Kiyai Aldan menatap tajam Agra dkk dan Adira dkk. Ruangan ini begitu sagat panas dan terasa sesak dengan aura yang dikeluarkan oleh kiyai Aldan.
“Sedang apa kalian di sana?” Tanyanya pelan namun dingin.
“Afwan kiyai, sepertinya kiyai salah paham atas…,” Agra menutup matanya saat kiyai Aldan kembali memotong ucapannya.
“Apa? Saya salah paham apa? Memangnya mata saya ini rabun? Jelas-jelas kalian itu sedang… astagfirullah.” Kiyai Aldan mengusap wajahnya dengan kasar. “Bisa-bisanya kalian ini… kalian bukan muhrim. Bagaimana jika orang lain yang melihat kalian seperti itu tadi ha? “
“Afwan kiyai.” Lirih mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARI H
Pentas seni pondok pesantren Al-Nakhla telah dibuka dengan beberapa sambutan dari orang-orang penting pondok seperti kiyai Aldan sebagai pimpinan pondok, ada juga beberapa sambutan penting dari para tamu yang diundang. Acara ini berlangsung selama dua hari tiga malam.
Saat ini, di atas panggung tampil marawis dengan kekompakan mereka, membawakan beberapa lagu shalawat yang membuat semua penonton terpukau dengan tampilan para santri dengan wajah yang rata-rata sangat tampan itu.
...Sarrat thowil...
...‘ala albini...
...Hallani thowiil...
...Hallani nahdzor...
Semua tampak menikmati, baik para guru, pembina dan para tamu undangan pun menikmati acara pembukaan pentas seni pada malam ini tak terkecuali oleh Adira dkk yang menunggu giliran untuk tampil sesaat setelah group marawis itu selesai.
“Setelah ini Adira dan teman-temannya?” Tanya Agra kepada Abraham yang duduk disebelahnya. Duduk dibarisan kedua setelah jajaran kiyai Aldan dan tamu penting lainnya.
Abraham mengangguk. “Ya, semua angkatan putra dan putri tingkat akhir akan tampil.” Jawabnya. “Jangan lupa ambil gambar banyak-banyak wajah istri mu.” Lanjutnya dengan berbisik kepada Agra.
Agra hanya mendengus, tak memperdulikan lagi Abraham. Ia mulai fokus pada penampilan selanjutnya dimana istrinya dan teman setingkatnya mulai berbaris diatas panggung itu dan kebetulan Adira berdiri tepat didepan beserta teman lainnya yang mememiliki tinggi yang sama seperti Adira.
“Lagu ini kami persembahkan untuk para guru-guru kami yang telah membimbing kami selama hampir tiga tahun, tanpa guru tak akan ada polisi, tanpa guru tak akan ada pilot, tanpa guru tak akan ada tentara, tanpa guru tak akan ada dosen, dan tanpa guru kami tidak akan tahu apa-apa.”
“Terimakasih karena telah mengabdikan diri kalian menjadi seorang guru hebat tanpa kenal lelah, tanpa jasa-jasa kalian semua sebagai seorang guru dan orang tua kami disekolah, kami tak akan bisa menjadi seorang anak bangsa yang hebat, berbakat, penuh dengan prestasi. Itu semua, kami bisa dapatkan karena ilmu dari kalian guru ku.”
Semua terdiam, hanyut dalam suasana yang tiba-tiba saja tak mengenakkan untuk mata dan hati. Terutama bagi para guru dan pembina.
...Man ana man ana, man ana laulaakum...
...Kaifaa maa hubbukum, kaifa maa ahwaakum...
...Man ana man ana, man ana laulaakum...
...Kaifama maa hubbukum, kaifa maa ahwaakum...
Agra dapat melihat jika Adira menyembunyikan tangan kanannya dibelakang tubuhnya, mungkin karena istinya itu tak mau jika orang-orang melihat tangannya yang masih sedikit bengkak karena pertengkaran kemarin itu.
Setelah penampilan dari kelas tingkat akhir madrasah aliyah itu, kini di lanjutkan dengan beberapa penampilan bakat dari santri putra dan putri.
xxx
“Besok malam siapa yang tampil? Teater putri atau putra?” Tanya Ayyara. mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat kecil menggunakan tisu.
“Entahlah, nanti aku tanya ustadz Abraham.” Jawab Aruna. Tangan anak itu sibuk mengambil jajanan yang telah disediakan panitia acara untuk para peserta acara.
