Mentari merupakan seorang perempuan yang baik hati, lembut, dan penuh perhatian. Ia juga begitu mencintai sang suami yang telah mendampinginya selama 5 tahun ini. Biarpun kerap mendapatkan perlakuan kasar dan semena-mena dari mertua maupun iparnya , Mentari tetap bersikap baik dan tak pernah membalas setiap perlakuan buruk mereka.
Mertuanya juga menganggap dirinya tak lebih dari benalu yang hanya bisa menempel dan mengambil keuntungan dari anak lelakinya. Tapi Mentari tetap bersabar. Berharap kesabarannya berbuah manis dan keluarga sang suami perlahan menerimanya dengan tangan terbuka.
Hingga satu kejadian membuka matanya bahwa baik suami maupun mertuanya dan iparnya sama saja. Sang suami kedapatan selingkuh di belakangnya. Hanya karena pendidikannya tak tinggi dan belum juga dikaruniai seorang anak, mereka pun menusuknya dari belakang.
Tak terima perlakuan mereka, Mentari pun bertindak. Ia pun membungkam mulut mereka semua dan menunjukkan siapakah benalu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH EMPAT
Asha tampak sangat ceria sore itu. Asha sampai tak henti-hentinya berceloteh membuat Mentari sejenak melupakan kegundahan yang sempat menyapanya siang tadi. Karena kelelahan, Asha tiba-tiba tertidur saat berada di pangkuan Mentari. Mentari ingin memindahkannya, namun karena ia belum terbiasa dengan anak kecil, ia takut justru membangunkannya bila ia tiba-tiba menggendongnya ke kamar.
"Jerva, Asha ketiduran. Bantu aku gendong Asha ke kamar, kasian dia ketiduran kayak gini. Nanti badannya pegal-pegal. Aku takut malah bikin Asha bangun kalo tiba-tiba mindahin dia," ujar Mentari membuat Jervario yang sejak tadi fokus dengan hp nya lantas menoleh.
"Sini, aku bantu!" ujar Jervario.
Jervario lantas meletakkan ponselnya ke atas meja, kemudian ia beringsut mendekati Mentari dan menyelipkan lengannya ke tengkuk Asha. Karena posisi Asha yang menyandar pada dada Mentari, sontak saja lengan Jervario menyentuh daging kenyal Mentari membuat pipi kedua orang tersebut memerah. Bahkan Jervario sampai menelan ludahnya susah payah. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak menyentuh daging kenyal seperti itu, wajar saja bila tiba-tiba hormon testosteronnya bergejolak. Jervario sampai mengumpati dirinya sendiri, bagaimana bisa hanya menyentuh daging kenyal itu sedikit saja sudah bisa membangunkan singa liar dirinya.
"Ekhem ... "
Mentari berdeham untuk menyadarkan Jervario yang justru terpaku memandangnya. Bukannya segera mengangkat Asha, Jervario justru seperti terhipnotis pada wajah cantik Mentari yang sedang merona. Bahkan Jervario bisa melihat setiap lekuk wajah Mentari dengan begitu jelas karena jarak mereka yang hanya beberapa inci saja. Bukan hanya itu, mereka berdua bahkan dapat merasakan hangat nafas masing-masing.
Dengan jantung yang berdebar, Jervario mengangkat tubuh mungil Asha dan berdiri dengan canggung. Ia tak menyangka akan terjebak dalam suasana awkward seperti ini.
"Emmm ... aku baringkan Asha di sofa saja."
Jervario hendak membaringkan tubuh mungil Asha di sofa sebab ia pasti akan makin canggung bila masuk ke kamar perempuan itu, tapi Mentari mencegahnya.
"Jangan, kasihan kalau Asha dibaringkan di sofa. Nanti dia jatuh atau merasa nggak nyaman, bagaimana," tukas Mentari.
Dengan terpaksa, Jervario mengikuti langkah Mentari yang mengajak ke kamarnya. Kemudian, ia pun membaringkan tubuh Asha secara perlahan di atas ranjang Mentari yang ukurannya memang tidak terlalu besar namun cukup terasa nyaman.
Namun, ada masalah lain lagi saat kakinya menginjak di dalam sana. Debaran yang belum sepenuhnya hilang kini justru makin menggila saat indra penciumannya menangkap aroma Mentari yang begitu lembut. Mungkin itu aroma pengharum ruangan atau juga aroma parfumnya. Aroma itu bagaikan feromon yang memancing gairahnya yang telah lama hilang semenjak memergoki perselingkuhan mantan istrinya dengan kekasih simpanannya.
