Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Untuk yang kedua kalinya
Luna membuka pintu ruang kepala sekolah dengan santai, siap menerima ceramah panjang seperti biasanya. Namun, tatapannya langsung berubah saat melihat Jeffrey duduk di sana, wajahnya penuh kecemasan.
“Jeffrey? Kenapa kau ada di sini?” tanya Luna, nadanya lebih bingung daripada khawatir. Jeffrey jarang sekali keluar dari klinik kecuali ada sesuatu yang mendesak.
Jeffrey berdiri, raut wajahnya serius. “Luna, aku harus memberitahumu sesuatu. Kakekmu...”
Jantung Luna berdegup kencang sebelum Jeffrey bahkan menyelesaikan kalimatnya. “Apa yang terjadi pada kakekku?”
“Kakekmu mengalami serangan jantung,” kata Jeffrey, suaranya sedikit bergetar. “Kami sudah membawanya ke rumah sakit terdekat. Dia sedang dalam perawatan sekarang, tapi—”
Luna tidak menunggu Jeffrey menyelesaikan kalimatnya. Dia langsung berlari keluar dari ruangan seperti peluru yang baru ditembakkan dari pistol. Jeffrey hanya bisa memandang pintu yang terbanting terbuka dengan ekspresi pasrah.
Amelia dan Yumi, yang baru kembali dari kantin sambil bercanda soal drama kecil di kantin tadi, terhenti saat melihat Luna berlari melewati mereka dengan wajah panik.
“Hei! Luna! Kau mau ke mana?” Amelia berteriak sambil berusaha mengejarnya.
Namun, Luna sama sekali tidak menjawab. Dia terus berlari melewati lorong sekolah, meninggalkan siswa-siswa lain yang hanya bisa menatap keheranan.
“Luna, tunggu!” Amelia memekik lagi sambil menggandeng tangan Yumi. “Ayo, kita harus mengejarnya!”
“Apa yang terjadi?” tanya Yumi, setengah bingung, setengah terengah-engah karena Amelia menariknya tanpa ampun.
“Entahlah, tapi dia tidak mungkin lari seperti itu tanpa alasan serius,” jawab Amelia, napasnya sudah mulai berat karena harus mengejar Luna yang berlari seperti atlet profesional.
Saat Luna keluar dari gerbang sekolah, penjaga sekolah yang berdiri di sana hanya sempat berseru, “Hei! Kau mau ke mana tanpa izin?” sebelum dia lenyap dari pandangan.
Amelia dan Yumi akhirnya keluar dari gerbang beberapa detik kemudian, keduanya sudah terengah-engah, tapi Amelia tetap bersikeras mengejar sahabatnya.
“Kenapa... dia bisa lari... secepat itu?” gumam Yumi, mencoba menarik napas di sela-sela larinya.
“Percayalah,” Amelia menjawab sambil terkekeh di tengah kelelahan. “Kalau ada olimpiade lari untuk situasi darurat, Luna pasti dapat medali emas!”
Mereka terus berlari di belakang Luna, yang kini sudah berada jauh di depan, bahkan hampir tak terlihat. Entah bagaimana, meski suasana penuh kepanikan, Amelia masih sempat memikirkan betapa dramatisnya momen ini. “Kalau ini film, aku yakin musik latarnya akan sangat menegangkan sekarang!” katanya sambil terus menarik Yumi.
Yumi hanya bisa menggeleng sambil berdoa agar apa pun yang terjadi, semuanya akan baik-baik saja.
...****************...
Luna menerobos pintu rumah sakit dengan napas tersengal-sengal, wajahnya memerah akibat berlari sejauh itu tanpa berhenti. Di belakangnya, Amelia dan Yumi menyusul dengan kondisi yang tak kalah payah, sementara Jeffrey tiba beberapa saat kemudian, tampak lebih teratur namun tetap kelelahan.
Ruangan UGD yang terang dengan bau khas rumah sakit menyambut mereka. Luna tidak membuang waktu. Dia berjalan cepat menyusuri lorong, matanya bergerak liar mencari keberadaan kakeknya. Setiap detik terasa seperti pukulan keras ke dadanya.
“Di mana... di mana dia?” gumamnya putus asa, meskipun tidak ada yang bisa menjawab. Jeffrey mengikuti di belakang, mencoba mengarahkan Luna.
Sampai akhirnya, Luna melihatnya. Di sudut ruangan, tubuh kakeknya terbaring di atas ranjang, selimut putih menutupi seluruh tubuhnya hingga ke kepala.
“Tidak...” Luna melangkah maju, hampir seperti ditarik oleh gravitasi. Tangannya gemetar saat mendekat, matanya mulai memerah, seolah menolak mempercayai apa yang dilihatnya.
Dia menarik selimut perlahan, dan di bawahnya, wajah tenang kakeknya terlihat, tanpa gerakan, tanpa nyawa.
“Kakek...” suaranya hampir tidak keluar, hanya sebuah bisikan kecil yang dipenuhi ketidakpercayaan.