Mereka tengah berkumpul disisi kanan panggung, hanya mereka berdua saja dengan beberapa peserta lainnya. Dimana Adira dan Almaira? Mereka berdua tengah sedang duduk manis menikmati pertunjukan dengan para penonton yang lainnya.
“Keren sih! Walau latihan cuman empat hari saja, hasilnya sangat memuaskan.” Ucap Almaira takjub. Mereka tak memiliki waktu yang banyak untuk latihan, namun dengan waktu yang singkat itu menghasilkan penampilan yang memukau.
“Benar, aku juga baru tahu kalau mereka semua ini punya bakat yan terpendam rupanya.” Lanjut Adira.
Mereka duduk lesehan yang beralaskan terpal bersama yang lainnya, bahkan bukan cuman santri saja yang ikut menonton acaranya melainkan pondok pesantren membuka untuk umum. Jadi orang-orang yang ingin ikut menonton bisa masuk dan sekaligus pondok memperkenalkan pondok pesantren Al-Nakla kepada orang luar.
“Aku kira, moment seperti ini yang akan kita rindukan nanti setelah lulus.” Ujar Adira. Mengingat bahwa mereka sebentar lagi akan lulus, membuatnya sedikit tak rela meninggalkan pondok ini.
Tunggu, bukankah ustadz Agra dan lainnya itu pembina di pondok itu ya? Yang berarti mereka Adira dan yang lainnya jelas akan menetap di pondok bukan? Tapi, itu tergantung para ustadz muda itu.
“Ya, masa-masa sekolah menengah atas ini lah yang paling kita rindukan nanti. Di sini kita banyak bertemu dengan orang baru dengan asal yang berbeda-beda, belajar bahasa daerah yang lain, terus juga… mmm di sini kita dapat jodoh dadakan.” Tutur Almaira.
Adira mengangguk setuju. “Benar, gara-gara mati lampu tiba-tiba kita jadi istri ustadz muda hihih.” Kekehnya dengan pelan.
Almaira ikut terkekeh, masih belum menyangka jika mereka ini sudah menikah dan memiliki seorang suami yang berstatus ustadz. Bahkan sampai kini mereka masih belum tahu-menahu tentang pekerjaan yang membuat para ustadz muda itu sering kali keluar untuk bekerja dengan setelan formalnya.
Puk
“Eh… isss aku kira siapa.” Ucap Adira saat seseorang menepuk pundaknya dari belakang hingga membuatnya sedikit kaget.
“Heheh, maaf cintaku. Kita cari bagian belakang kalian tidak ada, ternyata nyelip ditengah-tengah.” Ucap Ayyara. Duduk disebelah Adira disusul Aruna disebelah Almaira.
“Nih ambil.” Aruna menyerahkan ciki-ciki yang dibawahnya kepada kedua temannya itu kecuali Ayyara yang sudah penuh ditangannya berbagai makanan.
“Uhh makasih banyak sayangkuuu.” Ucap Adira dan Almaira bersama.
Aruna tersenyum. “Sama-sama.”
“Omong-omong, kabar si Gia itu bagaimana?” Tanya Aruna. Ia memang baru mengetahui pagi tadi dimana Adira dan Ayyara digiring ke Ndalem.
“Mana kita tau!” Jawaban sengit dari Adira dan juga Ayyara.
“Hahah, emang benar ya kalau pak Antoni marah besar tadi?” Giliran Almaira pula yang bertanya.
“Hm, marah sampai mukanya itu seperti menahan eek.” Jawab Ayyara. mengingat kejadian itu membuatnya terkekeh pelan, sangat puas dengan tontonan gratis itu.
Hi! Berdosa sekali kamu Ayyara.
“Benar, kiyai Aldan tenang banget waktu pak Antoni marah-marah. Mana main ancam lagi, tapi ujung-ujungnya juga pak Antoni kalah terus, bukan donatur lagi deh.” Lanjut Adira.
“Bukan donatur lagi? Terus kiyai jawab apa?” Tanya Aruna penasaran. Bukankah pak Antoni itu memiliki pengaruh besar untuk pondok pikirnya.
“Kiyai cuman bilang, pondok ini tidak akan tutup jika kehilangan donatur seperti pak Antoni.” Jawab Adira. Mengingat tadi bagaimana tenangnya sang kiyai menghadapi orang seperti pak Antoni itu.
“Memang benar, terus si Gia bagaimana? Apa tetap mondok di sini atau pindah?” Tanya Almaira.
“Kalau jelas pindah, mungkin itu tidak bisa. Kita sudah kelas tiga, dan kalau mau pindah pun sekolah mana yang mau menerimanya.”
semangat 💪👍