Season 2 Pengganti Mommy
Pernikahan Vijendra dan Sirta sudah berusia lima tahun lamanya, namun mereka belum dikaruniai momongan. Bukan karena salah satunya ada yang mandul, itu semua karena Sirta belum siap untuk hamil. Sirta ingin bebas dari anak, karena tidak mau tubuhnya rusak ketika ia hamil dan melahirkan.
Vi bertemu Ardini saat kekalutan melanda rumah tangganya. Ardini OB di kantor Vi. Kejadian panas itu bermula saat Vi meminum kopi yang Ardini buatkan hingga akhirnya Vi merenggut kesucian Ardini, dan Ardini hamil anak Vi.
Vi bertanggung jawab dengan menikahi Ardini, namun saat kandungan Ardini besar, Ardini pergi karena sebab tertentu. Lima tahun lamanya, mereka berpisah, dan akhirnya mereka dipertemukan kembali.
“Di mana anakku!”
“Tuan, maaf jangan mengganggu pekerjaanku!”
Akankah Vi bisa bertemu dengan anaknya? Dan, apakah Sirta yang menyebabkan Ardini menghilang tanpa pamit selama itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
Vi masih memegangi ponselnya yang terus menyala karena ada panggilan dari Sirta. Ia masih belum mau menerima telefon dari Sirta, karena yang pasti akan ada keributan. Vi tidak mau ribut di telefon, karena ia sudah tahu watak istri pertamanya itu.
“Ayo angkat, Mas! Kenapa masih didiamin begitu?” perintah Ardini.
“Aku tidak ingin ribut saja, dia pasti akan ribut karena dari semalam aku mengabaikannya, biar saja nanti kalau bertemu. Lagian tadi Alex sudah bilang aku sedang di luar kota, sibuk dengan pekerjaan,” ucap Vi sesantai itu.
“Tapi Mbak Sirta berhak tahu kabar kamu, Mas! Jangan bikin khawatir dia, sekarang lebih baik mas angkat telefonnya!” Ardini terus menyuruh Vi supaya mau menerima panggilan dari Sirta.
“Sudah, lebih baik kamu diam, aku akan mengerjakan pekerjaanku yang sudah hampir selesai!”
Vi menyingkirkan ponselnya, ia mengabaikan lagi panggilan dari Sirta. Ardini hanya menggelengkan kepalanya. Sekeras kepala itu suaminya, disuruh menerima telefon dari istrinya saja tidak mau. Terbesit di pikiran Ardini, kalau Vi sudah sangat kecewa dengan Sirta hingga menerima telefon pun ia enggan.
Ardini memilih diam, ia tidak mau mendebat lagi. Biar saja itu urusan Vi dengan Istri Pertamanya. Ardini hanya tidak mau ribut karena urusan yang bukan ranahnya. Mungkin ada alasan tersendiri Vi belum mau bicara dengan Sirta saat ini. Vi mulai berkutat dengan tablet yang sedang dipegangnya. Ia mengecek beberapa email yang masuk dari Alex. Banyak email masuk, dan banyak juga pekerjaan yang harus Vi selesaikan sekarang.
Kedua mata Ardini menelisik pahatan sempurna di wajah Vi yang begitu memikat. Tuhan benar-benar menciptakan makhluk di depan Ardini itu sangat sempurna. Alis yagg tebal, bulu mata yang nampak tajam saat menatap lawan, hidung yang mancung, bibir tipis, dan terdapat bulu halus yang menghiasi wajahnya, sehingga membuat rahang Vi tampak semakin tegas dan menantang. Hanya satu kata yang dapat Ardini ucapkan untuk Vi, ‘Sempurna.’
Kesempurnaan memang hanya milik Tuhan semesta alam, akan tetapi kalau Ardini boleh menyematkan kata sempurna untuk Vi, dialah orang pertama yang akan meneriakkan kata itu paling keras dan terdepan. Memiliki tubuh yang atletis dengan wajah yang rupawan, serta tinggi badan yang proporsional, tentu membuat siapa pun wanita di luar sana tertarik dengan Vi. Apalagi Vi hidup dengan bergelimang harta, mau sampai tujuh turunan, tujuh tanjakan, dan tujuh tikungan juga keturunan Vi tidak akan kekurangan apa pun.
