Perjodohan yang terjadi antara Kalila dan Arlen membuat persahabatan mereka renggang. Arlen melemparkan surat perjanjian kesepakatan pernikahan yang hanya akan berjalan selama satu tahun saja, dan selama itu pula Arlen akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya.
Namun bagaimana jika kesalahpahaman yang selama ini diyakini akhirnya menemukan titik terangnya, apakah penyesalan Arlen mendapatkan maaf dari Kalila? Atau kah, Kalila memilih untuk tetap menyelesaikan perjanjian kesepakatan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Menyisakan Trauma
Kalila terbangun karena mendengar suara, dia langsung terduduk dan menyadari ada selimut yang menyelimuti tubuhnya. Keningnya berkerut sebentar, mengingat dirinya tidak menggunakan selimut. Lagi pula, selimut dari mana? Selimut ini pun bukan milik rumah sakit. Lalu, siapa yang menyelimutinya?
"Hoeek! Hoeekk!" Suara seseorang yang sedang muntah kembali terdengar dari dalam kamar mandi.
Suara yang sebelumnya membuat dia terbangun dari tidurnya. Langit masih gelap, waktu masih menunjukkan dini hari. Dia lihat di atas brankar kosong, tidak ada Arlen disana.
Cepat Kalila bangkit dan mengetuk pintu kamar mandi.
"Ar, kamu ga apa-apa?" tanya Kalila dengan kekhawatirannya.
Tak langsung ada jawaban, sampai Kalila mengetuk beberapa kali, dia sudah akan memanggil perawat, tapi pintu kamar mandi akhirnya terbuka.
Arlen berdiri di sana dengan wajahnya yang pucat sembari memegangi tiang infusan.
"Aku ga apa-apa, La. " jawab Arlen dengan suaranya yang lemah. Dia bahkan bersandar pada pintu untuk menjaga keseimbangan tubuh.
Melihat bagaimana Arlen yang begitu lemah, secara implusif Kalila bergerak untuk merangkulkan sebelah lengan Arlen ke atas pundaknya dan membantu Arlen berjalan mendekat pada brankar.
Kalila hanya tidak menyadari bagaimana Arlen terkejut dengan perlakuan itu. Karena, belum juga dua puluh empat jam Kalila meminta mereka untuk berjaga jarak, kini Kalila bahkan memapahnya.
Tapi, Arlen tidak memprotes atau bertanya. Dia membiarkan apa yang Kalila lakukan. Hingga ketika Kalila berhasil membantu Arlen kembali ke atas brankar, kancing paling teratas dari pakaian pasien yang dikenakan Arlen rupanya terbuka dan memperlihatkan secara tidak sengaja sebagian dada bidang Arlen.
Sontak Kalila langsung melepaskan tangannya dari Arlen, dia seperti seseorang yang baru tersadar dari hipnotis di pinggir jalan. Dia melepaskan Arlen dengan sedikit hentakan.
"Ada apa La?" tanya Arlen bingung yang melihat Kalila seperti orang syok tiba-tiba.
"A-aku...ga apa-apa. A-aku panggil perawat dulu." Tanpa menunggu sahutan Arlen, Kalila sudah melesat keluar dari kamar, meninggalkan Arlen yang sebenarnya mengerti apa yang dialami Kalila. Dan rasanya dia ingin sekali Kalila memukulnya seperti ketika Rafa menghajarnya dari pada merawatnya seperti ini. Dia seperti pecundang yang tak berguna.
Dia yang telah membuat Kalila takut dan merasa trauma berdekatan dengannya. Padahal dulu, jauh sebelum dirinya bertemu dengan Miranda, Kalila adalahnya tempatnya untuk mendapatkan ketenangan. Dia bahkan tak segan tidur di atas pangkuan Kalila, sementara Kalila sedang mengerjakan tugas kuliah. Kalila bahkan sering membantu Arlen kerik punggung saat Arlen merasa tidak enak badan.
Tapi kini, karena kebodohannya, Kalila ketakutan berdekatan dengannya.
Arlen ingat bagaimana Kalila yang cemas saat pagi itu, pagi dimana Arlen hanya mengenakan boxer untuk memarahi Kalila yang masuk ke kamarnya untuk merawatnya tapi malah mendapatkan mimpi buruk darinya. Lalu ketika perawat memberikan pakaian pasien, Kalila juga memilih untuk meninggalkan Arlen. Kemudian sekarang Kalila langsung syok hanya karena sedikit dada bidangnya terlihat.
