Akankah cinta memudar seperti kehormatan yang telah hilang?
Seruni, nama yang singkat, sesingkat pemikirannya tentang cinta ketika usianya baru saja menginjak tujuh belas tahun saat itu. Atas kekagumannya pada sosok gagah, pemuda yang digandrungi semua gadis desa pada masa itu, Seruni rela melepas keperawanannya kepada lelaki itu di sebuah bilik bambu tak berpenghuni.
Ajun Komisaris Polisi Seno Ari Bimantara, lelaki dengan segudang prestasi di ranah kepolisian, tercengang ketika pada hari dia kembali bekerja setelah lamaran dengan kekasihnya, menemukan laporan dua orang wanita malam yang berkelahi dengan satu korban bocor di kepala. Ia tercekat pada satu nama dan satu wajah dalam laporan itu: Seruni.
Gadis polos yang ia ambil kesuciannya bertahun-tahun lalu di balik bilik bambu kini kembali secara tak sengaja ke dalam hidupnya dengan realita kehidupan mereka yang kontras. Namun, pada pertemuan kedua setelah bertahun-tahun yang lalu itu, hanya ada kebencian dalam nyalang mata seruni ketika memandangnya.
Bima, Seruni dan Atikah, terlibat sebuah hubungan rumit yang akhirnya mengantarka mereka pada romansa berantakan berujung dendam! Mampukah Bima meredam kebencian Seruni pada sepenggal kisah mereka yang tertinggal di balik bilik penyesalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lemari Kertas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kobaran Api Kebencian
Sekian detik waktu berlalu, hanya ada keheningan yang membungkus Bima dan Seruni. Keduanya saling pandang, Seruni tak sedetik pun mau mengalah untuk mengalihkan pandangan. Tatapannya tajam, pun begitu dengan Bima, tatapan setajam elang itu mampu menembus hingga ke dasar hati Seruni yang kini sudah terkunci mati. Namun, sekali lagi Bima bisa memastikan, balasan tatapannya itu bukan lagi sebuah tatapan meleleh atau memuja dari Seruni seperti sepuluh tahun yang lalu, yang nampak adalah kekecewaan mendalam.
Bima mendekat kemudian, membuka kunci sel dengan Seruni yang masih berdiri mematung dengan tatapan benci yang menyala-nyala dalam rongga mata indahnya.
"Ikutlah denganku," kata Bima dengan suara nyaris tercekat di tenggorokan.
Seruni tak berkata apapun, hanya mengikuti langkah Bima yang tetap tegap dan penuh wibawa meski sebenarnya lelaki itu sendiri hampir terhuyung karena rasa terkejut yang masih ada. Seruni memandang tubuh dambaan setiap perempuan itu dari belakang, yang terbungkus ketatnya seragam coklat kepolisian. Beberapa anggota yang tengah sibuk di meja kerja masing-masing, sedikit heran saat melihat Seruni mengikuti langkah Bima hingga sampai ke ruangannya. Hingga pintu ruangan atasan mereka itu tertutup, baru mereka berani saling sikut lewat tatapan. Mungkin mereka heran, mengapa perempuan yang terlibat perkelahian di club malam itu semalam, sampai harus masuk ke dalam ruangan sang AKP.
"Duduklah," ujar Bima sesampainya mereka di dalam ruangan. Seruni lagi-lagi tak bersuara, duduk dengan tenang dengan pandangan masih sedatar air tak beriak. "Seruni ..." lanjut Bima. Kali ini, ada yang bergetar dari hati Seruni kala namanya disebut dan keluar dari bibir lelaki yang sudah menggoreskan luka teramat dalam di hidupnya itu.
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku? Kalau tidak ada hal penting yang mau kau sampaikan, biarkan saja aku di dalam sel tadi."
Dingin. Bagai tak tersentuh. Bima menatap Seruni dengan sejuta kemelut di dalam hatinya sendiri ketika suara yang begitu indah itu berkata dengan datar tanpa ekspresi apapun.
