bercerita tentang seorang ibu rumah tangga bernama Rini yang sudah hidup bersama dengan suami nya bernama Edi selama 20 tahun lamanya. Rini menikah dengan Edi bukan berdasarkan cinta. Rini menikah dengan Edi karena Edi adalah suami pilihan orang tua nya. kisah ini menceritakan konflik di masa lampau dan juga menceritakan Lika liku kehidupan rumah tangga nya yang sedang dijalani saat ini. dari cerita ini kita belajar bahwa pilihan orang tua pun belum tentu baik dan walaupun tidak begitu buruk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidia Grace Giawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 tawaran kerja bikin Linda pusing
Sore itu, Linda sedang duduk di teras rumahnya, memandang langit senja yang mulai beranjak gelap. Di tangannya, segelas teh hangat menemani pikirannya yang penuh pertimbangan. Pikirannya tak bisa lepas dari tawaran Sinta beberapa hari yang lalu. Sinta, sahabat baiknya yang baru pulang dari kota, dengan antusias bercerita tentang pekerjaannya di pabrik roti besar di luar kota.
“Linda, kau harus ikut aku! Pekerjaannya tidak terlalu sulit, gajinya cukup untuk kita hidup dengan nyaman, dan lingkungan kerjanya juga asyik. Kita bisa tinggal bersama di sana,” kata Sinta saat itu dengan semangat. Tawaran itu begitu menggiurkan. Linda tahu, ini adalah kesempatan yang mungkin tidak datang dua kali. Tapi di sisi lain, ia merasa berat meninggalkan kampung halamannya, teman-temannya, dan tentu saja keluarganya.
Linda memandang teh di cangkirnya, menghirup aroma manisnya, tetapi tidak benar-benar menikmatinya. "Apa aku harus pergi?" gumamnya pada diri sendiri. Hati kecilnya ingin mencoba sesuatu yang baru, merantau dan membuka lembaran baru di luar kota. Tetapi, ia juga tidak bisa mengabaikan ketakutannya terhadap ketidakpastian. Pabrik roti itu memang tampak menjanjikan, namun bagaimana jika ia tidak betah? Bagaimana jika ia gagal?
Selain itu, Linda semakin merasa bimbang setiap kali memikirkan keluarganya. Di satu sisi, ada tawaran Sinta yang bisa membuka jalan baru untuk hidupnya di luar kota. Namun di sisi lain, ia tak tega meninggalkan Nur adik perempuan satu-satunya, Rania keponakan nya dan Rini kakak iparnya, yang sudah seperti saudara kandung sendiri. Sejak Edi, suami Rini, merantau dan bekerja jauh dari rumah, Rini mengurus Rania sendirian dan Linda merasa bertanggung jawab membantu Rini.
Sore berlalu berganti malam, Linda duduk bersama Nur, adik perempuannya, di kamar. Dengan ragu, Linda mulai bercerita tentang tawaran kerja yang ia terima dari Sinta. Awalnya, ia hanya ingin berbagi cerita untuk mendapatkan pandangan Nur, tetapi jawaban yang diterimanya membuat Linda kaget.
“mbak, kalau mbak pergi, bawa aku juga! Aku juga mau coba bekerja di luar kota. Di sini aku hanya merasa begini-begini saja,” kata Nur dengan mata berbinar.
Linda tertegun. Ia tidak menyangka Nur justru akan antusias dengan ide merantau. Sebaliknya, Linda merasa semakin bimbang. Bagaimana mungkin ia pergi, apalagi dengan membawa Nur? Pikirannya kembali melayang ke Rini dan Rania. Mereka akan lebih kesepian jika Linda dan Nur sama-sama pergi. Siapa yang akan menemani mereka?
“Tapi, Nur... kita kan punya tanggung jawab di sini. Kalau kita pergi, siapa yang akan bantu mbak Rini? Mas Edi juga masih di perantauan,” ujar Linda pelan.
Nur terdiam sejenak, namun tetap teguh dengan keinginannya. “Aku tahu, mbak. Tapi aku juga ingin punya kesempatan untuk mencoba hal baru. Lagi pula, mbak Rini kan sudah kuat dan mandiri. Aku yakin dia akan baik-baik saja.”
