Menikah dengan seseorang yang di cintai adalah impian semua orang, sama seperti Meta yang akhirnya bisa bersanding dengan lelaki yang ia cintai sejak kecil— Dipta.
Namun setelah menikah sikap Dipta yang dulu hangat, berubah semakin dingin dan tak terjangkau.
Meta tak tahu kenapa!
Namun akhirnya sebuah rahasia besar terungkap, membuat Meta bimbang, haruskah dia melepaskan orang yang ia cintai agar bahagia.
Atau membuktikan pada Dipta bahwa kebahagiaan lelaki itu ada padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pindah
Zaky menatap sendu putri sulungnya. Putri yang kehadirannya sangat ia idam-idamkan. Sejahat apa pun Risma, dia tak bisa membenci wanita itu.
Justru setiap malam Zaky terus merasa di hantui rasa bersalah karena telah gelap mata menghabisi istrinya.
Ya, Risma masihlah istrinya meski wanita itu telah mengkhianatinya.
Kini dia tahu bagaimana rasa sakitnya Liliana saat orang yang kita cintai berselingkuh.
Namun Liliana sangat keras dan tak mau memberinya kesempatan, hingga dia tak bisa mencintai Liliana dan Meta sepenuh hati.
"Maafkan Papih Lita. Sekarang lebih baik kamu ikut papih. Papih punya rumah yang lebih layak untukmu tinggali," pinta Zaky lembut.
Tanpa banyak bicara, Jelita dan Zaky mengemasi barang-barang milik Jelita.
Mereka tak berbicara satu sama lain. Di sisi lain Jelita masih syok dengan kebenaran yang baru di ketahuinya.
Samar-samar dia memang mengingat pernah bertemu sosok asing saat dirinya masih berusia sekitar delapan atau sembilan tahun.
Lelaki itu memberinya mainan. Jelita ingat bagaimana sang ibu menyambut mesra lelaki itu.
Jelita yang masih kecil pernah bertanya pada ibunya dan Risma menjawab jika lelaki itu temannya.
Bahkan pernah beberapa kali Jelita memergoki lelaki itu berada di rumahnya saat pagi buta.
Namun karena dirinya yang masih kecil, dia tak tahu apa pun tentang hubungan mereka.
Jelita mengikuti Zaky bukan karena memaafkan lelaki itu yang telah menghabisi ibunya.
Namun karena hanya Zaky-lah yang ia miliki saat ini. Dia sedikit bersyukur Zaky tak ikut membencinya meski sang ibu telah mengkhianatinya.
Di dalam mobil, mereka masih tak saling berbicara. Jelita tak tahu akan di bawa ke mana tapi ia sadar jalanan menuju ke pinggir kota.
Tak lama mereka tiba di sebuah rumah lama dengan halaman yang sangat luas.
Rumah tua tapi masih terawat, begitulah penilaian Jelita.
Bukan typenya, tapi ia tak bisa memilih saat ini. Bisa memiliki tempat tinggal juga syukur, pikirnya.
"Kamu akan tinggal di sini," ucap Zaky begitu mereka sampai.
"Sama papih kan?" tanya Jelita sendu. Dia tak mau sendiri di tengah kekacauan hidupnya saat ini.
Zaky tak menjawab dan keluar untuk menemui seseorang yang tengah berjalan menghampiri mereka.
"Bapak sudah sampai?" sapa seorang pemuda seumuran Dipta.
"Zaman, tolong jaga anak saya. Namanya Jelita," ujar Zaky memperkenalkan sosok pemuda itu pada putrinya.
Namun Jelita tak menanggapi sang ayah dan memilih membuang pandangannya.
Begitulah Jelita, dia selalu angkuh dan menganggap rendah orang lain.
Lelaki yang di panggil Zaman itu lantas menjatuhkan lagi tangannya karena tak mendapatkan sambutan dari Jelita.
Zaky yang tak enak hati hanya menepuk punggung pemuda itu.
Zaman tanpa banyak bicara membantu sopir menurunkan barang dari bagasi.
"Ini rumah peninggalan kakek buyutmu. Maaf papih ngga bisa memberikan rumah yang layak," lirihnya.
"Engga papa Pih, tapi Lita mohon papih tinggal di sini menemani Lita ya?" pinta Jelita penuh harap.
Zaky menatap dalam manik sang putri. Tentu permintaan Jelita akan sulit dia kabulkan, sebab dia yakin setelah ini masa tuanya akan berakhir di dalam penjara.
Andaikan Liliana mau sedikit saja bersabar pada Jelita dan Meta mau mengalah pada kakaknya, tentu harapan Zaky adalah kedua putrinya akan akur dan bisa tinggal bersama.
