Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 RENCANA BARU.
Di kamar rawat inap, cahaya sore menembus tirai putih tipis, jatuh lembut ke wajah pucat Aluna. Ia berbaring dengan selimut menutupi tubuhnya, matanya sesekali melirik ke arah Arga yang duduk di kursi samping ranjang.
Arga belum beranjak sejak pagi. Matanya terlihat lelah, tapi ia tetap bertahan, seolah takut jika meninggalkan Aluna barang sebentar saja. Ia bahkan menolak tawaran Mamah dan Papah Aluna untuk pulang.
“Arga…” suara Aluna lirih, penuh drama. “Kenapa kamu repot-repot menunggu di sini? Aku… aku tak ingin merepotkanmu.”
Arga menoleh, menatap wajah lemah itu dengan rasa iba. “Kamu tidak merepotkan. Aku ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
Aluna tersenyum samar, hatinya berbunga. Sandiwara sakitnya berhasil membuat Arga semakin terikat. Ia pura-pura menunduk, menyembunyikan senyum puasnya. Lihatlah, Alya. Arga kini lebih memilih menemaniku, bukan kamu.
Papah Darma yang duduk di sudut ruangan memperhatikan interaksi itu dengan tatapan puas, sementara Mamah Aluna menghela napas panjang, seolah-olah kelelahan akibat kekhawatiran terhadap anak kesayangannya.
“Arga memang pria yang bertanggung jawab,” ujar Mamah dengan suara lembut, tapi penuh maksud. “Tidak seperti orang lain yang hanya membawa masalah.”
Arga tidak menanggapi. Ia hanya menatap lurus ke arah jendela, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. andai saja saat itu Arga tidak berjanji akan menjaga Aluna sampai akhir hayat nya.. mungkin saat ini hubungan Arga dan Alya akan baik-baik saja.
...----------------...
Di sisi lain kota, Alya duduk di sebuah restoran elegan dengan suasana tenang. Meja bundar dihiasi lilin kecil dan bunga segar, menambah kesan formal namun hangat.
Di hadapannya, Tuan Sam seorang pria dengan wajah tenang dan wibawa tersenyum ramah.
“Nona Alya,” ucapnya sambil menandatangani berkas kontrak, “kamu benar-benar luar biasa. Cara kamu menjelaskan konsep kerja sama ini sangat matang. Aku tidak ragu sama sekali.”
Alya tersenyum tipis, matanya penuh percaya diri. “Terima kasih, Tuan Sam. Saya hanya melakukan yang terbaik. Saya yakin kerja sama ini akan menguntungkan kedua belah pihak.”
Tuan Sam menatap Alya sejenak, seolah menilai lebih dalam. “Kamu muda, tapi pemikiranmu dewasa. Aku percaya kepadamu, Nona Alya. Tidak hanya sebagai rekan bisnis, tapi juga sebagai seseorang yang bisa menjaga kepercayaan.”
Kata-kata itu membuat dada Alya menghangat. Di tengah segala kebencian dan penghinaan yang ia terima dari keluarganya, ada orang yang benar-benar menaruh kepercayaan padanya.
Ia mengangkat gelasnya, menatap Tuan Sam dengan senyum profesional. “Mari kita rayakan kerja sama ini, Tuan Sam.”
Mereka bersulang ringan, sementara dalam hati Alya bertekad semakin kuat. Inilah jalanku. Dengan kekuatan dan kepercayaan yang aku bangun, aku akan hancurkan topeng mereka satu per satu.
“Terima kasih, Tuan Sam,” jawab Alya pelan. “Saya menghargai kepercayaan Anda.”
Mereka sempat terdiam sejenak, hingga Tuan Sam tiba-tiba mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Alya dengan pandangan yang lebih pribadi.
“Nona Alya… boleh jujur?”
Alya mengangkat alisnya, penasaran. “Silakan.”
“Kamu bukan hanya mempesona lewat kemampuanmu bekerja. Kamu juga… cantik.”
Alya sempat terkejut, namun wajahnya tetap tenang. Ia sudah terbiasa dengan pujian semacam itu, tetapi cara Tuan Sam mengucapkannya berbeda: lembut, dalam, dan tidak terkesan asal bicara.
“Bukankah itu agak keluar dari topik pekerjaan?” Alya mencoba meredam dengan senyum tipis.
Tuan Sam tertawa kecil. “Mungkin. Tapi aku pikir kita sudah cukup banyak bicara soal angka dan strategi. Bolehkah aku sedikit mengenal Nona Alya di luar perannya sebagai pebisnis muda berbakat?”
Alya menaruh cangkirnya, menatap Tuan Sam dengan tatapan hati-hati. “Apa yang ingin Anda ketahui?”
“Banyak,” jawab Tuan Sam cepat. “Misalnya, bagaimana bisa seorang wanita muda sepertimu berdiri setegar ini? Mengurus perusahaan, bernegosiasi dengan pihak besar, dan tetap bisa tersenyum elegan seperti sekarang. Tidak semua orang sanggup.”
Alya tersenyum samar, matanya redup sejenak. “Hidup mengajarkan saya banyak hal, Tuan Sam. Ketika kita terbiasa dikesampingkan, kita akan belajar untuk berdiri sendiri. Saya hanya melanjutkan apa yang sudah saya mulai lima tahun lalu.”
