NovelToon NovelToon
Between Hate And Love

Between Hate And Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Lucky One

Dira Namari, gadis manja pembuat masalah, terpaksa harus meninggalkan kehidupannya di Bandung dan pindah ke Jakarta. Ibunya menitipkan Dira di rumah sahabat lamanya, Tante Maya, agar Dira bisa melanjutkan sekolah di sebuah sekolah internasional bergengsi. Di sana, Dira bertemu Levin Kivandra, anak pertama Tante Maya yang jenius namun sangat menyebalkan. Perbedaan karakter mereka yang mencolok kerap menimbulkan konflik.

Kini, Dira harus beradaptasi di sekolah yang jauh berbeda dari yang sebelumnya, menghadapi lingkungan baru, teman-teman yang asing, bahkan musuh-musuh yang tidak pernah ia duga. Mampukah Dira bertahan dan melewati semua tantangan yang menghadang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masakan Dira

"Emmm..." Dira tersentak, baru menyadari dirinya melamun lagi. "Gue lagi masak. Soalnya kan gue udah janji buat masak lagi... setelah yang waktu itu kalian..." ia berhenti sejenak, menelan ludah dengan gugup, "muntahin," lanjutnya ragu. Wajahnya memerah saat teringat betapa memalukannya kejadian sebelumnya—saat masakan yang ia buat berakhir di tempat yang tidak seharusnya.

Levin mengangkat alis, senyum tipis terulas di wajahnya. "Aduh, pagi ini kayaknya gue bakal muntah lagi deh," sindirnya dengan nada bercanda, meski jelas masih teringat rasa buruk dari masakan Dira yang terakhir kali.

Dira menggigit bibirnya, berusaha menahan tawa sekaligus rasa malu yang semakin memuncak. "Gue udah belajar dari video, kok!" jawabnya dengan nada yang berusaha meyakinkan, meski dalam hati ia sendiri tidak terlalu yakin dengan hasil akhirnya.

Levin mendekat, menatap potongan sayuran di talenan yang bentuknya entah seperti apa. "Oh ya? Dari video mana?" tanyanya sambil menahan tawa, tatapannya penuh godaan. "Ya... dari yang paling mudah lah," jawab Dira sambil melanjutkan potongan sayurnya, meskipun matanya sesekali melirik Levin yang berdiri di dekatnya. Kehadirannya membuat Dira makin gugup, dan entah kenapa, rasa panik itu sedikit bercampur dengan perasaan lain yang tak bisa ia jelaskan.

Levin tertawa kecil, suaranya dalam namun hangat, membuat suasana yang canggung berubah lebih ringan. "Well, gue penasaran sih sama hasilnya kali ini. Tapi kalo lo butuh bantuan, bilang aja. Gue nggak jago masak, tapi at least gue bisa bedain mana yang harus digoreng, mana yang harus direbus," katanya sambil melirik bahan-bahan di meja.“Yaudah, lo bantuin gue masak aja ya, ini pisaunya,” ujar Dira sambil menyodorkan pisau yang ia pegang. Senyumnya mengembang, merasa senang sekaligus lega karena akhirnya ada yang bisa membantu.

Tapi senyum itu segera memudar ketika Levin mengangkat tangan, menolak pisau tersebut. "Nggak, bukan gitu. Lo yang masak sama potong-potong, gue cuman ngarahin doang," katanya sambil mengulum senyum, nada bicaranya santai, seolah tugasnya hanya jadi penonton. Dira mengerutkan kening, kecewa. "Yah, kirain mau beneran bantuin," keluhnya sambil menurunkan tangan, harapannya seolah melayang begitu saja.

Levin tertawa kecil melihat raut wajah Dira yang kecewa. "Gue bantu kok... tapi dari jauh," lanjutnya dengan nada menggoda. Ia duduk di kursi dapur, matanya mengikuti gerakan Dira yang kembali sibuk dengan bahan-bahan masakan. Dira menghela napas, berusaha menerima kenyataan bahwa ia masih harus mengerjakan semuanya sendiri. “Masa cuma ngarahin doang?” gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk didengar Levin.

Levin hanya menahan tawanya, bibirnya tertarik ke atas saat melihat Dira berkutat dengan pisau dan sayuran yang tak kunjung rapi. Setelah beberapa detik menikmati pemandangan itu, akhirnya ia angkat bicara, "Yaudah, karena cuma buat sarapan, bikin yang simple aja. Nasi goreng udah cukup, nggak usah ribet."

Dira mendesah kesal, menaruh pisau di atas talenan dengan sedikit terlalu keras. "Bahkan nasi goreng juga gue nggak bisa," gerutunya pelan, merasa frustasi dengan keterbatasannya di dapur. Dia melipat tangannya, menatap bahan-bahan yang masih belum tersentuh sempurna, seolah berharap mereka bisa memasak sendiri.

Levin menghela napas panjang, menatap Dira sejenak sebelum tersenyum penuh sindiran. "Oh iya, gue lupa. Lo kan cuma anak dari kelas D," katanya dengan nada tajam, sengaja memancing reaksi.

Dira memutar matanya kesal. "Kelas D, kelas D... kenapa sih lo selalu ngomongin itu?" balasnya dengan nada sedikit tersinggung. Di sekolah mereka, pembagian kelas berdasarkan prestasi akademik dan sosial masih jadi topik sensitif, dan Dira sering mendengar sindiran seperti itu. Tapi dari Levin, meski bercanda, entah kenapa terasa lebih menusuk.