Arlen merebahkan dirinya, menatap nanar langit-langit kamar dengan penyesalan level seratus memenuhi dadanya.
* * *
Setelah empat hari dirawat, akhirnya Arlen dibolehkan kembali pulang. Noe membantu dengan membawa barang-barang milik Arlen juga Kalila. Sementara Kalila berjalan beberapa langkah di belakang Arlen.
"Kenapa masih di luar, La?" tanya Arlen yang bingung melihat Kalila hanya diam berdiri di depan pintu apartemen.
Namun dari sorot mata itu, Arlen dapat melihat kecemasan dan kegelisahan yang nyata. Ingatan akan mimpi buruk itu pasti masih menghantui Kalila.
Lagi-lagi, Arlen mengutuk dirinya sendiri.
"Kamu takut, La?" Pertanyaan itu akhirnya membawa kedua mata Kalila untuk bertatapan dengannya. Wanita itu mengangguk meski terlihat ragu.
"Maaf." ujar Kalila pelan.
"Jangan minta maaf, La. Aku yang salah padamu." sahut Arlen.
"Kamu tinggalah disini, aku akan tinggal di sebelah."
"Sebelah?"
"Dua hari lalu, pemiliknya pergi dan menyewakan unitnya, aku langsung minta Noe untuk menyewakannya untukku, aku tahu, kamu pasti takut jika hanya berdua denganku. Aku akan tinggal disana sampai kamu bisa kembali percaya padaku. Bagaimana?"
Kalila melirik pintu dari unit yang dimaksud Arlen. Kemudian dengan ragu-ragu, Kalila menatap Arlen. "Apa boleh kalau...aku saja yang di sana? Biar kamu yang tetap di sini?"
Tadinya Arlen hendak membantah, tapi melihat bagaimana Kalila sangat berharap dia bisa ditempat yang lain dari pada masuk ke apartemen miliknya, Arlen pun mengerti. Masuk ke dalam apartemen ini hanya akan membuat Kalila selalu teringat dengan kejadian malam itu.
"Baiklah." kata Arlen setuju. "Noe, bisa tolong bawakan koper Kalila yang kemarin dibawakan Miska?"
"Baik, Tuan."
"Ayo, ku antar ke sana, aku ga akan masuk. Hanya mengantarmu." kata Arlen dengan penjelasannya.
Kalila akhirnya mengangguk. Mereka berjalan bersama, dengan jarak yang bisa dilalui truk gandeng.
Arlen memberitahukan pin dari kode kunci pintu. Kalila mengangguk dan mengingatnya. Arlen juga mengajarkan bagaimana cara mengganti pin kodenya.
Setelah dia memberikan ruang untuk Kalila masuk ke dalam unit, Arlen tetap berdiri di depan pintu.
"La, apa aku boleh meminta sesuatu?"
"Apa?"
"Boleh kah kamu pertimbangkan soal kontrak pernikahan kita? Karena aku sungguh-sungguh saat aku bilang akan mempertanggungjawabkan perbuatanku."
"Apa kamu bersedia menjalani hidup selamanya dengan seseorang yang ga kamu cintai?"
"Mungkin...kita bisa belajar sambil berjalan."
Kalila menipis kan bibirnya. "Bukannya aku ga mau dipertanggungjawabkan. Hanya saja, selamanya itu ga sebentar, Ar. Aku hanya ga mau, hidup selamanya bersama seseorang yang menjadikan aku sebagai pelarian atau sebagai bentuk tanggung jawab karena sebuah peristiwa."
Arlen terdiam.
"Untuk semua kesulitan panjang dalam hidupku, aku rasa perkataan Rafa benar, aku juga berhak hidup bersama seseorang yang mencintaiku setulus aku mencintainya."
Ucapan Kalila sungguh membuat lidah Arlen kelu. Dia tak hanya terdiam, tapi juga kehilangan kosa katanya. Hingga Kalila menutup pintu di depannya, Arlen masih terpaku di sana.
Perasaannya sangat nano-nano. Benarkah keinginannya untuk mempertahankan rumah tangganya hanya karena bentuk pelarian dari gagalnya hubungan dia dengan Miranda? Atau hanya sekadar menebus kesalahannya?
Namun kenapa Arlen merasa dia memiliki rasa yang lain? Sebuah rasa yang lebih kuat yang mendorongnya untuk mempertahankan rumah tangganya bersama Kalila.
terima kasih ya yang udah baca, udah like karya aku, semoga kisah kali ini bisa menghibur teman-teman semuanya ❤️❤️❤️
Saranghae 🫰🏻🫰🏻🫰🏻