lagi, wajahnya mengernyit saat berusaha menjelaskan sebaik mungkin pada semua nya .
"Aku hanya pernah melihat obsesi seperti ini di film-film, dan menurutku ketika seseorang sudah terobsesi pada sesuatu, maka dia akan menuntut hal tersebut hanya miliknya," tutur Aeri, nada suaranya tegas, seolah ingin menyampaikan pesan penting.
"Aku dulu pernah punya pria posesif. Apa itu termasuk obsesi, eonni?" tanya Rea, ekspresi wajahnya bercampur antara ketertarikan dan ketidakpastian.
"Jika hanya posesif biasa, itu bisa dianggap sebagai cara seorang pria atau wanita menunjukkan rasa sayang dan peduli terhadap pasangan mereka masing-masing. Tapi jika sudah sampai di tahap dominan dan menekan, hingga ancaman dan selalu mengklaim bahwa sesuatu yang sudah jadi miliknya hanya miliknya, maka itu sudah termasuk ke obsesi. Dan biasanya, seseorang yang terobsesi pada kita tidak akan pernah memiliki rasa cinta dalam hidupnya, karena separuh jiwanya sudah diisi oleh hasrat, dan sisanya hanya ego," tutur Aeri, menjelaskan dengan percaya diri, seolah dia adalah seorang ahli dalam hal percintaan.
"Kau bicara layaknya pakar cinta," ledek Wong-sik sembari terkekeh pelan, senyum sinis menghiasi wajahnya.
"Tapi di film-film, novel , komik Mafia atau psikopat yang sering aku tonton dan baca, pria memang seperti itu, bukan? Tapi lihat saja, si wanita pasti akan jatuh cinta pada akhirnya," tutur Jae-Kyung, nada suaranya santai meski ada keraguan samar di matanya. Dia mencoba terdengar yakin, tetapi jelas tidak sepenuhnya percaya pada pandangannya sendiri.
"Kau percaya kalau ular punya kaki?" ledek Naeyon, membuat semua orang tertawa. Candaannya mencairkan suasana, menghilangkan ketegangan dari pembicaraan serius sebelumnya.
( Catatan : 'Ular punya kaki' adalah ungkapan yang sering digunakan dalam masyarakat Korea saat ini untuk bercanda, menyindir bahwa apa yang ditampilkan di televisi atau media sosial sering kali tidak nyata. Ini terkait dengan imugi, hewan mitologis Korea yang dipercaya sebagai ular besar yang nantinya bisa berubah menjadi naga, meski sebenarnya keberadaannya hanya mitos ).
"Intinya, kita hanya perlu berhati-hati dan waspada terhadap hal-hal kecil yang mencurigakan. Tapi jangan selalu berpikir negatif juga," jawab Naeyon, menutup percakapan dengan nada bijak.
"Benar," tutur semua orang, seolah setuju dalam diam.
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, beberapa pelanggan datang, membuat semua orang kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Percakapan terhenti, dan mereka pun mulai melayani tamu-tamu yang baru tiba.
....
Malam hari, Waktu KST:
"Di mana sebenarnya dia? Sedari pagi tidak kelihatan batang hidungnya," keluh Seonho dengan nada kesal, matanya melirik jam dinding.
"Dia tidak menghubungi Hyung sama sekali?" tanya Namjin, suaranya terdengar lebih khawatir dibandingkan yang lain. Meskipun Seonho dan saudara lainnya terlihat marah, raut wajah Namjin justru menyiratkan kecemasan yang dalam.
"Dia bilang izin keluar, tapi sampai sekarang belum kembali juga," jawab Seonho, nada frustrasi makin jelas dalam suaranya. Tatapannya menyiratkan kekesalan terhadap yoora.
"Sudahlah, kita bisa bahas ini nanti. Ayo berangkat sekarang, kalau Jihwan sampai tertinggal pesawat bagaimana?" saran Yongki, mencoba mengalihkan perhatian semua orang dari kekesalan yang mulai menumpuk.
Malam itu, semua orang sepakat untuk mengantar Jihwan ke bandara. Meskipun awalnya Jihwan menolak, bersikeras tidak ingin merepotkan, dia akhirnya luluh setelah desakan dari saudara-saudaranya yang tidak mau membiarkannya pergi begitu saja.