Levin mengangkat bahu dengan santai, wajahnya tetap menunjukkan senyum nakal yang khas. "Ya kan bener. Anak kelas D itu apa-apa serba seadanya, termasuk soal masak. Gue nggak expect banyak."

Dira terdiam sejenak, menggertakkan gigi, menahan amarah yang mulai menggelegak di dadanya. "Jadi lo maksudnya anak kelas A kayak lo jago masak gitu?" tantangnya, menatap Levin dengan mata tajam.

Levin hanya tersenyum lebih lebar, lalu mendekat dan menatapnya langsung. "Nggak juga, tapi kita lebih serba bisa dan setidaknya gue bisa bikin nasi goreng yang nggak bikin orang muntah," ucapnya dengan nada rendah, penuh keyakinan. Dira mendengus, merasa harga dirinya tersentil lagi. "Oke, kita lihat siapa yang bakal muntah kali ini," gumamnya pelan, kembali menghadap kompor dengan tekad baru. Meskipun dia tahu hasilnya mungkin nggak akan jauh lebih baik dari sebelumnya, sekarang motivasinya berubah. Bukan sekadar menepati janji untuk memasak, tapi juga membuktikan pada Levin bahwa anak kelas D seperti dirinya nggak seburuk yang dia pikirkan.

"Lo nggak usah bantuin gue, gue bisa sendiri," ujar Dira dengan nada ketus, kesal setelah sindiran Levin yang terus-terusan membuatnya merasa terhina. Levin mengangkat alis, senyum tipis masih terulas di wajahnya. "Yaudah, terserah," jawabnya dengan nada ringan, tapi kemudian dia mendekat, membisikkan sesuatu di telinga Dira dengan suara pelan namun penuh ejekan, "Tapi gue harap makanan lo nggak bikin hewan, apalagi manusia, muntah."

Dira langsung merasakan panas di wajahnya, tangannya berhenti sejenak, menggenggam spatula dengan lebih erat. Sementara itu, Levin melangkah pergi dari dapur dengan santai, membawa segelas teh di tangannya, seolah-olah baru saja menyelesaikan tugasnya untuk memancing emosi Dira.

Dira menatap punggungnya yang semakin menjauh, hatinya semakin panas. "Sialan," gerutunya pelan, mencoba mengendalikan rasa marah dan malu yang bercampur aduk di dalam dirinya. Tangannya gemetar saat mulai menyalakan kompor, tapi di dalam benaknya, ada suara yang terus berkata bahwa dia harus membuktikan dirinya. "Biarin aja. Gue bakal buktiin kalau gue bisa," ucapnya pada dirinya sendiri. Meski kesal, Dira berusaha keras untuk tetap fokus. Kini, tekadnya bukan cuma soal masakan ini soal harga diri.

Setelah Levin meninggalkannya, Dira semakin kebingungan menghadapi bahan-bahan yang masih berantakan di dapur. Ia menatap sayuran setengah terpotong dan wajan yang belum tersentuh dengan perasaan frustasi. "Gimana sih cara masak nasi goreng doang bisa serumit ini?" gerutunya.

Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di benaknya. "Ah, iya, Alif!" pikirnya sambil mengingat Alif, teman Levin yang bekerja di sebuah kafe. Dira menduga Alif pasti lebih jago masak, setidaknya lebih dari dirinya. "Apa gue minta bantuan Alif aja ya?" gumamnya sambil mencoba menimbang-nimbang opsi itu.

Namun, senyumnya segera memudar saat ia menyadari satu hal. "Aduh, gue nggak punya nomor teleponnya..." keluhnya, merasa buntu sejenak. Pikiran untuk meminta nomor Alif lewat Levin sejenak terlintas, tapi segera ia tepis. "Nggak mungkin juga gue minta sama Levin," katanya pada dirinya sendiri, mengingat betapa tajamnya sindiran Levin tadi. Tapi tiba-tiba Dira ingat sesuatu. "Oh iya, Levin pernah bilang kalau Alif itu selebgram," ucapnya, matanya berbinar seolah mendapat solusi. "Oke, gue coba hubungin dia lewat sosial media aja."

Tanpa pikir panjang, Dira meraih ponselnya dan langsung membuka aplikasi Instagram. Tangannya bergerak cepat mencari akun Alif, berharap dia bisa menemukannya dengan mudah. "Kalau dia selebgram, pasti gampang dicari," gumamnya sambil mengetik nama Alif di kolom pencarian. Beberapa detik kemudian, ia menemukan akun yang ia cari—Alif dengan foto-foto estetik yang dipenuhi komentar dan like. "Yup, ini dia," kata Dira lega, lalu tanpa ragu-ragu mengirim pesan langsung.

"Hai, Alif. Ini Dira, temannya Levin yang kemarin. Gue lagi butuh bantuan soal masak nih, lo bisa bantuin gue nggak?" Setelah menekan kirim, Dira menatap layar ponselnya dengan cemas, berharap Alif segera membalas pesannya. Waktu terus berjalan, dan dia tahu sarapan ini tak bisa ditunda terlalu lama. Tapi untuk saat ini, yang bisa ia lakukan hanya menunggu.

1
and_waeyo
Semangatt nulisnya kak, jan sampai kendor❤️‍🔥
Lucky One: makasih udah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!