“Mbak Sirta bodoh! Iya jelas sangat bodoh sekali. Punya suami seperti ini kok malah gak mau dapat keturunan dari suaminya. Sudah sempurna segalanya, malah begitu? Harta tidak pernah habis, tampan, kurang apa sih? Pasti kalau punya anak, anak-anaknya akan sempurna, apalagi Mbak Sirta juga cantik? Dan, anaknya tidak akan kekurangan apa pun, karena papanya kaya raya? Apa sih yang membuat Mbak Sirta gak mau hamil? Apalagi dia sehat, suaminya sehat, tidak ada yang mandul? Bukankah memiliki momongan itu prioritas utama saat sudah menikah?” batin Ardini yang terus memikirkan ada apa dengan Sirta sebenarnya.
Ardini menggelengkan kepalanya pelan. Itu bukan urusan dia untuk mengetahui apa alasan Sirta tidak mau hamil. Ardini juga tidak mau memikirkan apa yang belum terjadi nanti. Yang lalu adalah sebuah pelajaran bagi Ardini, yang sekarang adalah hidup yang harus ia jalani, dan yang akan datang, biar saja itu menjadi rahasia Tuhan, karena masa depan siapa yang tahu? Ardini kembali menetralkan pikirannya, ia tidak mau berpikir yang terlalu berat, karena nantinya akan berimbas pada kandungannya.
Ponsel Vi masih terus menyala, entah sudah berapa kali panggilan di ponsel milik Vi, hingga Ardini gemas melihatnya, karena Vi cuek, tidak mau menerima panggilan dari Sirta.
“Mas, kali ini aku mohon sekali sama kamu, angkat dulu telefon dari Mbak Sirta, ya? Nanti bisa dilanjutkan lagi kerjanya. Please .... angkat, ya?” bujuk Ardini dengan penuh kelembutan.
Vi tersenyum pada Ardini, mana bisa dia menolak jika Ardini sudah berkata begitu lembut pada dirinya. Vi mengambil ponselnya, lalu menerima panggilan dari Sirta.
“Hallo!” sapa Vi.
“Kamu ini di mana sih, Mas!” tanya Sirta dengan nada penuh amarah di seberang sana.
Vi menatap Ardini, Ardini pun membalas tatapan Vi dengan penuh kelembutan, mengisyaratkan supaya Vi melanjutkan obrolannya dengan Sirta.
“Aku di luar kota, aku sedang di Bandung mengurus pekerjaan, Ta. Maaf ya, aku dadakan benar-benar di luar dugaanku. Makanya aku menyuruh Alex mengurus kantor dulu selama seminggu, karena di kantor pun masih banyak pekerjaan. Jadi aku sendiri mengurus semuanya,” jelas Vi dengan lembut.
“Harusnya kamu kasih kabar aku, Mas! Jangan bikin aku khawatir gini, dari semalam aku telfonin kamu, gak kamu angkat sama sekali!”
“Semalam aku meeting sampai malam, aku capek, pulang langsung istirahat. Masalahnya benar-benar rumit, Ta. Ini saja aku sudah ada di kantor lagi, mungkin besok atau lusa aku pulang. Aku minta maaf banget ya, Ta? Sudah buat kamu khawatir?” ucap Vi berbohong.
Beruntung Sirta langsung merendah ucapannya saat Vi menjelaskan dengan lembut. Bagaimana Vi tidak bicara dengan lembut, ada Ardini si sebelahnya yang terus menurunkan emosinya saat bicara dengan Sirta. Dengan penuh kelembutan, Ardini menggenggam tangan Vi, dan mengusap bahunya, supaya Vi tidak bicara kasar pada Sirta.
“Oke, aku maklumi, kamu memang seperti itu, kalau sedang ada pekerjaan, mana mau diganggu,” ucap Sirta.
