Tidak ada pernikahan yang sulit selama suami berada di pihakmu. Namun, Rheina tidak merasakan kemudahan itu. Adnan yang diperjuangkannya mati-matian agar mendapat restu dari kedua orang tuanya justru menghancurkan semua. Setelah pernikahan sikap Adnan berubah total. Ia bahkan tidak mampu membela Rheina di depan mamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nofi Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Panggilan
Zahid berlari-lari kecil ke ruang keluarga dengan wajah berseri-seri. "Mama! Zahid mau cerita tentang Dad Camp!" serunya dengan semangat yang meledak-ledak.
Rheina menoleh, sedikit terkejut melihat putranya begitu bersemangat. "Oh iya? Cerita dong, Sayang. Ada apa aja di sana?" tanyanya sambil tersenyum, tetapi ada sedikit kegelisahan di hatinya. Dad Camp, program kemah yang dia tahu Zahid ikuti bersama Nando seharusnya diikuti oleh Adnan. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Zahid memanggil Nando dengan sebutan "Daddy".
Zahid duduk di sampingnya, wajahnya penuh antusias. "Jadi, Zahid sama Daddy main banyak permainan seru! Ada balapan karung, memanah, dan kita bikin api unggun juga. Daddy ngajarin Zahid masak sosis di api unggun!" Zahid terus bercerita dengan mata berbinar, tak sedikit pun memperhatikan ekspresi mamanya yang kini dipenuhi kebingungan.
Rheina melirik Nando, yang duduk di ujung sofa dengan santai. Wajahnya tenang, tetapi matanya mengirimkan sinyal pada Rheina. Jangan tanya apa-apa dulu, begitu kira-kira pesan dari kerlingannya.
Meskipun Rheina ingin bertanya, dia menahan diri. Panggilan "Daddy" dari Zahid jelas membuat hatinya berdesir. Ada rasa hangat, haru, tetapi juga ragu. Apakah Zahid merasa nyaman memanggil Nando dengan sebutan itu? Apa Zahid mengerti makna dari panggilan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Rheina tanpa henti.
"Sama Daddy juga, Zahid belajar bikin tenda sendiri! Zahid duluan yang selesai! Daddy bangga sama Zahid," Zahid melanjutkan ceritanya dengan penuh kebanggaan. Rheina mencoba ikut tersenyum, meskipun pikirannya masih terbelit oleh kebimbangan.
Saat malam semakin larut, dan Zahid sudah tertidur pulas di kamarnya, Rheina akhirnya menatap Nando. "Kapan Zahid mulai memanggilmu Daddy?" tanyanya pelan, suaranya penuh tanda tanya.
Nando menghela napas, wajahnya serius, tetapi lembut. "Di perjalanan menuju tempat Dad Camp. Aku nggak minta dia panggil aku begitu, Rheina. Itu inisiatifnya. Awalnya aku kaget, tapi aku pikir ... biarkan saja. Kalau itu cara dia merasa nyaman."
Rheina terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ada rasa lega, tapi juga cemas. "Tapi, apa nggak terlalu cepat?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Nando mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Rheina. "Kita nggak bisa buru-buru memaksa, tapi juga nggak bisa menahan perasaan anak, Rheina. Dia masih belajar memahami apa yang dia rasakan."
Malam itu berlalu dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Rheina tahu dia harus bicara lebih dalam dengan Zahid, tapi kapan? Dan bagaimana? Kegelisahan terus bersemayam di benaknya.
---
Hari-hari berlalu dengan Zahid semakin terbiasa memanggil Nando dengan sebutan "Daddy". Setiap kali mendengar itu, hati Rheina masih belum terbiasa. Setiap kali Zahid bercerita, selalu ada sebutan itu yang terselip. Namun, dia mencoba tidak menunjukkan kebimbangan di hadapan putranya. Biarlah, Zahid senang, itu yang terpenting.
"Ma, nanti weekend bisa kita berempat main ke taman? Sama Daddy juga?" tanya Zahid suatu sore, sambil menata mainan di lantai.
Rheina berhenti sejenak dari memasak dan menatap putranya. "Kita berempat? Ya, bisa kok," jawabnya pelan.
Zahid tersenyum lebar, matanya berbinar lagi. "Yes! Zahid mau ajak Daddy naik sepeda bareng, nanti mama main sama Alya aja, ya."
Hati Rheina kembali berdesir. Panggilan itu, entah kenapa, makin sering terdengar seperti keputusan besar. Sebuah pertanyaan mendesak yang mengusik batinnya. "Apakah ini jawaban dari kebimbangannya belakangan ini? Dan apakah dia sendiri sudah siap dengan semua ini?"
Di satu sisi, dia bahagia melihat Zahid begitu dekat dengan Nando, tetapi di sisi lain, ada rasa takut yang menyelinap. Takut, jika suatu saat hubungan ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Takut, jika nanti Zahid merasa terluka karena terlalu berharap.
Malam itu, saat Zahid sudah terlelap, Rheina duduk di teras rumah bersama Nando. "Aku bingung. Zahid kelihatannya begitu nyaman sama kamu. Dia sudah memanggilmu Daddy seolah-olah kamu ... sudah bagian tetap dari hidupnya."
