Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Yang Nyata
Malam itu terasa amat panjang. Raga terperangkap dalam kegelisahan bagai memakan buah simalakama. Di satu sisi, ia tidak ingin ini menjadi beban bagi Ayah hingga membuatnya jatuh sakit. Di sisi lain, ia jelas tidak rela menjadi suami bayangan dari 'Orang Bunian'. Mungkin hanya ada satu jalan terakhir: sebuah ritual pemutusan perjanjian yang damai.
Bulan bersinar malu-malu dari balik dahan pohon kamboja, cahayanya menyelinap melalui ventilasi jendela dan menerangi kamarnya. Suara kuik burung hantu terdengar sayup. Angin malam enggan berhembus, membuat suasana kampung tua itu terasa semakin sepi dan menusuk.
Hampir dua jam ia berusaha memejamkan mata, namun gagal. Pikirannya melayang antara masa lalu dan masa kini; tentang moyang, Ayah, Ibu, dan gadis itu. Arumi. A-ru-mi. Namanya ia ucapkan dalam hati. Benarkah gadis Bunian secantik ilusi yang dilihatnya? Andai ia berwujud manusia nyata, mungkin Ibu tak perlu lama menanti kehadiran menantu. Tapi sayang, ini hanya andai-andai konyol. Raga menarik selimut hingga menutupi kepalanya, memaksa diri untuk tidur.
Tak lama kemudian, kilatan cahaya putih membawanya melayang ke sebuah taman yang indah. Bunga-bunga bermekaran berwarna-warni, tertata rapi sejauh mata memandang. Air mancur berdesing di setiap sudut, sementara kicau burung dan suasana asri menyelimuti tempat itu. Raga berjalan mencari tempat duduk di bawah pohon rindang.
Tiba-tiba, angin berembus kencang membentuk pusaran yang mengelilinginya. Ia tak berdaya, hanya bisa berpegangan erat pada sandaran kursi. Dari dalam pusaran itu, muncul selendang yang melambai-lambai. Lalu, sesosok tubuh tinggi dengan baju kurung putih-coklat berdiri tepat di hadapannya.
Wajahnya cantik, dengan sorot mata teduh yang menatap lekat. Raga terkesima, mulutnya terbuka, matanya membelalak. Gadis itu seolah memahami ketakutannya. "Jangan takut, Abang. Aku bukan hantu," katanya lembut.
Raga mencoba memberanikan diri mengangkat wajah, namun tubuhnya terasa lunglai. Gadis itu lalu duduk di sampingnya. "Namaku Arumi," ujarnya pelan.
Lidah Raga seperti terkunci, tak mampu menjawab.
"Abang Raga, aku tahu namamu dari Ibu," lanjutnya.
Dengan sisa keberanian, Raga mendongak memandangnya. Ya Tuhan, gadis di depannya sungguh cantik. Wajah oval dengan sorot mata teduh, hidung mancung, dan bibir tipis yang pucat. Belum pernah ia menemukan kecantikan seperti ini, baik di kampung halaman maupun di kota tempatnya bekerja. Apakah ia benar-benar hantu cantik? Raga bergidik.
Mata mereka bertemu. Raga tak sanggup menahan pandangannya menunduk. Arumi tersenyum. "Ayah pernah bilang, bahwa jodohku adalah dirimu."
"Aku?" tubuh Raga menggigil tak percaya. "Bagaimana dengan perjanjian dengan Ayah?"
Arumi tak menjawab. Ia berdiri dan melangkah menuju hamparan bunga, memetik beberapa tangkai melati. "Aku hanya menyampaikan pesan Ayah untuk menjaga silaturahmi. Tapi aku tahu, ini jalan yang salah... ini melanggar aturan Tuhan," ujarnya dengan roman sedih.
Angin berhembus dingin, suasana semakin sunyi. Raga mengucek matanya, tak yakin apakah ini mimpi atau kenyataan. "Lalu, benarkah engkau anak turunan Haji Rusdi dari alam Bunian?" tanyanya untuk memastikan.
Arumi hanya tersenyum dan menatapnya.
Kenyataan pahit harus ia terima: apakah jodohnya benar dari kalangan Bunian? Raga menggeleng kuat. Ini tak boleh terjadi.
"Arumi, alam kita berbeda. Aku tidak akan sanggup hidup berdampingan denganmu, begitu juga sebaliknya. Perjanjian ini harus kita akhiri," katanya penuh keyakinan.
Gadis berselendang itu terdiam. Binar matanya kelam, genggamannya pada bunga melati semakin erat.
"Aku dan keluargaku tak akan melupakanmu," tambah Raga.
Ia berdiri perlahan. Bunga melati dalam genggamannya disodorkannya. "Ambillah bunga ini sebagai kenang-kenangan dariku, Abang. Dan aku berjanji tak akan mengganggumu lagi."
Raga tersenyum lega. "Terima kasih, adiku," katanya sembari menyentuh tangannya yang dingin.
Ia tersenyum secara perlaha melepaskan genggamannya, bibir pucat nya berbisik pelan, "Abang, apakah engkau pernah jatuh cinta?"
\=\=\=\=
Suara azan subuh menggema dari Masjid Lambah, disusul suara Ibu yang memanggil-manggil namanya. "Bujang, bujang... bangun nak!"
Raga tersentak bangun, tubuhnya basah oleh keringat dingin menatap heran pada Ibu yang duduk di sisi ranjang. Pandangannya tertuju pada setangkai bunga melati yang tergeletak di atas bantal—bukti nyata bahwa mimpi bukan sekadar khayalan.