Novel ini diilhami dari kisah hidup Nofiya Hayati dan dibalut dengan imajinasi penulis.
🍁🍁🍁
Semestinya seorang wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang punggung.
Namun terkadang, ujian hidup memaksa seorang wanita menjadi tangguh dan harus terjun menjadi tulang punggung. Seperti yang dialami oleh Nofiya.
Kisah cinta yang berawal manis, ternyata menyeretnya ke palung duka karena coba dan uji yang datang silih berganti.
Nofiya terpaksa memilih jalan yang tak terbayangkan selama ini. Meninggalkan dua insan yang teramat berarti.
"Mama yang semangat ya. Adek wes mbeneh. Adek nggak bakal nakal. Tapi, Mama nggak oleh sui-sui lungone. Adek susah ngko." Kenzie--putra Nofiya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31 Filosofi Catur
Happy reading 😘
Binar bahagia terpancar dari sepasang mata bening Zaenal ketika gadis yang dicinta telah berdiri di hadapan.
Ingin rasanya meluapkan rasa rindu dengan memberi pelukan erat. Namun ia takut jika sang kekasih tidak berkenan.
"Hai, Zen." Nofiya menyapa.
Sebaris senyum manis yang diperlihatkan olehnya membuat Zaenal terpana.
Pahatan cantik yang selalu memenuhi ruang pikir, kini terlihat kian memesona di mata Zaenal.
Mungkin karena sepekan tidak bersua dan hanya bisa saling menatap melalui layar gawai. Atau mungkin karena rasa cintanya bertambah seusai melalui ujian cinta yang sempat meluluh lantakkan hati.
"Hai, Yang. Sini aku bawain kopermu." Zaenal menyahut, setelah beberapa detik nge freeze.
"Mas Zen, bawain koperku sekalian ya!" Langit tertawa nyengir, lalu memberikan kopernya pada Zaenal.
"Yaelah, dibawa sendiri 'kan bisa, Dek," ujar Nofiya. Ia merasa tidak enak hati pada Zaenal.
"Nggak papa, Yang. Aku bawain sekalian. Lagian koper kalian enteng, nggak seberat ujian cinta kita."
Lebay, Zen!
Perkataan Zaenal membuat Jingga serasa ingin muntah, karena terdengar lebay baginya.
"Koperku sekalian dibawain nggak, Zen?" Jingga turut menimpali dengan melontarkan candaan.
"Boleh, Mbak. Sini, sekalian aku bawain."
"Nggak. Aku cuma bercanda, Zen."
"Beneran juga nggak papa, Mbak."
"Udah, nggak usah. Lagian 'kan mobilmu cuma berjarak lima langkah dari sini."
"Iya juga." Zaenal tertawa kecil, lalu memandu Nofiya, Langit, dan Jingga berjalan menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Setelah menyimpan semua koper di bagasi, Zaenal mempersilahkan Nofiya dan kedua saudaranya untuk masuk ke dalam mobil.
Jingga dan Langit duduk di jok bagian belakang. Sementara Nofiya duduk bersebelahan dengan Zaenal.
Mobil yang dikendarai oleh Zaenal melaju dengan kecepatan sedang.
Ia tidak berani menambah kecepatan karena jalan yang dilewati cukup padat. Ditambah air langit yang tiba-tiba turun sangat deras, membuat jalanan licin.
Nofiya merasa takut sekaligus ngeri ketika mobil yang ditungganginya melewati kaki bukit. Ia takut jika bukit itu runtuh dan menimpa mereka.
Berbeda dengan Zaenal yang terlihat sangat tenang dan tetap fokus memainkan kemudi.
"Zen, bisa lebih kenceng nggak?" Nofiya memecah hening.
Zaenal menoleh sekilas ke arah Nofiya dan mengulas senyum. "Kalau hujannya deres gini, aku nggak berani bawa mobil kenceng-kenceng, Yang. Selain jalannya licin, medannya juga ngeri. Kalau nggak hati-hati, kita bisa jatuh ke jurang. Belum nikah, udah mati duluan kita." Zaenal terkekeh.