Amelia dan Yumi, yang baru saja menyusul, langsung terdiam. Mereka saling pandang, kebingungan harus berkata apa. Amelia menutup mulutnya dengan tangan, matanya mulai berkaca-kaca. Yumi berdiri kaku, tampak terguncang meskipun dia tidak mengenal kakek Luna dengan baik.
Luna jatuh berlutut di samping ranjang, tangannya mencengkeram lengan kakeknya yang sudah dingin. Air matanya mulai mengalir, tetapi tidak ada suara tangisan yang keluar—hanya keheningan yang menyakitkan.
“Kakek... bangunlah,” katanya dengan suara lirih, penuh harapan kosong. “Kenapa kakek ada disini.... Kakek....”
Jeffrey menundukkan kepalanya di belakang mereka, tangan menggenggam kuat clipboard yang dipegangnya. Dia tahu saat seperti ini, tidak ada kata-kata yang bisa menghibur.
Dunia Luna seolah runtuh saat itu juga. Semua kenangan, semua canda tawa dengan kakeknya, semuanya terbayang kembali dalam pikirannya seperti film yang diputar ulang tanpa henti. Tapi sekarang, semua itu hanya kenangan.
Luna ambruk ke samping ranjang, menangis tanpa suara, dengan Amelia yang akhirnya berani maju untuk memeluk sahabatnya. “Aku di sini, Luna. Aku di sini...” bisik Amelia, suaranya gemetar.
Namun, tidak ada yang bisa menghapus rasa kehilangan itu. Bagi Luna, kehilangan kakeknya bukan hanya kehilangan seorang anggota keluarga. Itu adalah kehilangan seluruh dunianya.
"Apa yang terjadi?" tanya Luna dengan suara yang bergetar, matanya memandang tajam pada Magdalena, seolah mencari jawaban yang tidak masuk akal itu.
Magdalena, dokter intern muda yang terlihat terkejut dan cemas, menatap Luna dengan mata yang penuh rasa penyesalan. "Dokter Antonius sudah tidak sadarkan diri saat dibawa kemari. Sepertinya dia terkena serangan jantung," jawabnya dengan suara yang lemah, seperti tak mampu menyembunyikan rasa khawatir yang mendalam.
Luna tampak terpana sejenak, pikirannya berputar-putar, mencoba memproses informasi yang tak ingin diterimanya. "Mustahil!!! Kakekku tidak memiliki riwayat penyakit jantung, bagaimana dia bisa terkena serangan jantung?" teriak Luna, hampir tidak bisa menahan rasa panik yang merambat cepat di dalam dirinya. Suaranya penuh dengan ketidakpercayaan dan ketakutan yang mendalam.
Amelia yang berdiri di sampingnya segera meraih tangannya, berusaha menenangkannya. "LUNA... TENANGKAN DIRIMU!!" teriak Amelia dengan keras, suaranya penuh kekhawatiran. Matanya yang penuh dengan rasa takut berpindah antara Luna dan kakeknya, tetapi dia tahu bahwa Luna butuh ketenangan, bukan kepanikan lebih lanjut.
Yumi, yang sudah cukup lama diam, akhirnya ikut mendekat dan menggenggam tangan Luna, memberikan kekuatan tanpa kata-kata. "Jangan seperti ini," lanjut Amelia dengan suara yang sedikit gemetar. "Kau harus tetap kuat."
Namun, Luna tidak bisa begitu saja menenangkan dirinya. Wajahnya yang pucat terlihat semakin muram, matanya yang biasanya penuh semangat kini hanya tampak kosong, seperti kehilangan cahaya.
Di tengah keheningan yang menyelimuti ruangan itu, Jeffrey—perawat yang selalu tampak tenang—akhirnya angkat bicara. Suaranya terdengar datar namun mengandung rasa cemas yang tidak bisa disembunyikan. "Dokter Antonius... Aku menemukan dia tergeletak di dalam klinik tadi pagi, saat aku datang untuk bekerja seperti biasa." kata Jeffrey pelan, memecah keheningan yang semakin berat.
Luna menoleh dengan cepat, matanya terbuka lebar seperti menyadari sesuatu yang penting. "Tunggu... kau bilang, beliau tergeletak di klinik? Bagaimana bisa?" Luna bertanya dengan suara bergetar. Ada rasa aneh yang mulai muncul dalam pikirannya—sebuah rasa yang sulit dijelaskan.
"Ya," jawab Jeffrey dengan perlahan. "Itu yang terjadi, aku sempat mencoba memberikan pertolongan pertama tapi... Kurasa semua sudah terlambat"
Luna terdiam, perasaannya semakin kacau. Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa kejadian ini terlalu kebetulan. Ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang lebih besar dari sekadar serangan jantung biasa. Dan perasaan itu semakin menguatkan rasa curiganya.
Sementara itu, Amelia dan Yumi hanya bisa melihat dengan khawatir, tak tahu lagi bagaimana harus memberikan dukungan yang Luna butuhkan saat ini.
...****************...