Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.
kisah ini diangkat dari kisah nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Maya pun kini telah sampai di rumah salah satu keluarga Riski, di kota yang akan menjadi tempatnya bersalin. Ia disambut hangat oleh mereka, sebuah kelegaan di tengah dinginnya perjalanan. Di rumah itu, terlihat jelas, kini Maya dan Umma Fatimah seperti ada benteng tak kasat mata di tengah keduanya, benar-benar tidak lagi bertegur sapa. Umma Fatimah seperti enggan berdekatan dengan Maya, dan Maya pun tidak peduli lagi dengan sikap Umma Fatimah. Ada yang jauh lebih penting sekarang dibanding memikirkan dirinya diterima dengan ikhlas atau tidak oleh madunya; fokusnya adalah bayi dalam kandungannya.
Riski menemani Maya selama beberapa hari di sana sebelum dirinya pulang kembali ke kota tempatnya bekerja. Selama di rumah keluarga Riski itu, meskipun Maya masih belum mendapatkan giliran malam—karena Riski masih sakit-sakitan—tetapi di siang hari Riski tetap mengunjungi Maya, melihat kondisinya, dan terkadang mereka pergi bersama membeli perlengkapan bayi mereka.
Selama tinggal di rumah keluarga Riski, Maya benar-benar menjaga batasan, sebuah pelajaran pahit dari pengalaman lalu yang menggoreskan trauma mendalam. Ia tidak lagi mudah terpancing dan kembali melakukan kesalahan seperti dulu. Ia menjadi sangat berhati-hati, terkadang ia menjadi overthinking, dan berpikir buruk, jangan sampai Umma Fatimah menyuruh anggota keluarga Riski untuk kembali memancing emosinya.
Hari terus berlalu, Maya merasa jauh lebih baik berada di tengah keluarga Riski, yang juga ternyata banyak berubah. Mereka tidak lagi mencari tahu tentang rumah tangga Maya bersama Riski seperti apa, menjaga privasi Maya dengan penuh hormat. Saat mereka menceritakan tentang kesalahpahaman lalu pun, Maya hanya mendengarkan, menelan setiap kata tanpa menanggapi, menjaga jarak dan kedamaian hatinya yang telah ia bangun susah payah.
Selama Maya tinggal di rumah keluarga Riski, Riski akan menelepon Maya setiap hari atau mengirim pesan, jembatan komunikasi yang disyukurinya. Kali ini terasa sangat nyaman, karena tidak ada lagi teguran dari Umma Fatimah. Maya berpikir, sungguh keterlaluan jika Umma Fatimah menegurnya lagi. Maya sudah melepaskan hak gilirannya di malam hari, mencoba memahami dan memberikan kemudahan bagi Riski. Sejak Riski mengeluh lebih nyaman bersama Umma Fatimah karena sering sakit-sakitan, Umma Fatimah seharusnya senang. Riski kini benar-benar selalu berada di sisinya, memiliki suaminya sepenuhnya di malam hari, sementara Maya hanya mendapatkan sisa waktu dan komunikasi yang terjaga jarak, namun penuh ketenangan yang dicarinya.
.........
Beberapa hari kemudian, ketenangan di rumah singgah itu terusik oleh sebuah kejadian yang tak terduga. Maya sedang berbaring santai di kasur, mengelus perut buncitnya, ketika ia merasakan hal aneh. Ada air hangat yang mengalir dari bagian bawah tubuhnya, tapi rasanya berbeda dengan air pipis atau mengompol; lebih banyak, lebih encer.
Maya yang panik segera berdiri. Saat berdiri, airnya semakin deras keluar, membasahi lantai dan sarung yang dikenakannya.
"Tanteee!" teriak Maya dari kamarnya, suaranya sarat akan kepanikan. "Tolong! Ini kenapa keluar air dari bawah!"
Tante yang mendengar teriakan Maya, setengah berlari menghampiri kemenakannya itu. Matanya membulat saat melihat kondisi Maya.
"Astaga Maya! Ketuban kamu pecah, Nak! Kamu sudah mau melahirkan!" seru sang tante, panik tapi sigap.
"Haa? Melahirkan?" Maya semakin panik. "Tapi belum waktunya, Tante! Aku juga nggak ngerasain sakit apa pun!"
"Sudah jangan dulu pikirkan hal itu, sekarang kita harus segera ke rumah sakit," potong tantenya cepat. "Kamu sudah siapkan tas persalinan, kan?"
"Sudah, Tante, semuanya sudah lengkap di tas biru di kamar," jawab Maya, napasnya tersengal.
"Ayo sekarang kita pergi, soal tas itu biar si Nino yang urus nanti," kata sang tante sambil menuntun Maya perlahan ke arah mobil. Dengan cekatan, ia memakaikan sarung bersih kepada Maya dan juga membawa beberapa sarung lain untuk jaga-jaga.
"Pelan-pelan saja bawa mobilnya, Nino! Hindari batu-batu, supaya nggak banyak guncangan!" perintah sang tante pada anaknya, Nino, yang sudah siap di balik kemudi. "Setelah ini, kamu balik lagi ke rumah dan ambil tas persalinan di kamar Maya, semua surat-surat juga lengkap di tas itu, May?"