Setelah memastikan Asha berbaring dengan nyaman, Jervario pun segera keluar. Ia takut kehilangan kendali sehingga terpancing melakukan sesuatu yang membuat Mentari membencinya. Lalu Mentari pun mengikuti di belakangnya kemudian kembali duduk di tempatnya semula.
Keduanya duduk dalam keadaan canggung, Mentari kehilangan kata-kata, ia tak tahu harus melakukan apa atau membicarakan apa. Situasi ini sungguh sangat membuatnya kebingungan dan salah tingkah.
Bohong kalau darahnya tak berdesir saat tangan Jervario menyenggol aset miliknya, apalagi Mentari merupakan tipe perempuan yang memiliki libido tinggi. Tapi ia tak mungkin kan melakukan hal terlarang itu dengan Jervario. Mereka tidak memiliki ikatan apa-apa. Meskipun misalnya mereka sama-sama mau, tapi bagaimana bila ia hamil?
Hamil???
Mungkinkah ia bisa hamil???
Bagaimana bila yang dikatakan mantan mertuanya itu benar kalau ia mandul, maka sampai kapanpun dan dengan siapapun ia melakukannya ia takkan mungkin bisa hamil kan?
Ah, laki-laki mana yang mau menerima perempuan seperti dirinya!
Hati Mentari tiba-tiba mencelos, apakah seumur hidup ia akan hidup seorang diri karena kekurangannya itu?
Mentari menjadi takut menjalin hubungan dengan lawan jenis, khawatir tak ada yang dapat menerima kekurangannya itu.
"Ekhem ... " Jervario berdeham saat melihat Mentari yang tiba-tiba melamun.
"Eh, maaf, Jer, aku malah melamun." Mentari tersenyum canggung yang hanya di balas dengan tatapan tak terbaca oleh Jervario.
"Kamu tadi ... mengapa menangis?" Tanya Jervario tiba-tiba.
"Ah, siapa? Kapan? Aku ... aku tidak menangis kok," kilah Mentari dengan jantung yang berdegup kencang apalagi saat matanya bersirobok dengan Manat Jervario. Bola mata Jervario begitu hitam dan kelam, membuat Mentari seakan tersedot ke dalam kepekatan itu. Ia terkurung, dalam pusara tatapan yang Mentari yakini mampu menghipnotis setiap lawan jenis yang menatapnya sebab ia pun tanpa sadar telah tersedot ke dalamnya.
"Bahkan matamu masih kelihatan bengkak, tapi kau mau berbohong. Apakah kau masih menangisi laki-laki dan keluarga durjana itu?"
"Kalaupun iya, kenapa? Apa urusanmu?" tanya Mentari dengan tatapan menyelidik.
"Bukankah sudah aku katakan tempo hari, cukup hari itu kau menumpahkan air matamu untuk mereka, setelahnya jangan lagi. Jangan sia-siakan air matamu untuk mereka karena air matamu itu terlalu berharga untuk dibuang sia-sia seperti itu," ujar Jervario dengan sorot mata teduh membuat Mentari membeku dalam debaran yang kurang ajarnya makin bergejolak.
"Terlalu berharga? Untuk siapa? Sedangkan aku saja hidup sebatang kara di dunia ini. Beruntung aku memiliki Jea dan kak Galih, mungkin bila mereka tak ada, aku sudah menyerah dalam hidup ini," ujar Mentari lirih mengungkapkan segala kepedihannya.
"Jangan berpikiran sempit! Bila kau perhatikan dengan seksama banyak orang di dunia ini yang peduli padamu, bukan hanya mereka."
Mentari terkekeh miris, kemudian kembali menatap netra Jervario yang seakan tak mau berpaling dari wajahnya, "siapa? Siapa yang mempedulikan aku selain Jea dan Kak Galih? Siapa yang benar-benar mempedulikan aku selain mereka?"
"Asha ... "
"Asha?" beo Mentari sambil tergelak kencang. Aneh-aneh saja apa yang diucapkan Jervario barusan pikir Mentari. Asha itu merupakan anak-anak, jadi wajar ia peduli pada orang yang dekat dengannya.
"Iya ... dan juga ..."