Kata-kata Nur menggema di pikiran Linda. Semakin banyak pilihan yang muncul, semakin sulit bagi Linda untuk menentukan langkah apa yang seharusnya ia ambil.
"kamu serius, Nur?" tanya Linda pelan, memandang adiknya dengan tatapan penuh kekhawatiran.
Nur mengangguk, wajahnya menunjukkan tekad yang jarang ia tunjukkan sebelumnya. "Serius, mbak. Aku tidak ingin hanya menunggu di desa terus. Aku mau coba sesuatu yang baru. Tawaran dari Sinta ini kesempatan bagus untuk kita berdua."
Linda memandang Nur , dan berkata. “Aku paham, Nur. Aku juga merasa tawaran ini menarik. Tapi, bagaimana dengan mbak Rini dan Rania? Kamu tahu sendiri, mas Edi sudah lama merantau. Kalau kita pergi, mereka akan sendirian di sini. Aku tidak tega...”
Nur tersenyum tipis, mencoba meyakinkan kakaknya. “mbak Rini itu kuat. Dia sudah terbiasa mengurus semuanya sejak mas Edi merantau. Lagi pula, masih ada tetangga yang bisa bantu kalau dia butuh. Aku yakin Rania juga akan baik-baik saja.”
“Tapi Rania itu masih kecil,” Linda membantah, suaranya terdengar lebih cemas. “Dia butuh banyak perhatian, dan aku selalu merasa harus ada di sini buat mereka berdua.”
Nur menatap Linda dengan serius, lalu berkata, “Kak, kita juga punya hidup sendiri. Kadang kita harus memikirkan masa depan kita. Aku bukan mau meninggalkan mereka begitu saja, tapi aku yakin kita juga berhak mencari kebahagiaan di luar sana.”
Linda terdiam. Perkataan Nur terasa benar, namun hatinya masih berat. “Aku takut, Nur... Bagaimana kalau kita nggak betah? Bagaimana kalau ada sesuatu yang terjadi di sini dan kita nggak ada untuk bantu?”
Nur meraih tangan Linda, menggenggamnya erat. “mbak, kita nggak akan pernah tahu kalau kita nggak coba. Kita bisa saling menjaga di sana, dan kalau memang nggak cocok, kita bisa pulang. Tapi setidaknya kita sudah berusaha mencoba.”
Linda memandang wajah adiknya yang penuh keyakinan, hatinya masih terombang-ambing di antara rasa tanggung jawab dan keinginan untuk merantau. “Aku cuma ingin memastikan mbak Rini dan Rania nggak merasa ditinggalkan, Nur. Itu yang paling penting buatku.”
“Kita bisa bicara sama mereka, mbak,” jawab Nur lembut. “Kita bisa jelaskan semuanya. Mungkin mereka akan mengerti. Dan kita juga masih bisa sering pulang kalau ada kesempatan.”
Percakapan itu terus berlanjut, dengan Linda masih diliputi kebimbangan, sementara Nur berusaha meyakinkan bahwa mereka juga harus memikirkan masa depan mereka sendiri.
Di kamar sebelah, Rini sedang duduk di tepi ranjang sambil menyisir rambut Rania yang lembut. Rania, gadis kecil itu, duduk tenang di pangkuan ibunya sambil memegang boneka kesayangannya. Namun, dari sudut matanya, Rini bisa melihat tatapan rindu yang mendalam di wajah Rania.
“Bu, kapan Ayah pulang?” tanya Rania pelan, suaranya penuh harapan.
Pertanyaan itu membuat jantung Rini serasa tertusuk. Sudah sering Rania menanyakan hal yang sama, dan setiap kali, Rini selalu berusaha memberikan jawaban yang menenangkan.
Tapi malam ini, entah mengapa, pertanyaan Rania terasa lebih berat. Mungkin karena rasa rindunya yang juga semakin besar pada Edi, suaminya, yang sudah lama merantau dan jarang pulang.