"Jangan bercanda, Zen. Aku nggak suka kamu ngomong kaya' gitu."
"Aku nggak bercanda, Yang. Kalau nyetirnya nggak hati-hati, mobilku beneran bisa tergelincir dan jatuh ke jurang."
Nofiya menghela nafas dalam dan berusaha mengalihkan pikiran buruk dengan melafazkan doa dan berzikir di dalam hati.
"Nggak usah mikir yang aneh-aneh, Yang. Buat tiduran aja, kaya' Mbak Jingga dan Langit," tutur Zaenal tanpa mengalihkan fokus pada jalan yang akan dilalui.
"Iya, Zen." Nofiya mengangguk pelan, lalu kembali melafazkan doa dan zikir.
Tanpa terasa, mobil yang dikendarai oleh Zaenal telah tiba di halaman rumah Nofiya seiring air langit yang mulai reda.
Ridwan tampak menanti di teras rumah. Ia berdiri dengan pandangan tak lepas dari ketiga anaknya yang tengah keluar dari dalam mobil.
"Assalamu'alaikum, Papa."
Seutas senyum terbit menghiasi wajah Ridwan kala mendengar salam yang terucap dari bibir Nofiya, Langit, dan Jingga.
"Wa'alaikumsalam --" balasnya disertai senyum mengembang.
Ridwan lantas memeluk tubuh ketiga buah hatinya secara bergantian, seraya meluapkan rasa rindu.
"Ayo masuk!" titah Ridwan yang diindahkan oleh Nofiya, Zaenal, Langit, dan Jingga.
Ridwan membawa langkahnya menuju ruang tamu, diikuti oleh Zaenal dan Nofiya yang berjalan di belakangnya.
Sementara Langit dan Jingga, memutar tumit dan bergegas menaiki anak tangga. Mereka ingin segera membersihkan tubuh dengan kesegaran air shower, lalu kembali melanjutkan mimpi indah yang terpenggal.
Zaenal dan Nofiya mendaratkan bobot tubuh di sofa, setelah Ridwan mempersilahkan mereka untuk duduk.
Sama seperti Zaenal dan Nofiya, Ridwan pun mendaratkan bobot tubuhnya di sofa.
Mereka duduk berhadapan.
"Zen, terima kasih karena kamu sudah meluangkan waktu untuk menjemput Nofiya, Langit, dan Jingga di bandara," ucap Ridwan membuka obrolan.
"Iya. Sama-sama, Pa."
"Bagaimana perjalanan kalian?"
"Alhamdulillah lancar, Pa. Fiya sempet merasa takut dan ngeri waktu kami melewati kaki bukit." Nofiya menjawab tanya.
"Tadi, Papa juga sempat merasa takut dan khawatir. Selain hujannya deras, anginnya juga sangat kencang. Papa khawatir kalau mobil yang dikendarai oleh Zen tergelincir dan jatuh ke jurang. Papa terus menerus berdoa, semoga kalian diberi perlindungan dan keselamatan. Alhamdulillah, doa Papa diijabah. Kalian tiba di rumah dengan selamat."
"Alhamdulillah, Pa. Tadi di perjalanan, Fiya juga berdoa dan berzikir terus."
"Alhamdulillah. Papa teramat bersyukur masih bisa menatap dan berkumpul dengan kalian."
"Fiya juga, Pa."
Ridwan mengalihkan tatap ke arah Zaenal yang nampak terdiam tanpa kata dan hanya menjadi pendengar.
"Oya, Zen. Apa kabar papi dan mami mu?"
Ridwan sekedar berbasa-basi, sebab belum lama ini ia bertemu dengan kedua orang tua Zaenal di Kafe K & R. Tentu saja tanpa sepengetahuan Zaenal dan Nofiya.
Entah apa yang mereka bicarakan saat bertemu di kafe tersebut.
"Alhamdulillah kabar papi dan mami baik, Pa. Insya Allah papi dan mami dalam keadaan sehat walafiat. Tapi beberapa hari ini mereka sangat sibuk dan jarang pulang ke rumah."
