Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Aku memang kecewa mengetahui mas Agam tidak sendiri lagi. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikannya.
"Maaf, Mungkin menurut mas Agam, saya egois. Tapi menurut saya, inilah yang terbaik buat kita. Jangan bertanya tentang alasannya karena saya tidak punya jawabannya."
Aku menjelaskan sambil membersihkan sisa darah di wajahnya.
"Aw .!" dia menjerit kecil membuat aku panik.
"Kesenggol, ya...?" tanyaku cemas sambil meniup lukanya yang sudah di perban.
Dia mengangguk sambil meringis.
Tapi perasaan tidak ku senggol. Karena memang aku sangat berhati-hati melakukannya
Lalu kenapa dia menjerit?
Tanpa ku sadari jarak wajah kami semakin dekat. Hanya berjarak beberapa senti.
Dadaku berdebar kencang karena tatapan matanya itu.
Aku semakin gugup hingga tidak sadar menyentuh lukanya.
Dia kembali mengaduh. Dan kali ini aku yakin benar-benar sakit.
"Aduh, maaf Mas.. "
Aku kembali meniupnya. Karena panik. Tapi dia malah memejamkan matanya.
Sekarang aku bisa menikmati seluruh wajahnya dengan leluasa dari dekat. Subhanallah .. aku benar-benar memuja penciptanya. Wajahnya seolah tanpa cela. Kulit wajahnya halus bak wajah seorang gadis.apa dia sering melakukan perawatan di salon, ya? Rahangnya tegas di padu dengan hidungnya yang bangir.apalagi kalau sedang memandang, sorot matanya teduh seperti air telaga. selama kami berhasil, aku tidak terlalu memperhatikan penampilan fisiknya. Baru sekarang aku sadari dia memang menawan. Beruntung sekali wanita yang menjadi istrinya itu.
Tiba-tiba aku menarik tanganku dengan gemetar. Aku merutuki diri ku sendiri. Kenapa harus mengagumi milik orang lain.
Karena gerakan ku yang reflek, dia membuka mata.
"Ada apa, May? kenapa berhenti?" tanyanya tanpa dosa. Seolah dia menikmati sentuhan ku barusan.
Aku baru menyadari kalau sebenarnya dia tidak kesakitan.
"Saya tertipu. ternyata mas pura-pura kesakitan." jawabku sambil bangkit dengan membawa baskom air hangat dari hadapannya.
"May, tunggu dulu. May, dengar penjelasan ku.!"
Aku tidak menghiraukannya.
Dia mengikuti ku ke dapur. Ibu yang sedang menyuapi Bulan pun kut heran.
"Maaf, permisi ya Bu." Dokter Agam masih minta ijin pada ibu untuk menyusul ku ke dapur.
"May, kau marah karena mengira aku pura-pura? Kalau begitu aku akan keluar dan berdiri disana. Mungkin kali ini kena pelipis ku."
Setelah bilang begitu, dia mengambil jaketnya dan keluar. Di luar memang masih banyak ada anak bermain ketapel. Dia sengaja berdiri di antara anak anak yang bermain. Sesekali dia melirik kearah pintu. Mungkin berharap aku muncul dan menghentikan aksinya.
Setelah lewat beberapa menit.
Kami sudah duduk berhadapan.
"May, aku tidak tau apa penyebabnya hingga kau begitu marah. Tapi walaupun begitu, aku minta maaf, mungkin ada kata-kata atau perbuatan ku yang menyinggung mu. Sungguh aku minta maaf." ucapnya bersungguh-sungguh.
"Tidak ada yang salah. Tenang saja. tapi memang ini yang harus kita lakukan."
"Tapi kenapa?" tanyanya dengan serius.
"Saya baru menyadari sesuatu. Apapun yang terjadi antara saya dan mas Sigit, Bulan tetaplah anaknya.saya tidak mau egois dengan menghapus hak nya itu." jawabanku tidak juga membuatnya puas.
"Lalu aku? Apa kau tidak memikirkan perasaanku? Aku juga menyayangi Bulan seperti ayahnya."
"Saya mengerti itu. tapi mas Agam masih bisa menyalurkan perasaan itu pada anak lain." ucapku emosional.
Karena terbayang di mataku dia bermain dengan anaknya sendiri. Bukannya Bulan.
"Anak lain bagaimana maksudmu? Aku sungguh tidak mengerti, May." dia terlihat putus asa.
Aku merasa jenuh membahas itu.
Dia bodoh atau pura-pura bodoh. Tentu saja yang ku maksud anaknya sendiri.
"Bukannya aku bermaksud mengusir. Tapi aku masih banyak pekerjaan. Tolong mas Agam pulang dulu. Mungkin juga ada pasien yang menunggu." aku mengalihkan pertanyaan nya.
"Tapi kau belum menjawab pertanyaan ku."
Aku berkeras memintanya pulang.
Akhirnya dengan berat hati dia pergi
Hatiku mencelos saat melihatnya benar-benar pergi.
"Maaf mas Agam. Saya juga benci keadaan ini. Tapi apa daya. Kau sudah ada yang punya. Aku tidak mau sakit hati untuk yang kedua kali." gumam ku sambil mengelus dada.
***
Sementara itu Dokter Agam pergi dengan perasaan gelisah.
"Kenapa dia berubah drastis seperti itu? Apa salahku? Bahkan dia mau menjauhkan aku dengan Bulan.." dia bicara sendiri sambil memandangi pohon bunga yang mulai layu di luar jendela di rumahnya.
"Kau tidak tau, aku benar-benar menyayangi Bulan seperti anak ku sendiri..."
