Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.
Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.
Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HC 32
Saat ini Alvaro tengah berada di Lausanne untuk menemui Daren. Wajahnya terlihat begitu sumringah dan membuat Daren penasaran dengan apa yang tengah terjadi pada sahabatnya itu. Jika dilihat dari raut wajah serta gerak-geriknya, Alvaro tampak seperti orang yang sedang jatuh cinta.
“Sebenarnya ada apa denganmu? Sejak tiba disini kau terus tersenyum seperti orang gila.” Protes Daren seraya menyeruput kopi yang berada dalam genggamannya.
“Ah ya aku belum memberitahumu mengenai berita besar yang ku miliki, ya?"
"Berita besar?" Tanya Daren penasaran.
"Benar. Ini soal Rafa.”
“Hanya soal Rafa tapi kau sampai sebegitunya. Apa lagi yang diperbuat oleh bocah nakal itu?”
“Dia sudah membuka hatinya untuk Adel, Ren. Aaahh aku sangat senang mendengar berita ini dan aku benar-benar bersemangat sekali saat mengetahui hal itu.”
Mendengar penuturan Alvaro hampir saja membuat Daren menyemprotkan kopi yang berada dalam mulutnya. Berita yang disampaikan oleh Alvaro memang berita yang besar bagi mereka, karena keduanya sudah lelah dengan sikap Rafael yang selalu hidup dalam keterpurukan hingga berimbas pada kehidupan lainnya.
“Mari kita rayakan ini setelah urusan di Lausanne selesai.” Tukas Daren dan dibalas anggukkan oleh Alvaro.
Jika Daren dan Alvaro tengah merencanakan perayaan untuk Rafael dan Adeline, saat ini Rafael sendiri tengah sibuk mengupasi kulit udang dan menyisikan daging kepiting dari cangkangnya. Adeline merasa jika Rafael yang dia kenal telah kembali, namun hingga detik itu pun dia tidak tahu apa penyebab Rafael seperti sekarang.
Sesekali Adeline melirik Rafael yang masih fokus dengan udang serta kepiting dihadapannya, ketika Rafael melirik, tatapan keduanya bertemu dan membuat Adeline tersedak. “Hati-hati.” Ucap Rafael seraya menyodorkan segelas air mineral yang berada di mejanya.
“Aku sudah tidak mau makan lagi, kak.”
“Kenapa? Kau sudah kenyang?”
“Aku harus kembali ke rumah sakit sekarang. Aku harus ikut partisipasi untuk operasi jam 4 nanti, dan sebelum jam 3 aku harus sudah disana untuk membantu mempersiapkan ruangan operasi sekaligus yang lainnya.”
“Jika begitu aku akan mengantarmu,”
“Tidak kak, tidak perlu. Aku akan pergi sendiri. Lagi pula tempat ini tidak jauh dengan kantormu bukan? Aku pergi sekarang dan aku berjanji untuk membuatkan makan malam untukmu nanti.” Adeline langsung berlari meninggalkan balkon sekaligus restaurant tersebut, sedangkan Rafael hanya menatapi kepergiannya.
“Lagi-lagi dia menghindariku,” Rafael mendesah dan ikut pergi dari sana.
@Berlin, Jerman
“Bagaimana kondisimu sekarang?” Seseorang duduk dihadapan seorang wanita yang tengah membaca dokumen dihadapannya.
“Kondisiku sudah baik-baik saja, Henry. Aku rasa Tuhan sangat menyayangiku hingga aku masih diberi kesempatan untuk hidup.”
“Lalu, apa kau masih belum ingat apapun? Atau mungkin dengan foto seseorang yang berada diliontinmu itu.”
“Aku memang belum ingat apapun saat ini, hanya saja aku merasa jika foto pria diliontinku ini merupakan orang yang sangat berharga untukku.” Laura menggenggam liontinnya dan bersamaan dengan jantungnya yang berdebar tak biasa setiap kali ia menggenggamnya.
“Aku memang tidak pernah meminta balasan apapun padamu, tapi jika suatu saat kau mengkhianatiku atau membuat orang yang kukasihi terluka, tidak akan ada orang yang bisa menjamin keselamatanmu, Lau.”
“Kau tenang saja, aku ini tahu balas budi. Kau sudah menyelamatkanku dan memberikanku pekerjaan saja sudah membuatku bersyukur.”
“Malam nanti tolong hadiri pesta di Munchen, aku akan mengirim pengawal untukmu.” Henry memutar-mutar wine yang berada dalam genggamannya sebelum akhirnya memutuskan keluar dari ruangan itu.
