"Usir dia dari rumahku! Aku tidak ingin melihatnya ada di sini!"
"Tidak, jangan usir aku, aku mohon!"
Agatha menangis saat tangannya ditarik keras oleh dua orang bodyguard yang bekerja pada Louis Fernando, seorang pengusaha kaya yang berpengaruh di kotanya.
Agatha difitnah oleh mertuanya telah berselingkuh dengan pria lain yang tak lain teman dari Louis sendiri.
Setelah keluar dari kediaman suaminya, Agatha hidup terlunta-lunta di luar dengan keadaannya yang tengah berbadan dua. Hidupnya sangat miris tanpa ada keluarga yang mempedulikannya, pada dasarnya Agatha memang dibesarkan di panti asuhan, dia tidak pernah mengetahui siapa orang tua kandungnya.
Lima tahun kemudian, Agatha kembali dengan keadaan yang berbeda, dia memiliki dua anak kembar yang sangat pintar dan sangat menyayanginya.
Mungkinkah Agatha akan menyembunyikan identitas si kembar dari suaminya?
Atau mungkin dia akan kembali setelah si kembar mengetahui bahwa Louis adalah Ayah kandungnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Kau Tak Pernah Berubah
"Kamu ingin tahu tujuanku mendekati mereka?"
Tatapan Louis dengan mata elangnya begitu menyeramkan.
Terkadang pria itu menunjukkan perhatiannya, terkadang pula berubah menjengkelkan.
Meskipun demikian, Agatha tak takut padanya. Dia sudah banyak mengalah, tapi kali ini siapapun akan dilawannya.
"Perlu kamu ketahui saja, aku mendekati mereka karena aku ingin tahu siapa ayah kandung mereka. Mereka bilang padaku, sejak dilahirkan sudah tidak pernah mengetahui siapa Ayahnya, bahkan selembar foto pun tak mereka miliki. Egois kamu Agatha. Kalau memang mereka masih punya Ayah, kenalkan mereka pada Ayah kandungnya, kalau memang sudah mati, di mana jasadnya dikubur."
Agatha membuang napas yang membuat hatinya mencuat panas.
Agatha terbakar oleh ocehan Louis yang dianggapnya bodoh tak berperasaan.
"Sudah puas ngomongnya Tuan Louis yang terhormat? Sekarang giliran aku yang bicara. Jangan pernah menyela di saat aku bicara."
Agatha memasang muka datar karena sudah terlalu jengkel dengan sikap plin-plan suaminya.
Sudah tak bertanggung jawab masih juga suka menyudutkannya, dia pikir tindakannya sudah benar dan ia tak berani melawannya.
"Anda tanya mengenai Ayah kandung si kembar, dan selama ini aku memang tidak pernah memberitahu siapa Ayah kandung mereka, anda tau alasannya kenapa? Ayahnya sangat egois, tidak mau mengakui mereka sebagai anaknya. Sejak mereka masih didalam perutku, tak sedikitpun ada perhatian dari Ayahnya. Seandainya saja Ayahnya mati, akan kupastikan dia bakalan kupendam di depan pintu biar mereka tahu, Ayahnya sudah mati. Puas anda Tuan?!"
Diam-diam si kembar mengintip dibalik tirai, mendengarkan pertengkaran mereka.
Selama tidak ada yang saling memukul, mereka tak akan keluar, mereka akan menguping sampai pertengkaran itu selesai.
"Maksud kamu aku?"
Tak menjawab, Agatha langsung meninggalkannya menuju tempat makan yang sempat ditinggalkannya dan juga si kembar.
Louis mengikuti Agatha. Dia melihat Agatha mengemasi piring yang hendak digunakan untuk sarapan bersama anaknya. Karena anaknya menolak untuk diajak sarapan, ia putuskan untuk segera berkemas untuk mengantarkan mereka sekolah, setelah itu ia akan berangkat kerja dan mengabaikan keberadaan Louis.
"Agatha tolong jawab aku. Apakah si kembar anakku? Tapi kan dokter bilang aku nggak subur, bagaimana mungkin aku bisa punya anak."
Agatha kesal, selalu saja begitu alasan Louis yang tak meyakini mereka sebagai keturunannya.
Padahal selama ia mengenal Louis dan menikah dengannya, ia menutup mata terhadap pria lain, tapi karena mulut berbisa mertuanya selalu menjadi racun dan penghancur keretakan rumah tangganya.
"Kalau kamu lebih percaya sama orang tuamu dan juga dokter silahkan. Aku memang orang yang nggak patut untuk dipercaya, aku sudah banyak membohongi kamu dan buat kamu kecewa. Pergilah, sekarang kau sudah mendapatkan jawabannya, nggak ada lagi yang disembunyikan darimu, terserah kau mau percaya ataupun tidak. Di sini kita hanya sebagai patner kerja, nggak ada hal lain yang perlu dibahas."
Agatha sudah jenggah dan mengusir Louis dari kontraknya. Dia tak ingin tetangga beranggapan buruk mengetahui keberadaan Louis di kontrakannya.