Sayangnya itu terlalu mustahil. Lebih dari mustahil, bagi author itu namanya tak tahu diri.
"Nak, papih harus bertanggung jawab atas perbuatan papih," ucap Zaky lirih.
Jelita menggeleng. "Enggak papih ngga boleh pergi. Aku ngga punya siapa-siapa lagi Pih. Cuma papih. Aku janji akan maafin papih, tapi tolong jangan pergi!" jawab Jelita sambil menangis histeris.
"Di samping papih pasti sudah di laporkan sama mamih, papih juga sudah lelah selalu menyimpan rahasia ini. Papih selalu di hantui rasa bersalah nak."
"Biarlah di sisa hidup papih ini, papih merasa tenang. Kamu adalah anak baik, papih yakin kamu pasti bisa bangkit, jangan sakit nak."
Setelah mengatakan itu Zaky lantas berbalik dan mengusap sudut matanya.
Sedih dan khawatir tentu saja, tapi dirinya tak punya pilihan.
Jelita ambruk, dia tak sanggup mengejar sang ayah. Kakinya lemas. Dia hanya bisa meraung seorang diri.
"Pak?" sapa Zaman yang menunggunya di teras.
"Saya titip putri saya Man. Hanya kamu yang saya percaya. Semua kekayaan yang saya miliki bisa kamu berikan padanya kalau saya sudah pergi, tolong jaga Jelita, selalu kabari saya ya Man."
Zaman hanya mengangguk, dia adalah anak dari orang kepercayaan Zaky dulunya. Setelah ayahnya meninggal, Zaky-lah yang membiayai hidup keluarganya.
Bahkan Zaky membiayai sekolah Zaman hingga pemuda itu bisa lulus kuliah. Tentu Zaman merasa jika Zaky adalah orang baik, terlepas dari apa yang telah di perbuat lelaki itu.
Kini, waktunya Zaman membalas budi pada lelaki yang telah banyak membantunya itu.
Zaky pergi tanpa mampu berbalik menatap sang putri yang masih histeris. Dirinya yakin Zaman akan mampu menjaga Jelita dengan baik.
Zaman lantas mendekati Jelita yang masih terisak. Dia memberikan segelas air untuk menenangkan gadis itu.
"Minumlah Nona, aku yakin Pak Zaky akan baik-baik saja," ucap Zaman mencoba menenangkan.
Jelita lantas menatap lelaki itu dan mengembalikan gelas padanya.
"Panggil aku Lita aja. Jangan terlalu formal, aku bukan majikan kamu," jawab Jelita pelan.
Zaman tersenyum karena Jelita sudah mau menjawab ucapannya.
"Baik Lita. Sekarang istirahatlah. Kalau butuh sesuatu, kamu bisa cari aku."
"Kamu tinggal di sini?"
Zaman mengangguk, "apa kamu keberatan? Rumah aku ngga jauh dari sini. Aku cuma takut kamu kesepian di rumah ini."
Jelita menggeleng, rumah kakek buyutnya yang tua memang agak menyeramkan baginya, tapi bukan itu yang Jelita khawatirkan, ia hanya takut berbuat nekat dan lepas kendali lalu menyakiti diri sendiri.
"Apa papih aku akan lama di penjara Man?"
Zaman hanya tersenyum tipis, dia merasa kasihan pada gadis itu.
"Kamu berdoa saja, sudah kamu ngga usah memikirkan pak Zaky, aku yakin beliau bisa menghadapinya dengan baik."
Tanpa bisa berbuat banyak, Jelita menuruti keinginan Zaman untuk beristirahat.
Salah satu kamar di desain indah untuknya. Meski rumah tua, tapi sang ayah melengkapinya dengan peralatan modern.
Kamar dengan nuansa biru laut membuat perasaan Jelita sedikit tenang. Papihnya memang sangat tahu kesukaannya.
Apalagi di atas nakas, terdapat foto dirinya bersama dengan kedua orang tuanya, membuat tangis Jelita kembali pecah.
Bukan tangis kesedihan, melainkan tangis bahagia karena papihnya selalu tahu akan dirinya.
Jelita memeluk erat figura foto keluarganya dengan erat. Dalam hati dia berandai-andai. Andai saja keluarganya lengkap, tentu dia akan merasa lebih bahagia.
Zaman yang melihat dari pintu hanya bisa mendesah. Dia memilih membiarkan Jelita menenangkan diri.
.
.
.
Lanjut
udahlah meta mending jg pergi ga usah sm si dipta lg laki2 plin plan gitu jgn di arepin
ini belum senjata pamungkas ya 😀
kasihan meta makan janjimu .