Sementara itu, di tempat lain, Yoora masih sibuk dengan pekerjaannya di restoran. Waktu berlalu begitu cepat hingga dia bahkan lupa kalau dia seharusnya memasak untuk saudara-saudaranya malam ini. Keadaan yang membuat Seonho semakin kesal, karena dia merasa Yoora tidak terlihat sejak tadi siang.
"Ini benar-benar membuat frustasi," ucap Seonho, nadanya semakin geram setiap kali mengingat Yoora.
"Jangan terlalu keras, Hyung. Dia pasti juga merasa bersalah kalau sudah menyadarinya, mungkin dia terlalu sibuk mengerjakan tugas kelompok nya " sahut Namjin, berusaha meredam emosi Seonho.
"Ya, tapi dia harusnya tahu tanggung jawabnya. Kita tidak bisa terus seperti ini! Aku lelah dengan sifat nya " Seonho merespon cepat, tidak ingin diredakan begitu saja. Dia memang selalu menjadi yang paling tegas di antara saudara-saudaranya.
" Hyung... Itu terlalu berlebihan," Lirih Namjin.
Seonho melirik tajam kearah sang adik, hal itu membuat semua orang juga menatap Namjin yang tertunduk .
" Katakan sekali lagi ," Tutur Seonho dengan nada kesal .
"Baiklah, ayo kita berangkat sekarang. Nanti kita bisa bicarakan ini dengan kepala dingin," kata Yongki lagi, menenangkan suasana yang mulai memanas.
Saat mereka semua bersiap untuk berangkat ke bandara, hanya Haesung yang tidak ikut. Dia terpaksa absen karena harus menemui klien penting yang tak bisa dia delegasikan pada orang lain.
"Aku sudah mencoba menjadwalkannya ulang, tapi klien ini terlalu penting. Aku akan menyusul kalau bisa," ujar Haesung, meminta maaf dengan nada serius.
"Jangan khawatir, Hyung. Kami akan mengurus semuanya," ucap Jihwan, tersenyum kecil untuk menenangkan suasana, meski ada sedikit rasa kehilangan karena Haesung tidak ikut.
Malam itu terasa hening saat mereka berangkat menuju bandara. Rasa kekhawatiran bercampur dengan perasaan berat karena harus berpisah dengan Jihwan untuk waktu yang lama. Tidak ada yang bisa memungkiri, meskipun ada kekesalan di antara mereka, ikatan saudara ini tetap terasa kuat di dalam hati masing-masing.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan panjang, akhirnya Jihwan, manajer, dan semua saudaranya tiba di bandara. Seperti kebanyakan artis lain yang sering terlihat di bandara, Jihwan pun dikerumuni oleh para fans yang ingin melihatnya dari dekat. Para saudaranya hanya bisa mengikuti dari belakang, berusaha menjaga jarak.
" Hyung, fans-nya Jihwan benar-benar luar biasa ya," gumam Yongki, sedikit terkejut melihat kerumunan yang padat.
"Kamu benar, ternyata adikku se-terkenal ini di luaran sana " jawab Seonho sambil melirik ke arah Jihwan.
" Padahal kalau di rumah dia sangat manja, apa para wanita itu menyangka jika idolanya itu sangat gentleman" Tutur Yongki yang mengingat pertengkaran Jihwan dan Taehwan tadi siang, Pria yang memiliki senyum semanis gula itu , terkekeh mengingat kejadian tadi siang.
" Mana mungkin mereka tahu " ujar seonho sembari terkekeh, pandangan nya tertuju pada jihwan yang sesekali menyapa para penggemarnya.
Suasana begitu ricuh. Banyak orang yang berdesakan, dorong-mendorong hanya demi sekilas pandang terhadap Jihwan. Para bodyguard yang mengawal Jihwan mulai kewalahan, sementara penggemar semakin tak terkendali. Semua terasa seperti kekacauan yang tak berujung.
Namun, saat Jihwan dan manajer nya hampir sampai di pintu keberangkatan, teriakan melengking Jihwan tiba-tiba menggema di seluruh bandara.