Percuma menjelaskan panjang lebar jika masih juga tidak dipercaya, toh selama ini ia sudah bisa bangkit bersama si kembar, tak harus bergantung hidup padanya.
"Kenapa kau mengusirku, aku kan suamimu. Lagian aku datang ke sini bawa makanan. Aku ingin makan bersama si kembar."
Louis mengambil paperbag yang diletakkan di atas meja. Dia membawanya dan memberikannya kepada Agatha.
"Panggil mereka, kita sarapan bersama."
Agatha tak bisa menolak ajakan Louis untuk menikmati sarapan bersama, karena anaknya mogok makan saat mendapati lauknya gosong tak bisa dinikmati dengan baik.
"Kenzo, Kenzie, kemarilah."
Sekali panggilan, kedua bocah kembar itu muncul menemuinya.
Agatha yang hendak mengemasi makanan di lantai beralaskan tikar, diurungkannya. Di situ Louis juga melihat lauk yang diolah oleh Agatha, nampak begitu kecoklatan.
"Ada apa mom? Jangan bilang mommy merayu kami buat makan, kami nggak mau," tolak si kembar.
Si kembar tidak tau Louis datang dengan membawakan makanan buat mereka.
Si kembar lebih memilih untuk menahan lapar daripada diminta untuk makan makanan yang rasanya bikin lidah tak nyaman.
"Ini bukan makanan yang tadi. Ini Om bawain kalian makanan, kita sarapan dulu, setelah itu mommy anterin kalian ke sekolah."
Mereka mendekat dan bergabung bersama Agatha dan juga Louis.
Tatapan Louis tak beralih sedikitpun pada kedua bocah yang memiliki wajah mirip dan sangat sulit untuk dikenali mana yang Kenzo dan mana juga yang Kenzie.
"Kalian berdua, untuk mengenali nama kalian Om harus bagaimana? Mana yang Kenzie dan mana yang Kenzo."
Tak ingin salah dalam memanggil, Louis terang-terangan meminta si kembar untuk menjelaskan satu persatu namanya.
Agatha memutar bola matanya, adakah seorang Bapak yang tidak bisa mengenali anaknya, kecuali orang bodoh seperti Luis.
"Jadi Om tidak pernah tahu kalau namaku Kenzo dan aku Kenzie," bantah mereka berdua.
"Bukannya Om tidak tahu, tapi om tidak mau salah dalam memanggil. Kalian memiliki wajah yang sangat mirip, bagaimana Om bisa membedakannya? Rambut kalian, wajah kalian, mata kalian semuanya sama seperti ~~~
Louis mengatupkan bibirnya, tersadar bahwa mereka memiliki kesamaan dengan dirinya. Memiliki rambut yang kecoklatan dan juga netra mata yang biru sangat berbeda dengan Agatha. Mereka berdua tidak memiliki kesamaan dengan Agatha.
"Seperti apa om? Jangan bilang kalau kami ini mirip dengan kera. Kami terlahir dari titisan dewa, jadi jangan salah mengartikan."
Agatha tersedak air liurnya sendiri. Ia menahan tawa mendengarkan celotehan kedua anak kembarnya.
'Titisan dewa mereka bilang? Dewa apaan? Titisan orang gila memang iya. Sejauh ini bahkan dia masih tak juga sadar bahwa si kembar anak kandungnya. Heran deh, apa semua pria seperti itu? Hanya karena dianggap tak subur, lalu ia berpikir pasangannya melakukan perselingkuhan dan tak menghormatinya sebagai pasangan? Huh, entah dengan cara apa lagi aku bisa menjelaskannya.'
"Bukan, bukan seperti itu maksudnya? Bagaimana mungkin anak setampan kalian turunkan orang gila," sahut Louis. "Mendingan kita sarapan dulu, setelah selesai sarapan, om akan antarkan kalian ke sekolah. Gimana menurut kalian? Apa kalian setuju?"
Dengan cepat si kembar mengangguk. Menunggu hingga kapan lagi bisa dipertemukan dengan Ayahnya dan diantarkan sekolah.
Louis sengaja mendekatkan dirinya pada si kembar sembari mencari tahu kebenarannya.
"Ayo, kalian sarapan yang banyak, biar nanti nggak lapar di sekolah," nasehat Louis dengan menyodorkan nasi kotak pada kedua bocah kembar itu.
Dia sengaja membeli empat nasi kotak lengkap dengan lauknya, dan ingin menyantapnya dengan si kembar.
"Nah, kalau ini baru namanya makanan enak, nggak kayak telur mata sapi buatan mommy, udah gosong, pahit lagi."
Louis menatap piring yang berisi lauk yang masih utuh tak tersentuh. Dia ikut tertawa mendengar celotehan kedua bocah kembar itu.
"Jadi kalian tadi dikasih makan gosong seperti ini? Mommy kalian benar-benar keterlaluan rupanya. Makanan macam gini mana enak dimakan."
Louis mengambil sepotong telur mata sapi yang terabaikan tak tersentuh di atas piring.
"Ternyata kau tidak pernah berubah. Tak sekalipun bisa menyenangkan hati orang."