Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Setelah mengantar Naura ke sekolah, aku bergegas menuju kantor Kevin, untuk ke tempat teman kevin, pengacaraku berada. Pagi itu, langit sangat mendung, seolah memberi sinyal tentang kegelisahan yang terus menerpa pikiranku.
Aku tiba di kantor polisi, tempat Kevin bekerja sebagai polisi yang berjaga malam. Aku menatap jam tanganku, detiknya bergerak lambat, mirip dengan detak jantungku yang terasa berat. Gedung itu tampak sepi, hanya beberapa lampu yang masih menyala, menyisakan bayang-bayang di koridor panjang.
Tak lama, aku melihat sosok Kevin yang kelelahan muncul dari balik pintu. Matanya tampak sembab, rambutnya acak-acakan—gambaran sempurna dari malam yang panjang dan melelahkan. Dia tersenyum pahit saat mata kami bertemu.
"Maaf membuatmu menunggu," ucapnya seraya menghampiriku.
Aku menggeleng lembut, "Tidak apa-apa, Kevin. Aku mengertii.
Meskipun penampilannya tidak rapi, ada sesuatu yang mempesona tentangnya. Aku tersenyum melihat rambutnya yang acak-acakan.
"Mandi dulu sana, aku tunggu di sini," ucapku.
"Aku udah mandi, Rania, cuma belum sempat menyisir rambut," keluhnya sambil meringis.
"Dasar kamu! Ayolah, kita berangkat sekarang," seruku penuh semangat.
"Kamu yakin mau pisah sama suami kamu, Ran?" tanyanya ragu.
"Ssstt! Tak ada tawar-menawar, ayo," jawabku tegas.
"Iya, iya," sergahnya.
Kevin masuk ke dalam mobilnya dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Aku mengikuti mobilnya dari belakang. Ponselku berbunyi - panggilan dari Sumi.
["Halo, Sum," jawabku.]
["Halo, Ran. Ingat, ya, ada meeting jam satu nanti," kata Sumi. ]
["Beres. Pagi ini aku nggak ke butik dulu ya, ada urusan," jawabku.]
["Oke, nggak masalah," sahut Sumi. ]
["Oh ya, Ran, aku sudah menemukan rumah mewah untukmu. Bangunan baru saja selesai."]
["Sip, kamu urus semuanya. Nanti uangnya akan aku transfer," ucapku. ]
Aku merasa gembira, namun tak bisa menepis rasa sedih dan khawatir tentang keputusanku yang akan mengubah hidupku. Tapi aku tahu ini adalah langkah yang harus aku ambil demi kebahagiaan dan masa depanku.
Ku matikan teleponku, sejenak mencoba mengumpulkan kembali konsentrasi untuk menyetir hingga sampai di kantor pengacara teman Kevin. Kami berdua masuk ke dalam, dengan hati yang berat aku mulai merasa tidak nyaman.
Kevin juga menghentikan mobilnya dan kami keluar, berjalan bersama-sama menuju kantor. "Kevin, nanti kamu ya yang bicara dan ceritakan semuanya," seruku pelan, berharap ia mengerti perasaanku.
"Loh, kok aku? Mana aku tahu masalahnya, Rania?" jawab Kevin bingung.
"Tapi, Kevin..." aku mencoba menyampaikan apa yang ada di benakku.
"Tapi kenapa?" Kevin tampak heran.
"Malu saja mengumbar masalah pribadiku," aku berujar jujur, rasa tidak nyaman semakin mendera hatiku.
Melihat kegelisahanku, Kevin hanya tersenyum dan mengelus lembut rambutku, membuatku merasa ada yang menenangkanku.
"Tenang, Rania. Aku di sini untukmu," bisiknya lirih. Sambil menenangkan diri, kami melangkah maju.
Kevin mengetok pintu kantor pengacara itu. Tok tok tok. Tak lama, pintu terbuka memperlihatkan pria gagah yang lebih tua daripada Kevin.
Dengan senyum ramah, ia menyuruh kami masuk ke ruangannya. Aku menarik napas panjang, bersyukur karena Kevin ada bersamaku dalam menghadapi masalah ini.
Ruang kantor pengacara itu terasa menyesakkan. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan rak buku yang sarat akan buku-buku hukum dan dokumen-dokumen penting yang tertata rapi.
Di tengah ruangan, meja besar dari kayu mahoni yang mengilap menjadi saksi bisu pertemuan yang penuh ketegangan. Di atas meja, tumpukan dokumen perceraian tergeletak tak tersentuh, menunggu untuk dipelajari dan ditandatangani.