“Jihwan Hyung!!” ....
“Jihwan!!”....
"Hyung!" Junsoo menjerit, wajahnya pucat ketika melihat Jihwan terjatuh di lantai.
"Jihwan! Apa yang terjadi?" seru Seonho panik, berlari mendekat bersama yang lain. Teriakan mereka memecah keheningan yang mendadak muncul setelah teriakan Jihwan.
"Hyung... bertahanlah... tolong jangan tinggalkan kami!" Jungsoo hampir terisak, suaranya bergetar. Darah terus mengalir dari perut Jihwan. Mata Jihwan setengah tertutup, napasnya tersengal-sengal.
" Hyung..... Ini .... Sakit ... Aku .. tidak.. kuat lagi..." bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
"Jangan banyak bicara dulu! Bertahanlah, kami akan segera ke rumah sakit!" seru Yongki, tangannya bergetar saat membantu Namjin.
Kerumunan histeris. Orang-orang lagi dan lagi berlarian, mencoba mendekat untuk melihat idola mereka, namun para bodyguard segera membentuk barisan, menghalangi mereka dengan tegas. Panik segera menyelimuti bandara. Para saudaranya bergegas menghampiri Jihwan, yang kini terkapar dengan darah yang terus mengalir dari luka di perut sebelah kirinya. Walaupun proses tersebut berjalan sedikit lambat karena beberapa wartawan, awak media dan juga para fans yang terus menerus menghalangi jalan. Karena rasa penasaran nya .
Dengan mata penuh ketakutan dan wajah pucat, Namjin segera memeluk tubuh Jihwan, darah mengalir di tangannya. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh, tak mampu lagi menahan kepedihan.
"Jihwan... bangun dek , Hyung mohon... Jangan tutup matamu " isaknya pelan, suaranya bergetar.
"Ayo cepat, aku tidak mau kehilangan adikku..!" Seonho berteriak, meskipun ketakutan yang dirasakannya begitu nyata di dalam hati. Saat tubuh Jihwan berhasil dimasukkan ke dalam ambulans, Namjin masih memegang erat tangannya, air matanya tak lagi terbendung.
Manajer Jihwan, dengan bantuan saudara-saudaranya, segera membawa jihwan segera untuk dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan penanganan medis. Setiap detik terasa seperti jam, setiap langkah penuh dengan kecemasan. Darah terus mengalir, seakan tak ada habisnya, membasahi pakaian mereka semua.
Di tengah kekacauan ini, beberapa orang mulai menghubungi pihak kepolisian. Pelaku penyerangan tak terlihat, tak ada jejak yang jelas. Ketegangan menyelimuti seluruh tempat. Semua bertanya-tanya, apa yang baru saja terjadi?
"Siapa yang melakukan ini...?!" tanya Seonho dengan marah, matanya mencari-cari di antara kerumunan, sebelum akhirnya dia pun ikut menyusul Jihwan dengan mobil yang terpisah.
Polisi yang telah dihubungi pun segera tiba di lokasi dan mulai mengamankan area. Namun, jejak pelaku sama sekali tidak terlihat. Semua orang di sana terdiam, terguncang oleh kejadian mendadak ini. Para fans yang menyaksikan tragedi tersebut juga meluapkan kesedihan mereka, beberapa di antaranya mulai menangis terisak.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa hal seperti ini terjadi di tempat yang ramai?" Namjin bergumam, masih terkejut, matanya tak lepas dari tubuh Jihwan yang kini terbaring tak sadarkan diri di atas tandu di dalam mobil ambulance.
"Kita harus mencari tahu siapa yang melakukan ini... Kita tak bisa membiarkan pelaku pergi begitu saja!" ujar Taehwan dengan amarah yang membara di matanya, tangannya mengepal erat.
"Aku tidak bisa percaya... Bagaimana bisa seseorang menyakiti Jihwan hyung seperti ini..." ujar Jungsoo.
Sementara itu, di antara kerumunan fans, suara tangis terdengar semakin keras. Beberapa di antaranya memegang poster dan foto Jihwan, sementara yang lain hanya memeluk teman-teman mereka, mencoba menenangkan diri. Tangis kesedihan membanjiri suasana yang tadinya dipenuhi sorakan kegembiraan untuk Jihwan.
