Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Aroma di Lorong Istana
Ia berjalan keluar dari pintu dapur, menuju cahaya fajar yang menyilaukan, membawa serta aroma kerak hitam dan sebuah nasib yang akan segera berbelok tajam di persimpangan jalan. Setiap langkah di atas kerikil putih yang rapi terasa seperti sebuah pengkhianatan.
Jalur ini, begitu murni dan tertata, adalah manifestasi dari filosofi Chef Gao. Mengotorinya, bahkan dengan serpihan sekecil kuku, terasa seperti meludahi altar suci.
Han Qiu berhenti tepat di persimpangan yang diperintahkan. Paviliun Anggrek Tenang, tempat peristirahatan Kaisar, tampak megah namun sunyi di kejauhan. Ia berlutut, membuka kepalan tangannya yang berkeringat. Serpihan kerak itu tergeletak di telapak tangannya, gelap dan menantang di tengah lautan kerikil putih. Sebuah noda yang sempurna.
Dengan napas tertahan, ia menjatuhkannya.
Benda itu mendarat tanpa suara, sebuah titik hitam di atas kanvas yang sempurna. Misi sadis itu selesai. Han Qiu segera bangkit dan bergegas pergi, menyembunyikan dirinya di balik pilar berukir di koridor terdekat. Ia harus melihat. Ia harus tahu apakah jebakan ini akan meledak di wajahnya atau justru membuka sebuah pintu.
Tak lama, sebuah prosesi kecil muncul dari arah paviliun. Jubah kuning keemasan yang disulam dengan benang emas berkilauan di bawah matahari pagi, tetapi pemakainya tampak kusam. Kaisar Zhao Xian berjalan dengan langkah yang lambat dan tanpa tenaga, wajahnya pucat pasi seperti kertas beras.
Ia lebih mirip hantu yang menghantui pakaiannya sendiri daripada seorang penguasa. Di sampingnya, Kasim Kepala berjalan membungkuk, payung kertas minyak terangkat tinggi seolah melindungi sang naga dari sentuhan dunia.
"Yang Mulia, mungkin sebaiknya kita kembali. Udara pagi ini terasa lembap," ujar Kasim Kepala, suaranya penuh kekhawatiran yang dibuat-buat.
Kaisar tidak menjawab. Matanya yang cekung menatap kosong ke depan, seolah berjalan dalam tidur. Mereka semakin dekat ke persimpangan. Jantung Han Qiu berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seperti genderang perang.
Tepat saat mereka mendekati titik keramat itu, embusan angin pagi bertiup, sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Angin itu menyapu kerikil, mengangkat partikel-partikel tak kasatmata dari serpihan kerak hitam itu dan membawanya terbang.
Sebuah aroma.
Samar, tetapi tidak salah lagi. Aroma gurih yang hangat, sedikit gosong, dengan jejak bawang putih dan sesuatu yang asin dan kaya. Aroma yang jujur. Aroma yang tidak pernah ada di istana yang steril ini.
Kaisar Zhao Xian berhenti.
Langkahnya yang tadinya seperti diseret, kini terpaku di tempat. Kepalanya yang tertunduk lesu terangkat sedikit. Hidungnya bergerak-gerak pelan, seperti seekor hewan yang mencium aroma mangsa atau bahaya untuk pertama kalinya.
"Tunggu," bisiknya, suaranya serak karena jarang digunakan.
Kasim Kepala ikut berhenti, wajahnya bingung.
"Ada apa, Yang Mulia?"
Kaisar tidak menjawab. Ia memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam. Ekspresi wajahnya berubah. Kekosongan di matanya digantikan oleh percikan kebingungan, lalu rasa ingin tahu yang dalam. Itu adalah ekspresi seseorang yang telah lama tuli dan tiba-tiba mendengar nada musik pertama.
Di balik pilar, Han Qiu menahan napas. Ia melihatnya. Percikan itu. Tanda kehidupan itu. Itu berhasil. Aroma itu, fosil dari nasi gorengnya, telah menembus benteng kehampaan yang mengelilingi Kaisar.
Harapan meledak di dalam dadanya, hangat dan kuat.
"Bau apa ini?" tanya Kaisar, matanya kini terbuka dan memindai sekeliling, mencari sumber keajaiban kecil itu.
"Bukan... bukan bau bunga. Bukan dupa. Ini... hangat."
Kasim Kepala mengendus udara dengan berlebihan.
"Hamba mohon ampun, Yang Mulia. Hamba tidak mencium apa pun selain aroma embun pagi dan tanah basah."
"Kau tidak menciumnya?" Kaisar terdengar sedikit kecewa, seolah ia baru saja menemukan dunia baru dan tidak ada orang lain yang bisa melihatnya.
Matanya tertuju pada tanah, pada kerikil putih, dan akhirnya, pada titik hitam kecil yang kontras itu.
"Itu... datangnya dari sana."
Ia hendak melangkah maju, tetapi sebuah suara yang dingin dan tenang memotong udara seperti bilah es.
"Yang Mulia sebaiknya tidak mendekat. Itu hanyalah kotoran."
Chef Gao muncul dari koridor lain seolah ia telah menunggu momen ini sepanjang waktu. Ia membungkuk dengan hormat, tetapi matanya yang tajam tertuju pada Kaisar dengan intensitas posesif.
Kaisar menatap Chef Gao, lalu kembali ke titik hitam itu. Ada keraguan di wajahnya.
"Kotoran?" tanyanya, nadanya tidak yakin.
"Tapi baunya... tidak seperti kotoran."
"Angin bisa membawa aroma dari tempat yang jauh, Yang Mulia," jawab Chef Gao dengan lancar, senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Itu hanyalah aroma dari pupuk bunga krisan yang baru kami sebarkan di taman barat. Terkadang, proses fermentasinya menghasilkan bau yang sedikit... unik."
Sebuah kebohongan yang sempurna. Logis, merendahkan, dan efektif mematikan rasa penasaran. Pupuk. Sesuatu yang kotor, diperlukan, tetapi harus dijauhi. Ia mengubah aroma surga menjadi bau sampah.
Han Qiu mengepalkan tangannya. Wanita licik itu menghancurkan momen ajaib ini.
Kasim Kepala langsung mengangguk setuju.
"Ah, benar juga! Pupuk bunga! Tentu saja! Yang Mulia, Chef Gao benar. Mari kita lanjutkan perjalanan."
Tetapi Kaisar tidak bergerak. Ia terus menatap titik hitam itu, lalu beralih menatap Chef Gao. Untuk pertama kalinya sejak Han Qiu tiba di istana ini, ia melihat ekspresi lain di wajah sang Kaisar selain kelesuan. Ia melihat secercah perlawanan. Secercah ketidakpercayaan.
Seolah-olah insting tubuhnya yang kelaparan memberitahunya bahwa apa pun benda itu, itu bukanlah pupuk. Itu adalah makanan. Itu adalah janji.
"Aku tidak percaya," kata Kaisar pelan, tetapi setiap kata terdengar jelas di keheningan pagi itu.
Chef Gao sedikit terkejut. Alisnya terangkat sepersekian milimeter.
Kaisar Zhao Xian mengangkat dagunya yang kurus. Ia menunjuk langsung ke arah serpihan kerak itu dengan jari telunjuknya yang gemetar, sebuah gerakan yang mengejutkan semua orang dengan otoritasnya yang tiba-tiba.
"Kasim Kepala," perintahnya, suaranya tidak lagi serak, melainkan bergetar karena sebuah tekad yang baru ditemukan.
"Ambil benda hitam itu. Bawa kemari."