Laura merupakan sekretaris baru Henry yang dia angkat untuk melakukan pekerjaannya diperusahaan miliknya yang berada di Jerman. Meski belum mengenal lama sosok Laura, namun Henry sudah tahu latar belakang Laura yang sesungguhnya walaupun Laura masih belum mengingat keseluruhan tentang dirinya.
@Bern, Swiss
Saat ini Adeline tengah berada didalam ambulance bersama dengan salah seorang dokter. Ketika baru tiba dari makan siang bersama Rafael, tiba-tiba saja dokter Alex memintanya untuk menemaninya ke salah satu rumah sakit untuk membawa hati pendonor yang akan ditransplantasikan pada pasien yang berada di rumah sakit tempatnya bekerja.
Memastikan bahwa hati yang berada dalam box masih dengan suhu yang aman, Adeline mengecek jarum jam yang melingkar dipergelangan tangannya. “Dok, kita harus tiba dalam waktu 35 menit,” tukas Adeline saat menyadari jalanan didepan sana tengah mengalami macet karena akan ada penutupan jalan akibat badai yang diprediksi akan datang pukul 7 malam nanti.
Suara sirine terus menggema disepanjang perjalanan, dan speaker pun digunakan oleh salah satu perawat yang duduk disamping supir ambulance untuk memberi arahan bagi pengendara depan serta supir ambulance yang tengah mengemudi. “Kita ambil kiri saja sekarang.” Pintanya dengan speaker yang masih aktif.
"Es batu dalam boxnya mulai mencair, dok." Tukas Adeline yang sejak tadi memperhatikan box yang berisikan liver tersebut.
"Padahal ini sudah mau memasuki musim dingin, tapi cepat sekali es batunya itu mencair. Kita berhenti di minimarket untuk membeli beberapa cup es batu." Dokter Alex angkat suara.
"Beberapa meter dari sini ada minimarket disebelah kanan, kita bisa membelinya disana." Timpal Adeline.
Sesuai arahan dari Adeline dan dokter Alex mereka pun menepi ke sebuah minimarket untuk mengisi ulang es batu agar kondisi liver tetap terjaga sehingga pasien yang akan melakukan transplantasi malam nanti bisa berjalan dengan baik.
Selagi salah seorang perawat pria masuk untuk membeli beberapa cup es batu, Adeline dan dokter Alex mengecek kondisi liver yang berada dalam box.
"Aku membeli 50 cup, apa kurang?"
"Aku pikir cukup, mengingat jarak rumah sakit sudah tidak begitu jauh. Tapi kita harus cepat." Seru dokter Alex yang kemudian mereka kembali masuk ke dalam ambulance dan memutuskan untuk mengisi ulang es batu sambil berjalan.
Telat 10 menit, Adeline dan lainnya kini sudah tiba dirumah sakit, dengan berlari Adeline membawa box itu ke dalam ruangan pendingin yang memang khusus untuk organ. Setibanya di ruangan tersebut, Adeline menyerahkan box tersebut pada dokter yang menjaga ruangan.
"Telat sedikit lagi, liver ini tidak akan berfungsi dan kemungkinan operasi akan gagal."
"Sisanya aku serahkan padamu dokter Iren." Tutur Adeline dengan napas yang masih tersengal.
Masih berada diruang penyimpanan, ponsel Adeline berdering dan membuatnya harus segera keluar dari sana agar bisa menerima panggilan yang berada di ponselnya. "Del, aku dengar kau pergi ke Erayl Hospital?" Sambar seseorang diseberang sana.
"Benar. Kami membawa liver untuk ditransplantasikan pada pasien yang akan operasi nanti malam. Itu sungguh dadakan. Tapi aku senang karena akhirnya pasien di bangsal 9 itu mendapatkan pendonor."
"Apa kau bisa ceritakan kronologi si pendonor? Apa livernya sudah dipastikan sehat?"
"Dokter Alex sudah memastikan semuanya, Fran. Selain itu, pendonor meninggal dunia akibat kecelakaan. Sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya, dia sudah berpesan pada keluarganya ingin menyumbangkan organ yang ada pada tubuhnya kepada orang yang membutuhkan. Pendonor ingin tetap menjadi orang yang bermanfaat meski menjelang ajalnya, dia benar-benar luar biasa."
"Semoga liver yang dia donorkan bisa benar-benar bermanfaat."
"Oh iya, dari mana kau tahu jika aku pergi ke Erayl Hospital? Bukankah kau sedang diluar rumah sakit?"
"Tidak sulit untukku mencari tahu keberadaan mu, Del."