“Kenapa harus dia?” lirih seorang fans di barisan depan, air mata jatuh di pipinya.
“Dia selalu baik… selalu tersenyum pada kami…” sahut fans lainnya, suaranya tergetar penuh emosi.
“Ini semua terasa seperti mimpi buruk,” gumam seorang lainnya, hampir tak sanggup berkata apa-apa lagi, matanya membesar menahan isak tangis.
“Itu benar… astaga, kenapa bisa ada kejadian mengerikan seperti ini?” lirih seorang fan lainnya, suaranya nyaris tak terdengar di antara keramaian.
“Siapa yang bisa melakukan hal sekejam ini?” tanya seorang pria di belakang kerumunan, mengangkat kepalanya dan menatap langit-langit bandara seolah mencari jawaban.
“Dia tidak pantas mendapatkan semua ini. Dia selalu berusaha untuk membuat kami bahagia,” tambah seorang gadis muda, memegang erat poster Jihwan sambil mengusap air matanya.
Suasana begitu ricuh di bandara. Meskipun Jihwan sudah dibawa ke rumah sakit oleh Lee bersaudara, para wartawan terus meliput tempat kejadian, mencoba mendapatkan informasi lebih lanjut. Polisi yang tiba di lokasi langsung bergerak cepat, menyisir area sekitar dan mengamankan tempat kejadian.
"Tim, pastikan tidak ada yang keluar dari area ini. Kita butuh saksi!" teriak seorang petugas polisi, matanya tajam memindai kerumunan.
“Ya, Pak! Kami sedang berusaha menenangkan situasi,” jawab rekannya, berusaha menahan dorongan emosional dari para fans yang masih histeris.
“Harus ada yang melihat atau mendengar sesuatu! Setiap detail penting. ” lanjut petugas itu, frustrasi. Sementara itu, seorang wartawan dengan kamera di tangan berusaha mendekati polisi.
“Apakah kalian sudah menemukan pelakunya?” tanyanya, bersikap agresif untuk mendapatkan berita. Suara bising kerumunan di belakangnya membuatnya semakin bersemangat untuk merekam momen itu.
“Masih dalam penyelidikan. Kami mohon semua orang tenang, dan jangan terlalu dekat dengan tempat kejadian. Karena itu bisa menghilangkan bukti,” jawab petugas polisi, berusaha menjaga jarak antara wartawan dan situasi yang sedang berlangsung. Dia menahan napas, mencoba tetap fokus di tengah kepanikan. Di sudut lain, seorang fans berusaha berbicara dengan seorang petugas.
“Tolong izinkan saya bicara, saya melihat seseorang berdiri di dekat Jihwan sebelum kejadian itu. Dia terlihat mencurigakan!” serunya, suaranya bergetar ketakutan.
“Coba ingat kembali, apa yang dia lakukan?” tanya petugas itu, mencatat setiap informasi dengan hati-hati, matanya tidak lepas dari ekspresi panik di wajah fans itu.
“Saya… saya tidak tahu. Hanya perasaan saya yang mengatakan ada yang tidak beres,” ujar fans itu, menggigit bibirnya menahan ketakutan.
“Tapi, Pak… saat korban datang, pasti banyak orang yang mendekatinya,” tutur , fans lainnya.
“itu masuk akal…” jawab polisi lain, mengangguk setuju.
“Katakan lebih detail apa yang kamu lihat. Mungkin ciri-ciri dari orang tersebut? Pria atau wanita, dan bagaimana kamu bisa yakin jika dia pelaku?” tanya kepala tim polisi kembali, suaranya tegas namun tetap lembut agar saksi tidak merasa tertekan.
“Dia seorang pria, Pak… Badannya tinggi dan besar. Saya yakin dia pelakunya karena dialah satu-satunya yang berhasil menembus perlindungan bodyguard yang melindungi Jihwan,” ujar wanita tersebut lagi, matanya berbinar dengan keyakinan.
“Periksa seluruh CCTV di seluruh bandara, jangan lewatkan satu pun. Dari pintu kedatangan hingga pintu keberangkatan. Kita harus menemukan petunjuk sebelum pelaku melarikan diri, ” perintah kepala tim kepolisian dengan nada tegas, wajahnya serius.
