Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
FAJAR PULANG KAMPUNG
#
Sabtu pagi, jam lima subuh, Fajar sudah berdiri di depan kos dengan tas kecil di punggung. Di dalam tas hanya ada satu ganti baju, handuk lusuh, dan jarum akupuntur warisan kakek yang selalu ia bawa kemana-mana. Di sakunya, hanya ada seratus lima ribu rupiah—uang makan dua minggu yang seharusnya ia hemat dengan sangat ketat.
Tapi ia tidak peduli lagi.
Semalam setelah telepon dengan ibu, ia tidak bisa tidur sama sekali. Setiap kali menutup mata, ia mendengar suara Rani yang menangis histeris, suara adiknya yang bilang ingin mati. Suara itu terus berputar-putar di kepala sampai ia merasa mau gila.
*Aku harus pulang. Aku harus lihat Rani. Aku harus peluk dia. Aku tidak peduli dengan kuliah. Aku tidak peduli dengan uang. Yang aku peduli hanya satu: Rani tidak boleh menyerah. Rani tidak boleh bunuh diri.*
Ia mengayuh sepeda tuanya ke terminal bus dengan kaki yang masih lemas—ia bahkan belum makan sejak kemarin sore karena perutnya tidak bisa menerima makanan. Setiap kali ia coba makan, rasanya seperti mau muntah. Dadanya terlalu sesak. Tenggorokannya terlalu tercekik.
Di terminal, ia membeli tiket bus ekonomi jurusan Kota Gemilang - Desa Asri. Harga tiket: delapan puluh ribu rupiah. Uang yang tersisa: dua puluh lima ribu rupiah.
*Dua puluh lima ribu untuk dua minggu ke depan. Itu artinya tidak ada uang makan sama sekali. Tapi... tidak apa-apa. Yang penting Rani selamat.*
Bus berangkat jam enam pagi. Perjalanan memakan waktu enam jam. Sepanjang perjalanan, Fajar tidak bisa duduk tenang. Kakinya terus bergoyang-goyang gelisah. Tangannya mengepal dan membuka berulang kali. Matanya menatap keluar jendela tapi tidak benar-benar melihat apapun—pikirannya hanya pada Rani. Pada adiknya yang pasti sedang sangat menderita.
*Bertahanlah, Ran. Kakak datang. Kakak akan ada di sana untuk kamu.*
Bus melewati kota-kota kecil. Melewati sawah-sawah hijau. Melewati jalan-jalan berbatu. Semakin dekat ke Desa Asri, semakin sesak dada Fajar. Semakin takut. Takut melihat adiknya yang hancur.
---
Jam dua belas siang, bus akhirnya tiba di pertigaan Desa Asri. Fajar turun dengan langkah gontai. Matahari tengah hari sangat terik, membakar kulitnya yang sudah gelap. Ia berjalan kaki dari pertigaan menuju rumah—jarak sekitar tiga kilometer. Tidak ada angkutan umum. Ia tidak punya uang untuk ojek.
Sepanjang jalan, beberapa warga desa yang mengenalnya menatap dengan tatapan aneh. Ada yang berbisik-bisik. Ada yang tertawa pelan. Fajar tahu—mereka pasti sudah dengar tentang Rani yang dituduh mencuri.
"Itu kan anak Pak Wira yang kuliah di kota," bisik seorang ibu-ibu pada tetangganya sambil menatap Fajar lewat.
"Iya. Adiknya kan yang ketahuan mencuri di sekolah. Dasar keluarga miskin. Anak-anaknya jadi pencuri," sahut tetangganya dengan nada meremehkan yang sangat jelas.
Fajar mendengar tapi ia tidak menoleh. Tangannya mengepal sangat kuat. Kuku-kukunya menancap ke telapak tangan hingga berdarah. Tapi ia terus jalan. Tidak peduli. Yang penting sampai rumah.
Lima belas menit kemudian, ia sampai di depan rumahnya—rumah bambu tua yang setengah ambruk, atap bocor di beberapa bagian, dinding penuh jamur. Rumah yang sudah puluhan tahun tidak direnovasi karena tidak ada uang.
Ia berdiri di depan pintu, menarik napas dalam-dalam, kemudian mengetuk pelan.
"Ibu... ini aku, Fajar."
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Bu Nirmala berdiri di sana dengan wajah yang sangat kacau—mata bengkak, pipi tirus, rambut acak-acakan, baju kusut. Jelas wanita ini tidak tidur berhari-hari.
Begitu melihat Fajar, Bu Nirmala langsung menangis dan memeluknya erat.
"Jar... Nak... kamu pulang..." isaknya dengan suara bergetar.
"Iya, Bu. Aku pulang. Rani gimana?" tanya Fajar langsung, suaranya gemetar penuh kekhawatiran.
Bu Nirmala melepas pelukannya, menatap Fajar dengan mata penuh air mata. "Rani... Rani di kamar. Dari kemarin malam dia masuk kamar lagi dan ngunci pintu. Nggak mau keluar. Nggak mau makan. Cuma nangis terus. Ibu udah coba paksa masuk tapi dia teriak-teriak histeris. Ibu takut, Jar... Ibu sangat takut dia buat sesuatu yang... yang..."
Suara Bu Nirmala terpotong karena tangisan.
Fajar langsung berlari masuk. Ia melihat ayahnya—Pak Wira—duduk di kursi roda di ruang tengah dengan wajah yang sangat hancur. Mata ayahnya merah bengkak—jelas habis menangis. Begitu melihat Fajar, Pak Wira mencoba tersenyum tapi senyumnya sangat getir, sangat menyakitkan untuk dilihat.
"Fajar... kamu pulang, Nak..." suara Pak Wira sangat parau.
"Ayah..." Fajar menghampiri ayahnya, berlutut di depan kursi roda, memegang tangan ayahnya yang dingin dan gemetar. "Maafin aku, Yah. Maafin aku yang nggak bisa jaga Rani dengan baik."
"Ini bukan salahmu, Nak," kata Pak Wira dengan suara bergetar. "Ini salah dunia yang kejam. Salah orang-orang yang suka nginjak-injak orang lemah kayak kita."
Fajar tidak menjawab. Ia langsung berdiri dan berjalan menuju kamar Rani—kamar kecil di pojok rumah yang pintunya terbuat dari kayu tua yang sudah keropos.
Ia mengetuk pintu dengan lembut.
"Ran... ini Kakak. Kakak Fajar. Buka pintu, Dik."
Tidak ada jawaban.
Hanya keheningan yang sangat mengerikan.
"Rani sayang... please... buka pintu. Kakak udah datang jauh-jauh dari kota cuma buat ketemu kamu. Buka pintu ya, Dik. Kakak kangen kamu. Kakak mau lihat kamu."
Masih tidak ada jawaban.
Fajar mulai panik. Ia mengetuk lebih keras. "RANI! BUKA PINTU! INI KAKAK!"
Keheningan.
*Oh Tuhan... jangan bilang...*
"
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.