Embun tak pernah menyangka bahwa kejutan makan malam romantis yang dipersembahkan oleh sang suami di malam pertama pernikahan, akan menjadi kejutan paling menyakitkan sepanjang hidupnya.
Di restoran mewah nan romantis itu, Aby mengutarakan keinginannya untuk bercerai sekaligus mengenalkan kekasih lamanya.
"Aku terpaksa menerima permintaan ayah menggantikan Kak Galang menikahi kamu demi menjaga nama baik keluarga." -Aby
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Tidak Perlu Khawatir
Aby membaringkan Embun di tenda setelah melepas lelah. Bukan pekerjaan ringan membopong tubuh Embun dari dasar tebing ke area perkemahan, meski wanita itu memiliki tubuh mungil dan langsing bak model.
Sembari mengatur napas yang kembali memburu, Aby melepas jaket miliknya yang tadi digunakan untuk membalut tubuh istrinya. Jaket berbahan parasut itu juga hampir basah.
Aby melemparkan asal ke sudut tenda, lalu menatap Embun lekat di tengah pencahayaan temaram. Kini, ia masih punya satu tugas penting, yaitu mengganti pakaian istrinya.
Apa? Mengganti pakaian? Memikirkannya saja sudah membuat suhu di sekitar terasa memanas. Apakah nanti Embun akan marah? Mengganti pakaian berarti Aby akan melihat seluruh tubuh wanita itu.
Ini bukan tentang pantas atau tidak. Ini tentang keselamatan Embun.
Kalimat itu terus ditanamkan Aby dalam benaknya. Ia akan melanggar segala batasan yang dibuat sendiri olehnya beberapa Minggu lalu, tepatnya di malam pertama pernikahannya mereka.
Aby menarik napas dalam-dalam. Menggeser posisi duduknya sedikit demi sedikit. Tangannya yang kokoh terulur, membuka kancing kemeja yang digunakan istrinya hingga batas dada.
Namun, ia tiba-tiba terdiam dan memilih keluar dari tenda. Membuat sebagian rombongan mahasiswa, termasuk Vania mengalihkan perhatian kepadanya.
"Ada yang bisa bantu gantikan baju Embun?" tanya Aby, seraya memandang beberapa wanita yang setahunya adalah teman dekat istrinya.
"Aku bisa, Kak." Mega tiba-tiba menawarkan diri, membuat Aby melukis senyum tipis.
"Terima kasih. Maaf merepotkan."
"Nggak apa-apa, Kak."
Secepat kilat, Mega beranjak menuju tenda. Sementara Aby tetap di luar sambil menunggu.
"Aby ...." panggil Vania, yang kini berdiri tepat di sisi Aby.
"Ada apa lagi, Van? Please sekarang bukan waktunya untuk membicarakan tentang kita."
Manik cokelat wanita itu kembali berkaca-kaca menyadari dinginnya sikap Aby terhadapnya.
"Kamu serius dengan ucapan kamu tadi pagi?" tanyanya, ingin memastikan sekali lagi. Tatapannya seolah berharap bahwa kalimat menyakitkan dari Aby tadi hanyalah candaan.
Aby hanya mengangguk tanpa kata, yang membuat cairan bening berurai di pipi Vania.
Hingga akhirnya terdengar panggilan dari arah tenda.
"Sudah, Kak," ujar Mega. "Aku udah selimutin Embun, tapi masih menggigil juga."
Aby kembali mengangguk tanpa kata, sebelum akhirnya kembali memasuki tenda. Ia memandangi wajah istrinya yang masih terlihat pucat dan menggigil akibat rasa dingin yang menyergap. Selimut yang membungkus tubuhnya seolah tak cukup untuk menghangatkannya.
"Bagaimana ini, Embun masih kedinginan."
Lengan Aby terulur membelai helai rambut istrinya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Jika dibiarkan, ia khawatir akan terjadi sesuatu yang membahayakan.
Aby menyusupkan diri ke dalam selimut yang sama. Lengannya dijadikan bantal untuk Embun, lalu kembali mendekap wanita itu erat. Ia kecup kening berulang-ulang.
Tiba-tiba teringat metode skin to skin yang dibisikkan Haikal tadi, sesaat sebelum membawa Embun ke tenda.
"Ini bukan cara efektif sebenarnya, tapi kamu bisa coba. Lagian nggak apa-apa, kamu kan suaminya," pesan Haikal.