“Ya, Pak!” jawab para petugas serentak, bergegas untuk melaksanakan perintah.
Situasi masih terlihat begitu kacau. Para polisi terpokus pada tugas dan pekerjaan mereka untuk mencari pelakunya, begitu juga para wartawan yang terus meliput kejadian di sana. Beberapa orang juga dimintai keterangan atas apa yang mereka lihat.
“Coba ceritakan apa yang kalian lihat sejak Jihwan tiba di sini,” tanya seorang petugas kepada sekelompok penggemar yang tampak panik. Mereka saling berpandangan, berusaha mengumpulkan pikiran mereka.
“Saya hanya ingat banyak orang berkerumun, semua orang ingin melihatnya. Tapi… ada satu orang yang terlihat berbeda, Dia berdiri agak jauh, tapi terus memperhatikan Jihwan.” jawab seorang gadis dengan suara bergetar, jawaban yang dia berikan hampir sama dengan penuturan fans sebelumnya.
“Seperti apa dia?” tanya petugas itu, mengambil catatan dengan cepat.
“ Badan nya tinggi dan besar dia mengenakan hoodie hitam dan topi, jadi saya tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tapi… saya merasakan sesuatu yang aneh dari cara dia melihat Jihwan, seolah dia… menunggu sesuatu.” ujar gadis itu, matanya membesar karena ketakutan.
“Apakah ada yang lain yang kalian lihat? Mungkin ciri-ciri lain?” lanjut petugas, mendengarkan dengan seksama.
“Tidak banyak yang bisa kami ingat. Hanya saja, saat Jihwan tiba, Kami semua senang melihatnya. Kami tidak menyangka ini akan terjadi ” suara gadis itu tercekat. Di sisi lain, seorang wartawan berusaha menembus kerumunan untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.
“Kami butuh informasi! Apakah ada yang melihat pelaku sebelum insiden ini terjadi?” teriaknya, berusaha menarik perhatian para saksi.
“Dia pergi ke arah sana! kami melihat seseorang berlari menjauh dari kerumunan saat semua orang panik.” teriak salah satu penggemar, menunjuk ke arah pintu keluar . Namun hal itu nampak seperti kata - kata pemicu kericuhan saja .
“Dapatkah kalian menggambarkan orang itu?” tanya wartawan, mencatat setiap detail yang diberikan.
" Tidak banyak yang kami ketahui, badan nya tinggi dan besar dia mengenakan hoodie hitam dan topi, jadi saya tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tapi… saya merasakan sesuatu yang aneh dari cara dia melihat Jihwan, seolah dia… menunggu sesuatu.” ucap nya mejelaskan hal yang sama pada wartawan lain juga.
“Dia… dia tampak gugup dan terus melihat ke belakang. Saya yakin dia bukan penggemar biasa, mungkin kah dia seorang hatter's ” jawab fans lain , napasnya masih terengah-engah. Sementara itu, polisi mulai mengatur skenario di lokasi, membagi tim untuk menyisir setiap sudut bandara.
“Pastikan semua petugas di lapangan berkoordinasi dengan tim penyidik, Kita harus menemukan pelaku sebelum dia menghilang.” perintah kepala polisi.
" Tapi pak , seperti nya pelaku memang sudah berhasil meninggalkan tempat kejadian . " Ujar salah satu polisi lain.
“Saya akan memeriksa semua rekaman CCTV yang ada, mudah-mudahan kita bisa menemukan petunjuk dari situ.” jawab seorang petugas, bergegas menuju ruang kontrol bandara.
Semua orang di lokasi, baik penggemar maupun petugas, merasakan ketegangan yang menyelimuti suasana. Harapan untuk menemukan pelaku dan menyelamatkan Jihwan menggantung di udara, sementara tangisan kesedihan masih menggema di antara kerumunan.
Karena kejadian ini juga beberapa penerbangan terpaksa di hentikan , beberapa tempat di sekitaran TKP terpaksa di tutup sementara oleh lara polisi untuk menjaga barang bukti yang tertinggal.