Rini menelan ludah, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. “Ayahmu sedang bekerja keras, Sayang. Kalau semuanya sudah selesai, Ayah pasti pulang ke rumah,” jawab Rini dengan suara bergetar, tapi ia berusaha tetap tersenyum di depan Rania.
Rania memandang ibunya, matanya penuh harapan. “Tapi kenapa Ayah lama sekali, Bu? Aku kangen sama Ayah.”
Rini berhenti sejenak, tangannya terhenti di rambut Rania. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada putrinya yang masih kecil. Bagaimana mungkin Rania bisa memahami bahwa ayahnya harus bekerja keras jauh dari rumah demi menghidupi mereka?
“Ayah juga pasti kangen sama kamu, Nak,” kata Rini, kini suaranya lebih lembut, namun ada kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan. “Tapi kadang, Ayah harus bekerja jauh supaya kita bisa hidup dengan baik di sini.”
Rania mengangguk pelan, tapi terlihat jelas bahwa jawaban itu belum sepenuhnya memuaskan hatinya. “Aku ingin Ayah pulang sekarang, Bu. Aku mau main sama Ayah.”
Rini menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya meskipun ia berusaha keras untuk tidak menangis. Kata-kata Rania seakan menghantam hatinya yang sudah penuh dengan kerinduan yang sama.
“ibu juga kangen Ayah, Rania... sangat kangen,” bisik Rini. Tapi ia cepat-cepat menghapus air matanya sebelum Rania bisa melihat.
Malam itu, Rini hanya bisa memeluk Rania erat-erat, berusaha memberikan kenyamanan yang mungkin, padahal di dalam hatinya sendiri ada perasaan sepi yang mendalam.
Sementara, di sebuah kota yang jauh dari rumah, Edi sedang duduk di sudut sebuah kafe kecil. Malam itu, bukannya memikirkan keluarga yang ia tinggalkan di kampung, Edi justru larut dalam obrolan dengan Siska.
Siska duduk di hadapannya, tertawa ringan sambil memainkan rambutnya. Tatapannya penuh perhatian, dan setiap kali Edi berbicara, ia seakan menyimak dengan sepenuh hati. Malam itu terasa ringan bagi mereka berdua, jauh dari beban tanggung jawab yang sebenarnya menjerat Edi.
“Gimana kabar di rumah?” tanya Siska, meski sepertinya ia sudah tahu bahwa topik itu selalu sensitif bagi Edi.
Edi meneguk kopi di depannya, seolah mencoba menghindari pertanyaan itu. “Rini dan Rania baik-baik aja,” jawabnya singkat. Tapi di dalam hatinya, Edi tahu ia jarang sekali menanyakan kabar keluarganya. Kesibukan kerja dan kedekatannya dengan Siska membuatnya melupakan tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah.
Siska tersenyum tipis, matanya berbinar seolah tahu bahwa Edi tidak ingin membicarakan keluarganya lebih jauh. Ia mengganti topik dengan sesuatu yang lebih ringan, membuat suasana kembali nyaman.
“Malam ini enaknya kemana lagi?” tanya Siska sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, memberi isyarat bahwa mereka bisa menikmati malam ini lebih lama.
Edi memandangi wanita di hadapannya itu, merasakan kenyamanan bersama Siska, ia bisa melupakan sejenak beban sebagai kepala keluarga. Namun, di sudut hatinya yang paling dalam, Edi tahu bahwa cintanya hanya untuk Rini namun jarak membuat Edi nyaman dengan dengan Siska.
Saat mereka beranjak dari kafe, Edi sempat melihat ponselnya yang sudah berisi beberapa pesan dari Rini. Pesan-pesan itu tidak ia buka, meskipun ia tahu di sana mungkin ada suara rindu dari istri dan putrinya, Rania.
“Gak usah dipikirin, mas. Ini malam kita,” bisik Siska sambil menggandeng lengannya erat.
Edi hanya tersenyum tipis, membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam dalam hubungan yang penuh godaan dan pengkhianatan ini, sementara di rumah, keluarganya terus merindukannya tanpa ia sadari.