"Tidak, kau bisa bebas hari ini. Aku yang akan menjadi jaminan untuk kebebasanmu."
Seruni tak menanggapinya dengan apapun. Mau berharap dia mengucapkan terima kasih? Jangan harap! Kebencian dalam nyala mata Seruni bak api yang berkobar. Bima bisa melihatnya begitu jelas seolah sedang membakar dirinya sendiri.
"Perutmu terluka?" tanya Bima menunjuk darah yang mulai kembali merembes, mungkin karena dibawa berjalan dan bergerak tadi, jadi luka yang sempat kering, kini kembali terbuka dan melelehkan darah segar.
"Aku tidak pernah merasa sakit, meski belati pela*ur semalam sudah merobek sisi perutku. Tapi aku bisa merasakan hatiku nyeri sekarang hanya karena melihat kau lagi, Seno Ari Bimantara."
Bima tersentak, ia paham, Seruni kini teramat membencinya. Ia pun tak mau menampik, karena itu memang murni kesalahannya.
"Seruni, kita bisa bicarakan semuanya baik-baik. Aku akan membersihkan lukamu terlebih dahulu."
"Tidak perlu! Aku pernah bersumpah tidak akan pernah mau melihat kau lagi! Dan hari ini aku telah melanggar sumpahku! Aku hanya ingin pergi dan kau bisa menjalani kehidupanmu seperti tak pernah terjadi apapun di antara kita!"
Seruni beranjak, hendak meraih gagang pintu tapi Bima secepat mungkin menarik lengannya, hingga Seruni jadi menempel ke tubuhnya. Sekian detik keduanya bertatapan. Bima menyadari, Seruni semakin cantik dan menggoda dengan tubuhnya yang luar biasa sintal. Tubuh idaman lelaki manapun, bahkan saat ini, ia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang ketika perempuan itu begitu menempel dengannya.
"Lepaskan aku!" desis Seruni penuh ancaman.
Bima diam, tapi kemudian ia merengkuh pinggang Seruni menjadi lebih lekat dengan tubuhnya.
"Duduklah sebentar, Seruni. Aku tahu kau benci padaku, tapi aku tidak akan mungkin membiarkan kau pulang dalam keadaan berdarah seperti ini."
Bima menggiring Seruni untuk duduk lagi. Seruni diam seribu bahasa. Ia melihat seragam Bima sudah basah dengan darah dari perutnya. Lelaki itu kemudian kembali mendekat dengan membawa kotak obat.
Bima berjongkok, menguak sedikit robekan baju Seruni lalu mulai membersihkannya dengan siraman larutan NaCL. Keheningan kembali membungkus mereka berdua, Seruni hanya diam mematung, sedang Bima bisa merasakan jantungnya masih berdegup kencang karena perasaan bersalah juga perasaan aneh yang lain yang kini datang hinggap tepat di hatinya.
"Sudah selesai, Seruni. Dimana rumahmu, biarkan aku mengantar kau pulang."
"Tidak perlu. Aku masih punya kaki untuk melangkah dan pulang sendiri. Setelah ini, jangan pernah menampakkan wajahmu di depanku lagi, karena aku bisa saja membunuhmu jika kau nekat melakukan itu," sahut Seruni semakin dingin lalu membuka pintu dan keluar dengan tatapan aneh anggota polisi di luar ruangan itu.
"Seruni ... Mau pulang ya? Salam untuk dirimu." Salah satu anggota polisi menggodanya dengan manis tapi Seruni tak menggubris. Ia terus melangkah, meninggalkan Bima yang tercenung di dalam ruangannya.
Perasaan bersalah menghantam Bima seketika. Ia bisa merasakan gejolak itu kembali, gejolak saat dulu pertama kali menc*um manis dan ranumnya bibir juga tubuh Seruni. Bima memejamkan matanya sesaat, terasa begitu tega dirinya di masa lalu, telah membiarkan Seruni terluka karena dirinya. Haruskah dia menebusnya sekarang? Meski dia akan membuat Seruni kembali murka karena berani menampakkan lagi wajahnya di depan wanita itu?