Jervario terdiam, belum berniat melanjutkan kata-katanya. Ia fokus memperhatikan Mentari yang tadinya tergelak dan kini mendadak diam. Sepertinya Mentari pun menantikan kelanjutan dari kata-katanya. terlihat dari Mentari yang segera mengalihkan atensinya pada dirinya. Mata Mentari menatap balik Jervario.
"Dan juga ... aku," lanjut Jervario dengan sorot mata yang sangat-sangat dalam membuat Mentari mematung dengan jantung yang makin bergemuruh.
Deg ...
...***...
Erna dan Shandi baru saja masuk ke dalam kamar khusus mereka di kediaman Rohani. Tiba-tiba Bella rumah Rohani berbunyi nyaring. Rohani yang sedang benar-benar pusing karena segala kejadian yang tak terduga hari ini, lantas segera berdiri dengan wajah tertekuk masam.
"Siapa sih?" omel Rohani. "Septi, Septi, buka pintu sana!" teriak Rohani menggelegar.
Septi yang juga baru saja hendak membaringkan tubuhnya lantas segera beranjak sambil menghentak-hentakkan kakinya .
"Kalian siapa sih? Mencet bel sampai berulang-ulang, berisik tahu!" bentak Septi pada dua orang berjaket hitam di hadapannya saat pintu baru saja terbuka.
"Jangan kurang ajar kau nona!" amuk salah seorang pria berjaket hitam itu dengan wajah garangnya membuat Septi menelan ludahnya susah payah.
"Sudahlah, tak perlu berikan surat peringatan itu! Langsung ambil saja mobilnya. Udah keliatan dari wajahnya, dia bakalan nggak bisa bayar cicilan mobilnya!" tukas salah satu pria berjaket lainnya.
"Apa maksud kalian? Ambil mobil? Siapa kalian seenaknya mau ambil mobil gue?" hardik Septi dengan mata melotot.
"Heh, sudah hampir 3 bulan mobil itu nunggak dan nggak dibayar jadi mobil itu akan kami tarik kembali sekarang juga." Tegas pria berjaket hitam itu membuat mata Septi terbelalak.
"Ma-maksudnya mobil ini masih kredit, gitu?"
"Iya, jadi segera berikan kuncinya atau kalau kau ada uangnya, bisa kau bayar sekarang. Karena hari ini sudah masuk bulan ke tiga, jadi total cicilan yang harus kamu bayar Rp 18.210.000," tukasnya membuat mata Septi kian terbelalak.
"A-apa? Kenapa besar sekali?"
"Heh, Anda itu mengambil kredit mobil Xenia itu dengan cicilan perbulan Rp 6.070.000,- dan tenor 3 tahun, jadi benarkan total cicilan selama 3 bulan Rp 18.210.000,-. Jangan pura-pura bodoh, nona! Ah, atau ini trik baru untuk mangkir dari pembayaran?" hardiknya.
Lutut Septi terasa lemas, Rohani yang baru saja keluar menyusul Septi pun ikut melemas. Mereka tidak ingin mobil itu diambil, tapi mereka tidak memiliki uang untuk membayar cicilannya.
Apalagi cicilan itu masih berjalan lama, tenor 3 tahun, sedangkan mobil itu baru di tangan mereka sekitar 15 bulan, artinya bilapun mereka bisa membayar tunggakan 3 bulan ini, mereka masih harus mencicil selama 21 bulan lagi. Belum lagi mereka harus mencari uang untuk cicilan rumah, tagihan listrik, air, makan, biaya kuliah Septi, uang sekolah Septian, darimana mereka bisa mendapatkan uang sebanyak itu pikir Rohani.
Tiba-tiba ada rasa penyesalan di benak Rohani, seharusnya ia tidak melepaskan Mentari. Seharusnya ia bisa bersikap baik pada Mentari, seharusnya ia tidak menuntut Shandi menceraikan Mentari. Seharusnya ia mempertahankan Mentari sehingga mereka tetap bisa hidup dengan nyaman tanpa perlu memikirkan tagihan demi tagihan yang yang membuatnya pusing.
Karena tidak memiliki uang sebanyak itu, akhirnya dengan berat hati Rohani dan Septi melepaskan mobil mereka dibawa para penagih itu.
"Aaargh ... sialan! Awas kau Mentari, aku akan tunjukkan, aku pun bisa bertahan hidup dan hidup dalam kemewahan tanpa bantuanmu," pekik Septi di kamarnya sambil memukul-mukul bantal sebagai pelampiasan kemarahannya.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...