Udara di dalam ruangan itu dingin, disebabkan oleh hembusan AC yang terus menerus. Cahaya dari lampu gantung di atas meja menyinari setiap sudut, membuat setiap kertas tampak lebih putih dan setiap kata tampak lebih tajam.
Kursi-kursi kulit yang berada di sekitar meja tampak kokoh namun tidak mengundang, mencerminkan jarak dan keseriusan situasi.
Tidak ada suara yang terdengar kecuali sesekali suara pena yang menandatangani dokumen, suara yang tajam dan final.
Atmosfer di ruangan itu penuh dengan ketidaknyamanan dan keheningan yang mencengkeram, seolah-olah setiap kata yang terucap bisa menjadi kata terakhir dalam hubungan yang sudah retak.
Setelah semuanya selesai, aku merasa lega dan tenang. Kini, tinggal menunggu proses di pengadilan agama.
"Terima kasih, Pak Jaya," seruku.
"Iya, Rania. Sama-sama," jawab Pak Jaya.
Aku dan Kevin segera berpamitan karena hari semakin siang dan pekerjaan sudah menanti. Saat kami berada di parkiran mobil, hatiku tergerak untuk mengungkapkan rasa terima kasihku pada Kevin.
"Kev, makasih ya," seruku.
"Sama-sama, Ran. Oh, iya, makasih juga, loh, kamu kemarin sudah menolongku," jawab Kevin dengan senyum tulus.
"Iya, sama-sama," balasku sambil tersenyum.
Sejenak, aku merasa bersyukur memiliki teman sepertinya. "Aku duluan ya, Kev," ujarku, bersiap-siap untuk menghadapi hari yang sibuk.
"Siap, calon janda kembang!" ledek Kevin. Aku sempat tersentak, kesal dengan leluconnya.
"Kevin!" kesalku. Namun, dia hanya tersenyum dan masuk ke dalam mobil. Melihatnya seperti itu, hatiku ikut merasa ringan.
Aku pun masuk ke dalam mobil dan kami melajukan kendaraan ke arah yang berbeda. Di tengah perjalanan, pikiranku kembali tertuju pada proses yang sedang aku jalani. Semoga semuanya lancar dan segera tuntas, batin ku..
Sesampainya di butik, aku langsung terkejut melihat Sandra, selingkuhan suamiku, sudah menunggu di depan pintu.
Hatiku langsung berdegup kencang, "Mau apa dia di sini?" batin aku dalam hati. Ia menatap mobilku dengan tajam saat aku memarkirkan mobil.
Aku menghela nafas sejenak, mencoba untuk tenang, lalu keluar dari mobil dan menghampiri Sandra yang tampak santai duduk di kursi teras butikku.
"Akhirnya kamu datang juga, Rania," ujar Sandra dengan nada dingin yang membuatku merinding. Mencoba mengendalikan emosi, aku bertanya padanya,
"Ada masalah apa, Sandra? Aku heran melihatmu di sini." Sandra tersenyum sinis, ia tampak sangat percaya diri dengan sesuatu yang ia pegang di dalam tasnya.
"Cuma sebentar kok, Ran. Aku hanya ingin menunjukkan ini untuk kamu," jawabnya.
Sejenak aku merasa penasaran dan bingung, Sandra kemudian mengeluarkan sebuah tespek dari tasnya. Aku melihat garis dua di sana dan merasa seolah dunia ini serasa runtuh.
"Apa maksudmu?" tanya aku dengan suara gemetar.
Sambil tersenyum puas, Sandra menjawab, "Aku hamil anak Adnan, suami kamu, Ran." Secepat kilat hatiku hancur menjadi serpihan, rasa sedih dan marah bergelora di dalam dada.
Aku mencoba menepis rasa sedih yang muncul di hatiku, meskipun sulit. "Benarkah?" ucapku sambil berusaha tersenyum.
"Iya dong, ini buah cinta kami," jawab Sandra dengan percaya diri.
"Syukurlah Sandra, aku ikut senang mendengarnya," sahutku.
Dalam hati, aku bingung dengan reaksiku sendiri. Mengapa aku tidak merasa cemburu atau sedih? Mungkin aku sudah terlalu lelah untuk merasakan apa pun, atau mungkin ini adalah cara diriku untuk melindungi perasaanku.
Sandra terlihat heran dengan sikapku yang tenang dan tidak terpengaruh oleh kehamilannya.
***
kebahagian mu rai...ap lg anak mu mendukung ?
bahagia dan hidup sukses ...