"Iya, Tante, lengkap," jawab Maya, mencoba menenangkan diri.
Mereka akhirnya sampai di rumah sakit. Nino dengan sigap meminta bantuan para perawat. Perawat pun datang setengah berlari ke arah Maya dengan membawa kursi roda.
"Silakan duduk di sini, Bu," ujar perawat ramah. "Kita ke IGD dulu."
Maya dibawa oleh perawat tersebut ke IGD, sementara tante segera menghubungi Riski, yang berada di kota berbeda, mengabarkan bahwa istrinya akan melahirkan, membuat momen yang seharusnya penuh kebahagiaan itu terasa mencekam dan penuh ketegangan.
Setelah menunggu beberapa menit yang terasa lama dan mencekam di depan ruang IGD, suster yang tadi membawa Maya pun keluar dari ruangan. Melihat hal tersebut, Tante Maya langsung berdiri, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Gimana keadaan ponakan saya, Sus?" tanya Tante Maya, suaranya terdengar cemas.
"Ketubannya sudah pecah, Bu, dan sama sekali belum ada pembukaan," jelas suster itu dengan nada serius. "Kalau dibiarkan lama-lama akan sangat berbahaya untuk bayi dan juga ibunya. Suaminya mana ya, Bu?" tanya suster tersebut, mencari sosok suami yang seharusnya mendampingi.
"Suaminya ada di kota lain, Sus, pekerjaannya di sana," jawab Tante Maya, mencoba menjelaskan situasi rumit tersebut. "Keponakan saya itu hanya datang melahirkan di sini, tapi belum waktunya."
"Apa Ibu sudah menghubungi suaminya?" kejar suster, memahami bahwa keputusan medis selanjutnya membutuhkan persetujuan suami.
"Sudah, Sus, tapi belum diangkat," jawab Tante Maya, rasa frustrasi terdengar jelas. "Mungkin sudah tidur, karena di sana sudah larut malam."
"Apa saya bisa bertemu dengan keponakan saya, Sus?"
"Bisa, Bu, silakan," ujar suster tersebut. "Sebentar dokter juga akan datang, untuk menjelaskan tindakan selanjutnya."
Tante Maya bergegas masuk ke ruang IGD. Langkahnya perlahan, sarat akan rasa prihatin yang mendalam. Ia memandang ke arah Maya, hatinya teriris. Ponakannya itu berjuang sendirian di saat seharusnya ada suami yang menggenggam tangannya, memberikan dukungan moral dan kekuatan. Rasa sayang dan iba terhadap Maya pun bertambah berkali lipat.
Ia berjalan perlahan menghampiri ranjang Maya. "May, gimana perasaan kamu, Nak? Apa ada yang sakit?"
"Gak ada, Tante, Maya nggak ngerasain apa-apa," jawab Maya, wajahnya pucat tapi mencoba tegar. "Oh iya, apa Tante sudah mengabari Mas Riski?"
Tante Maya menghela napas sejenak, berat sekali rasanya menyampaikan kabar itu. "Sudah, May, tapi sepertinya Riski sudah tidur. Tante sudah telepon berkali-kali, memang sudah jam tidur malam di kota sana."
"Ya sudah nggak papa, Tante. Alhamdulillah ada Tante di sini," ucap Maya lirih, mencoba tegar, meskipun hatinya kembali merasakan perih ditinggalkan.
"Iya, Nak, kamu nggak perlu khawatir, Tante ada di sini," hibur Tante Maya, menggenggam tangan Maya erat. "Kamu nggak sendirian, Nak. Sekarang jangan dulu mikirin hal yang lain, pikirin diri kamu dan juga bayi yang ada di dalam perut kamu, ya."
Tak lama kemudian, dokter pun masuk ke ruangan, menanyakan terlebih dahulu apa yang Maya rasakan. Maya menjawab, masih tidak merasakan apa pun, sebuah kondisi yang mengkhawatirkan.
Dokter menyarankan untuk memberikan suntikan yang bisa merangsang jalan lahir terbuka, menginduksi persalinan. Tapi sebelumnya, dokter memperingatkan bahwa setelahnya tidak akan mudah, kontraksi yang nantinya akan dirasakan oleh Maya, akan lebih sakit dari kontraksi normal yang memang karena sudah waktunya melahirkan.
Dokter menanyakan suami Maya, dan suster dengan sigap membantu menjawab pertanyaan dokter. Dokter menggelengkan kepala, serius. "Ini darurat, Bu, nggak bisa lagi menunggu persetujuan suami Ibu. Taruhannya adalah nyawa bayi yang ada di dalam perut Ibu, apalagi jika sampai cairan ketubannya habis."
Maya akhirnya menuruti saran dari dokter. Tante Maya pun sama, menguatkan keputusan itu demi keselamatan ibu dan bayi. Dokter meminta suster menyiapkan segalanya. Setelah dokter menyuntik Maya, beberapa menit kemudian, Maya dipindahkan ke ruang rawat inap, menunggu dimulainya perjuangan terberat dalam hidupnya.
Bersambung...