“Itu kamu tahu? Kamu sudah di rumah? Pulang kapan?” tanya Vi.
“Semalam baru pulang, makanya aku keget kamu gak di rumah. Aku telefon kamu gak ada jawaban, kantor gak ada jawaban, Alex dijawab, katanya kamu ke luar kota?”
“Ya memang begitu? Kenapa gak tanya Daddy atau Mommy? Biasanya kamu juga telefon ke sana kemari kalau aku gak di rumah sampai malam?”
“Ya kali telefon mereka? Yang ada aku yang kena omelan Mommy kamu, nanti dibilang aku gak bisa urus kamu lagi! Apalagi pasti ada Oma di sana, sudah jelas masalahnya panjang!”
“Kamu sih menentang mereka! Coba kalau kamu nurut, kamu kasih cucu untuk mama, dan cicit untuk oma? Pasti mereka gak gitu?”
“Mas ... jangan bicara diluar topik pembicaraan, ya? Aku hanya memastikan kamu di mana, bukan bahas soal anak, cucu, atau cicit! Mas sudah tahu, kan? Jadi jangan paksa aku!”
“Berarti aku bisa merealisasikan perintah Oma, yang menyuruh aku harus menikah lagi untuk dapat keturunan, dong?” ucap Vi.
“No! Aku tidak akan mengizinkan!” tolak Sirta keras.
Ardini yang ada di sebelah Vi bisa mendengarkan percakapan mereka dengan jelas. Sekarang Sirta tahu kenapa Vi sampai berani menikahinya, karena sudah ada lampu hijau dari keluarganya untuk menikah lagi.
“Makanya kamu mau hamil, ya?”
“Enggak, Vi! Enggak!” tolak Sirta.
“Sudah terserah kamu, Ta! Aku masih sibuk, aku mau lanjut pekerjaan, sampai jumpa lusa,” ucap Vi.
“Ya sudah, tapi aku minta transfer dong, Mas? Kamu pulang lusa aku kesepian, jadi aku mau jalan lagi sama teman,” ucap Sirta.
“Kemarin masih kurang? Sudah habis?”
“Ya kamu tahu sendiri aku ke luar negeri, aku sudah buat belanja dong uangnya, sama perawatan di sana, makan-makan, sudah habis pokoknya.”
“Ya nanti aku transfer. Ya sudah, Ta. Aku lanjut kerja.”
Ardini menggelengkan kepalanya pelan. Benar yang dikatakan Vi, Sirta telefon untuk minta uang saja. Ternyata begitulah, Vi bicara lembut menjelaskan semua, Sirta tidak marah-marah, dan pada akhirnya Sirta meminta uang, karena ia senang Vi tidak di rumah, jadi bisa pergi-pergi lagi dengan teman-temannya.
“Tuh apa aku bilang? Dia minta uang saja, kan?” ucap Vi setelah mematikan telefon dengan Sirta. “Bahkan dia terkesan senang aku tidak di rumah, dan akan pulang lusa?” imbuh Vi.
“Ya kan memang Mbak Sirta begitu?”
“Itu alasan aku kenapa aku jatuh cinta dengamu, Adin. Kenapa aku tega membagi cinta Sirta untukmu. Karena kamu benar-benar membuatku nyaman, membuatku dihargai sebagai suami, kamu wanita sempurna, Adin. Apa salah jika aku sangat mencintaimu?” ungkap Vi.
Ardini tersenyum, menatap lembut Vi yang sedang mengungkapkan perasaannya dengan begitu tulus.
“Tidak ada yang salah mencintai orang, Mas. Aku juga mencintaimu,” ucap Ardini.
“Biarkan begini, kita pikirkan yang sekarang, entah bagaimana yang akan datang, kita tidak akan pernah tahu. Terima kasih kamu sudah mencintaiku, Adin.” Vi membawa Ardini ke dalam pelukannya, lalu mengecup wajah Ardini dengan penuh kasih sayang.