Sebenarnya dia juga tidak mengerti. Sejak pertama kali bertemu May. Hatinya merasa nyaman. Padahal dari sekian teman wanitanya yang dia ajak bergaul. Tidak satupun ada yang mengena di hatinya. Dia muak karena rata-rata para wanita kota yang modern itu mendekatinya hanya karena profesi dan kelebihan fisiknya saja. Tapi May, seorang wanita kampung yang polos dan lugu. Yang jauh dari kepura-puraan bisa menggugah hatinya. Apalagi saat mengetahui nasibnya yang kurang beruntung dalam pernikahannya. Semakin membuatnya simpati.
Tapi kini May memutuskan menjauh darinya.
Hal itu membuat hatinya sakit.
Dia merasa tidak bergairah dalam mengerjakan apapun.
Tiba-tiba saja ponselnya berdering.
"Dari ibu,." ucap ya kaget.
"Bagaimana kabarmu, Nak? Kenapa tidak pernah pulang?" suara ibunya serak seperti menahan rindu pada putra satu-satunya itu.
"Akhir tahun ini pekerjaan sangat numpuk, ibu. jadi aku harus menyelesaikan laporannya tepat waktu."
"Tapi berapapun sibuknya, harusnya kau sempatkan menjenguk ibu."
Mendengar itu hati dokter Agam terharu
Memang sejak kejadian meninggalnya adik tercintanya, dia jarang pulang. Dia tenggelam dan membaur dengan masyarakat di kampung itu.
Telpon dari kakaknya pun tak pernah dia gubris.
"Gam, kau masih disana?" suara ibunya menghentikan lamunannya.
"Iya, Bu. Aku masih mendengar ibu."
"Ibu juga mau ngasi tau, kalau Hanna sedang menuju tempat dimana kau bertugas." penjelasan terakhir ibunya membuatnya kaget.
"Hanna..? Kenapa bisa? Siapa yang memberi tau alamat ku?" tanyanya panik.
Susah payah dia menghindar dari wanita itu. Tapi akhirnya dia akan datang kesana. dokter Agam memijat keningnya.
"Ibu juga tidak tau persis. Tapi ibu tau kabar ini dari kakak mu."
"Ini pasti perbuatan Mba Karina..!" ucapnya kesal. telpon langsung terputus.
Dokter Agam memang sangat kesal pada laka pertamanya itu. Dialah yang telah merencanakan perjodohan dengan Hanna tanpa persetujuan darinya terlebih dulu. Bahkan dengan liciknya Hanna dan kakaknya memberinya sesuatu yang membuat ya tidak ingat apapun saat pertunangan berlangsung. Setelah sadar keesokan harinya, Agam melarikan diri dari rumah mewahnya. Dari seorang temannya dia mengurus kepindahan tugasnya ke kampung yang dia tempati sekarang. Ia ingin lari dari Hanna dan kakaknya. Tapi setelah lewat dua tahun lamanya kini wanita itu akan datang dan merusak hidupnya.
Dokter Agam terkapar lemas di tempat prakteknya. dai frustasi dengan semua yang terjadi.
Mala yang mengetahui itu panik. dia tidak berpikir panjang. Yang dia tau orang yang dekat dengan dokter Agam hanyalah May. Dia langsung menghubungi May dan menceritakan yang terjadi.
"Apa yang terjadi?" aku begitu panik melihat keadaan pria yang diam-diam aku sayangi itu. wajahnya pucat dan badannya demam.
Mala sudah melakukan prosedur sebagaimana mestinya yang di ajarkan dokter Agam. Tapi demam nya tak kunjung reda.
May dan kepala desa berinisiatif membawanya ke kota untuk mendapat perawatan.
Tapi dokter Agam malah menolak.
"Tidak usah, Pak. biar saya di rawat di sini saja." ucapnya dengan wajah pucat nya.
"Tapi nak dokter, kondisi mu mengkhawatirkan."
"Saya tidak apa-apa. Hanya butuh istirahat saja. tenanglah. Saya tau kondisi tubuh saya sendiri."
"Baiklah.. Kalau begitu harus ada yang tinggal untuk merawat l nak Dokter.." mata kepala desa menyapu kearah ku.
"May, kau bisa tolong menjaga Dokter Agam?"
"Saya, saya..." aku ragu harus setuju atau tidak.
"Jangan khawatir, ada Mala yang menemani mu. Kau tidak sendirian. Kami juga akan menyambangi tempat ini setiap satu jam sekali."
Akhirnya aku setuju. Selain itu permintaan kepala desa. Aku pribadi tidak tega melihat keadaannya.
Suasana sepi mencekam. Hanya suara jangkrik dan tivi lamat-lamat dari ruang tamu rumah kecil itu.ala terkantuk-kantuk di depan tv.
"Kau boleh tidur, nanti kita bergantian caranya." dia pun setuju dan tidur duluan.
Malan semakin dingin.
Aku melongok kedalam kamar mas Agam.
Dia terlihat pulas setelah minum obat racikan nya sendiri.
Perlahan aku masuk dan melihat keadaannya.
Matanya terpejam dengan tenang. Setelah memastikan dia baik-baik saja. Aku kembali hendak keluar.
Tapi suaranya memanggilku dengan lembut.
"May..."
Saat aku menoleh. Dia sedang menatapku dengan sendu. Air matanya meleleh. Ada apa dengan pria ini?
"Bisakah kau duduk di sini?" pintanya sambil berusaha duduk.
Aku membantunya untuk duduk bersandar.
"Biar aku hangatkan bubur, ya." tapi dia menyambar tangan ku yang hendak keluar.
Lalu menarik tubuhku dan memeluk pinggangku. Dia menangis tersedu.
Aku bingung dan kaget. Ada apa dengannya.