Ada ketegasan sekaligus luka yang tersirat dalam suaranya, membuat Tuan Sam menatapnya lebih dalam. “Aku salut, Sungguh. Banyak orang seusiamu mungkin lebih memilih jalan mudah bersandar pada keluarga, atau menikah demi keamanan. Tapi kamu memilih jalan penuh perjuangan.”
Alya menahan napas, mengingat wajah Papah Darma dan Mamah, juga Aluna, yang selalu membuatnya merasa asing di rumah sendiri. Ia menegakkan bahunya, lalu tersenyum profesional. “Kalau bukan diri saya yang berjuang, siapa lagi? Tidak ada yang benar-benar peduli kecuali kita sendiri.”
Ucapan itu membuat Tuan Sam semakin terkesan. “Dan itu membuatmu berbeda. Cantik, pintar, kuat. Jarang sekali ada wanita yang punya semua itu sekaligus.”
Alya memilih diam. Ia tahu, terlalu banyak merespons akan membuat percakapan ini melenceng terlalu jauh. Namun Tuan Sam tampak tidak bisa menahan rasa kagumnya.
“Kalau boleh jujur lagi…” suara Tuan Sam menurun, hampir seperti bisikan. “Aku menyesal baru mengenalmu sekarang. Rasanya aku sudah melewatkan banyak hal.”
Alya menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Anda belum melewatkan apapun, Tuan Sam. Kita baru memulai kerja sama. Itu sudah cukup.”
“Kerja sama, ya…” Tuan Sam tersenyum penuh arti. “Tapi siapa tahu, ini awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar kerja sama.”
Alya meneguk pelan air mineral di depannya, menahan diri untuk tidak menanggapi terlalu jauh. Namun dalam hati, ia tahu situasi ini bisa menjadi keuntungan. Seorang mitra bisnis besar yang tidak hanya percaya padanya secara profesional, tapi juga secara personal.
Percakapan pun berlanjut, tidak lagi soal kontrak atau perusahaan. Tuan Sam mulai bertanya tentang hal-hal pribadi makanan favorit, kota yang ingin Alya kunjungi, bahkan pandangan Alya tentang cinta.
“Cinta?” Alya mengulang dengan sedikit tawa kecil. “Saya pikir kita sedang makan siang bisnis, bukan membahas hal seperti itu.”
“Bukankah cinta juga bagian dari hidup?” Tuan Sam menatapnya serius. “Aku hanya ingin tahu… wanita seperti kamu, apakah pernah benar-benar jatuh cinta?”
Pertanyaan itu menancap dalam. Sesaat, wajah Arga melintas di benak Alya sosok yang pernah membuatnya merasakan cinta, sekaligus luka terdalam. Namun cepat-cepat ia menepisnya, menampilkan wajah tenang.
“Pernah,” jawabnya singkat. “Dan itu cukup untuk mengajarkan saya bahwa cinta bukan segalanya. Fokus saya sekarang hanya pekerjaan dan masa depan.”
Tuan Sam tidak membantah, hanya tersenyum lembut. “Mungkin kamu benar. Tapi kadang, cinta bisa datang lagi saat kita tidak menduganya.”
Alya tidak menanggapi. Ia hanya mengalihkan topik kembali ke arah yang lebih ringan, menanyakan hobi dan kebiasaan Tuan Sam di luar jam kerja.
Dan dari situlah, percakapan mereka semakin mengalir.
Mereka tertawa ringan saat membicarakan musik favorit, saling berbagi cerita tentang perjalanan ke luar negeri, hingga membicarakan hal-hal konyol seperti kebiasaan makan terlalu cepat atau kecanduan kopi.
Alya tidak bisa memungkiri, meski ia berhati-hati, ada sisi dari Tuan Sam yang membuatnya nyaman. Ia bukan hanya seorang rekan bisnis berpengaruh, tapi juga pria yang tahu bagaimana memperlakukan wanita dengan perhatian.
Waktu berjalan cepat, hingga tanpa sadar makan siang itu melewati dua jam.
Saat pelayan membersihkan meja, Tuan Sam menatap Alya lagi dengan senyum menawan. “Hari ini menyenangkan, Nona Alya. Aku rasa ini bukan pertemuan bisnis terakhir kita. Lain kali… bagaimana kalau kita makan malam, hanya berdua, tanpa berkas atau kontrak?”
Alya tersenyum, tidak langsung menjawab. Ia tahu betul bahwa langkah yang ia pilih harus hati-hati.
“Lihat nanti, Tuan Sam,” jawabnya akhirnya, dengan nada ambigu. “Untuk saat ini, saya puas kerja sama kita berjalan lancar.”
Tuan Sam tertawa kecil, seolah tidak masalah dengan jawaban itu. “Baiklah. Aku tunggu waktunya.”
Mereka pun beranjak berdiri. Alya sempat menunduk sedikit, memberikan senyum sopan. Dan ketika Tuan Sam berjalan mendahuluinya keluar dari restoran, Alya berdiri tegak dengan tatapan tajam yang hanya ia miliki.
" Kalau Arga tidak bisa diandalkan, aku masih punya jalanku sendiri. Dan pria ini… mungkin bisa menjadi salah satu kunci. " Gumam Alya tersenyum tipis.