.
.
.
"Yang tadi itu suaminya Embun, ya? Ganteng banget, ya?" Salah satu mahasiswi berdecak mengangumi sosok pria yang tiba-tiba datang ke perkemahan dan mengaku sebagai suami Embun. "Aku memang pernah dengar Embun akan menikah, tapi nggak nyangka aja suaminya sekeren itu."
"Iya. Embun mimpi apa dapat suami keren begitu? Beruntung banget, ya?" sambung salah satu gadis.
Vania yang berada di antara rombongan itu meremas cup mie instant di tangannya. Selera makannya mendadak hilang. Padahal, sejak tadi ia merasa sangat lapar.
"Kira-kira Embun masih kedinginan nggak ya?" tanya salah seorang lagi.
Membuat Mega yang selama ini cukup dekat dengan Embun memulas senyum. "Embun nggak akan kedinginan lagi. Kan ada suaminya yang menemani di dalam tenda."
"Iya juga sih. Aku juga mau satu tenda kalau cowoknya sekeren suaminya Embun."
Tawa para gadis itu pecah. Berbeda dengan Vania yang merasakan suhu sekitar terasa memanas.
Wanita itu melirik ke arah tenda milik Embun. Napasnya menjadi sangat cepat. Ingin rasanya menerobos masuk dan menjauhkan Aby dari Embun.
.
Vania terlihat sangat gelisah. Entah sudah berapa kali ia berjalan mondar-mandir di depan tenda Embun dengan selimut yang melingkar di tubuhnya. Vania pasti sudah menerobos jika saja tidak mengingat ucapan Aby pagi tadi yang menginginkan hubungan mereka diakhiri.
"Kamu kenapa mondar-mandir di depan tenda orang?" Sapaan itu membuat Vania terjingkat. Ia menoleh kepada Dewa yang tengah menatapnya penuh selidik.
"Nggak apa-apa, Kak. Aku cuma khawatir sama Embun," jawabnya gugup.
Dewa terkekeh memamerkan senyumnya yang menawan. "Apa yang harus kamu khawatirkan? Yang di dalam sama dia itu suaminya sendiri, bukan orang lain."
"Emh ... tapi tadi Embun kedinginan. Aku cuma mau kasih selimut," balas Vania, sambil memperlihatkan selimut yang melingkar di tubuhnya. Dewa pun memandang Vania dari ujung kaki ke ujung kepala, suara wanita itu terdengar gemetar bersama tubuhnya.
"Nggak usah, ada suaminya yang menghangatkan dia. Itu buat kamu aja. Kamu pasti akan kedinginan malam ini."
Intonasi Dewa yang begitu menekan membuat Vania tergugu. Demi apapun Vania tak rela jika Aby hanya berdua dalam satu tenda bersama Embun. Apa lagi jika sampai melakukan hubungan suami istri.
Vania melirik ke arah tenda di mana Embun dan Aby sedang berdua. Membayangkan apa yang sedang diperbuat Aby dan Embun membuat tubuhnya meremang. Tanpa sadar ia menggigiti jari-jari lentiknya.
"Tapi, Kak—"
"Nggak ada tapi-tapian!" potong Dewa cepat dengan bonus tatapan tajam. "Sekarang balik ke tenda kamu sendiri!"
Ekor mata Vania masih mengarah ke tenda Embun. Tetapi tatapan Dewa memaksanya untuk kembali ke tempatnya sendiri, yang berjarak cukup jauh dari sana.
"Apa lagi yang kamu tunggu?"
"I-Iya, Kak."
Berdiri kokoh di tempat, Dewa terdiam sebentar demi memastikan Vania benar-benar masuk ke tendanya sendiri.
Setelah meyakini semuanya aman, ia memilih duduk di depan api unggun seorang diri. Suhu udara semakin menurun membuat laki-laki itu menaikkan resleting jaket parasut yang membalut tubuhnya.
Dewa hanya dapat memandangi kobaran api yang melahap kayu sedikit demi sedikit. Kemudian menolehkan kepada ke arah tenda di mana wanita pujaannya sedang berdua dengan suaminya.
Ngelus dada aja kamu, Dewa.
***
benar knp hrs nunggu 6 bln klo hrs cerai lebih baik skrng sama saja mlh buang2 wkt dan energi, bersyukur Embun ga oon🤭