Nando tersenyum tipis, tetapi ada rasa tanggung jawab yang berat tergambar di wajahnya. "Aku juga tahu ini nggak mudah, Rheina. Tapi aku janji, aku nggak akan main-main dengan perasaan dia, ataupun kamu."
Rheina menatap Nando dengan campuran rasa lega dan ragu. "Aku harap kamu benar-benar siap, Nando. Karena ini bukan cuma tentang kita."
Nando menggenggam tangannya, tatapannya penuh ketenangan. "Aku siap, Rheina. Jika kamu memberi kesempatan itu. Kita akan jalani ini pelan-pelan, tanpa terburu-buru."
Namun, di balik janji itu, pertanyaan besar masih menggantung di udara. Apakah Zahid akan terus memanggil Nando "Daddy"? Dan jika ya, apakah Nando benar-benar bisa memenuhi peran itu sepenuhnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak kunjung hilang dari benak Rheina, seakan menunggu jawaban yang belum ditemukan.
---
Pagi itu, ketika Rheina sedang sibuk di dapur, terdengar suara tawa Zahid, Alya dan Nando dari ruang tamu. Suara mereka terdengar begitu dekat, seperti ayah dan anak yang sudah saling mengenal lama. Rheina tersenyum tipis, tapi di dalam hatinya masih ada kebimbangan yang terus tumbuh.
Tiba-tiba, Zahid muncul di pintu dapur, wajahnya cerah seperti biasa. "Ma, nanti sore Daddy mau ajarin Zahid naik skateboard. Boleh, kan?"
Rheina menatapnya dengan sedikit terkejut, tapi berusaha tetap tenang. "Boleh, sama Alya juga?"
"Nggak, Ma. Alya katanya mau sama Mama aja, gak mau ikut Zahid sama Daddy."
"Baiklah. Hati-hati, ya."
Zahid tersenyum lebar, sebelum berlari kembali ke ruang tamu. Rheina hanya bisa berdiri di tempatnya, pikirannya berputar. Panggilan "Daddy" itu, makin lama makin terasa seperti sesuatu yang nyata. Sesuatu yang serius.
Namun, apakah ini semua akan bertahan? Dan apa yang akan terjadi jika suatu saat Zahid harus melepaskan panggilan itu? Rheina belum tahu jawabannya. Dan mungkin, dia belum siap untuk mengetahuinya.
---
Sore itu, seperti yang dijanjikan, Nando dan Zahid pergi ke taman. Zahid tampak sangat antusias untuk belajar skateboard bersama Nando. Setiap kali Nando mendorong papan, Zahid tertawa keras, berusaha menjaga keseimbangannya. Mereka terlihat begitu dekat, seperti ayah dan anak yang tak terpisahkan. Zahid bahkan tidak sekali pun peduli pada Adnan, yang berkali-kali mencoba mendekatinya. Sejak kesalahan Adnan yang terlambat saat acara Dad Camp itu, baginya Nando kini adalah sosok ayah yang selama ini dia butuhkan.
Sementara itu, di rumah, Rheina sedang duduk di sofa, menemani Alya yang memutuskan untuk tidak ikut ke taman. Sejak pertama kali Nando memperkenalkan Alya kepada Rheina, anak perempuan itu tampak sangat tenang, tetapi juga jelas merindukan sosok ibu. Alya kehilangan ibunya sejak kecil, dan sejak itu, dia hanya memiliki Nando sebagai satu-satunya orang tua.
Alya duduk di sebelah Rheina, memainkan rambut bonekanya. Suasana rumah terasa nyaman, tetapi keheningan itu tiba-tiba pecah oleh pertanyaan polos Alya.
"Tante, Bang Zahid sekarang manggil Daddy ke Papa. Alya boleh manggil Mama juga, nggak, ke Tante?" tanyanya, wajah kecilnya memancarkan harapan.
Rheina tertegun. Pertanyaan itu menghantam hatinya dengan keras. Dia tidak pernah menyangka anak perempuan berusia lima tahun itu akan menanyakan sesuatu yang begitu dalam. Bagaimana dia bisa menjawab? Di satu sisi, dia tahu Alya butuh kasih sayang seorang ibu, seseorang yang bisa menggantikan rasa kehilangan yang Alya alami selama ini. Tapi di sisi lain, Rheina belum sepenuhnya yakin dengan perannya dalam kehidupan Alya dan Zahid, terutama ketika status hubungannya dengan Nando masih terasa baru.
Namun, tatapan polos Alya yang penuh harapan tak mungkin bisa diabaikan. Rheina menghela napas, dan dengan lembut, dia mengangguk. "Tentu, Alya. Kamu boleh panggil Tante apa saja yang kamu mau," jawab Rheina sambil tersenyum, mencoba menenangkan hatinya sendiri.
Alya tersenyum lebar, matanya berbinar. "Makasih, Mama," katanya dengan suara pelan sebelum memeluk Rheina erat-erat.
Rheina terkejut, tapi perlahan memeluk Alya kembali. Pelukan itu terasa hangat, penuh makna, seolah ada benang tak terlihat yang mengikat mereka. Hati Rheina berdesir. Dia merasakan kehangatan yang berbeda, bukan hanya sebagai seorang ibu bagi Zahid, tapi juga sebagai sosok yang mulai mengambil tempat penting dalam hidup Alya. Namun, di balik kehangatan itu, ada rasa ragu yang tak bisa dia abaikan.