"Jadi, kamu jarang bertemu dengan mereka?"
"Iya, Pa. Papi dan mami lebih banyak menghabiskan waktu di luar kota, karena mengerjakan proyek."
Ridwan menanggapi ucapan Zaenal dengan manggut-manggut.
Kemudian ia meminta Nofiya untuk segera pergi ke dapur. Membuatkan minuman dan menghidangkan camilan untuk Zaenal.
Obrolan Ridwan dan Zaenal berlanjut, dengan ditemani dua cangkir kopi hitam, camilan, dan catur.
Rupanya kedua pria berbeda generasi itu memiliki hobi yang sama. Bermain catur.
"Zen, meski kedua orang tuamu memiliki harta yang berlimpah ruah, jangan terbiasa hidup bermewah-mewahan. Biasakan hidup sederhana, karena roda kehidupan terus berputar. Saat ini kita berada di atas. Akan tetapi, kita tidak boleh terlena. Karena bisa jadi, esok kita akan berada di bawah. Jadi, kita harus selalu bersiap," tutur Ridwan.
"Iya, Pa." Zaenal mengangguk pelan, tetapi fokusnya masih tertuju pada bidak catur.
"Skakmat!" ujarnya kemudian, diikuti senyum mengembang. Ia puas karena berhasil mengalahkan Ridwan, setelah beberapa kali kalah dari papa mertuanya itu.
Ridwan menggeleng kepala dan menghela nafas.
Ia tidak yakin jika nasehatnya tadi didengar, apalagi difahami oleh Zaenal.
Sebagai seorang ayah, Ridwan hanya bisa berharap dan berdoa semoga pemuda yang saat ini masih duduk di hadapannya itu, tidak akan pernah mengecewakan putrinya.
"Zen, kamu tau filosofi catur?"
Zaenal menggeleng pelan. "Kurang tau, Pa. Yang saya tau, catur hanyalah sebuah permainan. Kita bermain catur untuk mendapat hiburan dan sekedar menuangkan hobi."
Ridwan menarik kedua sudut bibirnya ke atas, lalu kembali bertutur seraya menjelaskan filosofi catur.
Zaenal mendengarkan dan berusaha menelaah setiap kata yang dituturkan oleh calon papa mertuanya itu.
Ia sungguh tidak menyangka jika ternyata permainan catur memiliki filosofi yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia.
...🌹🌹🌹...
Sekedar catatan untuk menambah pengetahuan kita:
...Filosofi catur...
Warna papan catur
Warna hitam dan putih pada papan catur melambangkan dua sisi kehidupan manusia, yaitu hal-hal negatif dan positif.
Pengorbanan
Dalam catur, pemain harus rela mengorbankan bidak untuk memenangkan permainan. Hal ini bisa diartikan sebagai pengorbanan dalam hidup untuk mencapai sesuatu yang lebih besar.
Bidak pion
Bidak pion yang terus maju walaupun langkahnya kecil bisa menjadi pelajaran untuk tidak meremehkan diri sendiri.
Kepribadian
Langkah-langkah yang diambil pemain saat bermain catur bisa mencerminkan kepribadiannya.
Strategi dan kesabaran
Permainan catur mengajarkan pemain untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan menggunakan strategi yang tepat.
Tidak mudah menyerah
Dalam catur, pemain sering mengalami skakmat dan berpotensi kalah. Namun tetap harus terus berusaha.
Makna sosial
Dalam catur, bidak raja dan bidak ratu tidak bisa dipisahkan, yang menggambarkan makna makhluk sosial.
🍁🍁🍁
Bersambung ....
ada2 gajah deh
dasar Conal
Dia otaknya encer...hehehege
Ampuunnn Dahhh
sini di belakang rumahku..sambil ngingu pitik
Dari tadi, aku baca di Zaenal manggilnya YANG..YANG..terus..
itu nama pacarnya Zaenal, Fiya apa Mayang sih..
Aku juga ketawa nihh
Aku pikir Kirana putri cantiknya Author
yang gantengnya sejagad jiwa..yang kumisnya bikin Author gak bisa lupa