Kesalahan masa lalu membuat seorang Kaynara Flora terus di sakiti oleh suaminya sendiri. Wanita itu sama sekali tak di anggap oleh sang suami. Kehadiran anak tak mampu meluluhkan hati prianya.
Akankah Kaynara akan tetap bertahan dalam pernikahannya atau justru menyerah dan memilih mengakhiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayu andita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Keputusasaan Arkana
Pagi berikutnya
Dikediaman William
"Mami tidak mau tahu, kamu jangan lagi mendekati mantan istrimu itu,Arkana!" titah mami Arini.
"Aku tidak peduli mam, kalau sampai mami menyentuh atau menyakiti Flora, aku tak akan tinggal diam." balas Arkana.
Nyonya Arini tentu saja syok dengan perubahan sikap sang anak.Usai sarapan Arkana langsung meninggalkan kediaman orang tuanya.
Pria itu pagi ini ingin melihat mantan istrinya yang dia rindukan.Arkana tak sabar ingin bertemu dua perempuan kesayangan dirinya.
Brum mobil hitam itu membelah jalanan yang mulai padat kendaraan yang berlaku lalang.Arkana bersiul pelan, sambil fokus menyetir.
Beberapa menit berlalu dia sampai di rumah mantan istrinya.Pria itu segera turun dari mobil setelah itu menghampiri rumah Flora.
dia langsung mengetuk pintu dengan sabar sampai sang wanita ke luar.Tak lama pria itu mulai kesal, dari jauh Rumi yang melihat Arkana lekas menghampiri pria itu.
"Kamu lagi, kamu lagi.Pria seperti kamu memang tak punya malu ya."sindir Rumi dengan tatapan sinis.
"Dimana Flora, katakan?"desak Arkana.
"Mereka sudah pindah, untuk apa kamu mencari Flora.Untuk kamu sakiti seperti kemarin hah, pria bejad seperti kamu tak pantas rujuk dengan Flora!"
"Cepat katakan dimana dia sekarang?" desak Arkana sambil mencengkram tangan Rumi.Rumi berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Arkana.
Arkana menggebrak meja dengan keras, membuat para tetangga menoleh dengan terkejut dan langsung berkerumun.
“Jangan berbohong padaku, Rumi! Kau tahu di mana dia! Aku berhak tahu!”
Situasi semakin panas ketika suara langkah kaki mendekat, dan kali ini Ares datang. Dia langsung melihat Rumi yang tampak tertekan dan Arkana yang marah. Tanpa berpikir dua kali, Ares melangkah cepat ke arah mereka.
“Apa yang kau lakukan di sini, Arkana?” suara Ares terdengar dalam dan mengancam.
Arkana berdiri, menghadap Ares dengan tatapan menantang. “Ini bukan urusanmu, Ares. Ini antara aku dan Rumi.”
Ares tidak terima dengan jawaban itu. “Semua yang berhubungan dengan Rumi adalah urusanku sekarang. Pergi dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran.”
Arkana tertawa sinis, “Oh, jadi kau sekarang pelindungnya? Apa kau bahkan tahu apa yang terjadi?”
Tanpa peringatan, Ares mengayunkan tinjunya, menghantam wajah Arkana dengan keras. Arkana terhuyung ke belakang, memegangi pipinya yang mulai membengkak. Beberapa orang di kafe menjerit kecil, sementara yang lain segera menjauh, tidak ingin terlibat.
Rumi berteriak, “Ares, jangan!” Dia mencoba menghalangi suaminya yang terlihat sangat marah.
Arkana mengusap darah di sudut bibirnya, matanya menyala dengan amarah. “Kau akan menyesal, Ares,” katanya dengan suara bergetar.
Namun, Ares tidak mundur. “Jangan pernah mendekati istri saya lagi, Arkana. Flora telah membuat pilihannya. Hormati itu atau kita akan bertemu lagi, dan aku pastikan ini akan jauh lebih buruk untukmu.”
Arkana menatap Ares dengan kebencian, lalu berbalik dan keluar dari kafe tanpa berkata-kata lagi. Rumi menatap Ares dengan campuran rasa lega dan ketakutan.
“Dia tidak akan berhenti, Ares. Dia akan terus mencari Flora,” bisiknya, air mata menggenang di matanya.
Ares menarik Rumi ke dalam pelukannya, mengusap punggungnya dengan lembut. “Kita akan melindungi Flora, Rumi. Apa pun yang terjadi, aku ada di sini untukmu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu atau dia lagi.”
"Lagipula Jonathan pasti tak akan tinggal diam."
Di luar, Arkana berjalan menjauh dengan tekad baru di matanya. Perjalanan mencari Flora belum berakhir, dan ia akan menemukan mantan istrinya bagaimanapun caranya.
Pria itu memilih pergi ke Kafe setelah menghubungi temannya.
Skip
Kafe Dahlia
Kini ketiganya duduk saling berhadapan satu sama lain.Jeremy menatap kearah temannya dengan tatapan heran.
"Kenapa, apa kau butuh bantuan Ar?" tanya Jeremy.
"Hm aku ingin mencari keberadaan Flora yang pindah, bisakah kamu membantuku?" tanya Arkana dengan raut datar.
"Flora,mantan istrimu itu.Untuk apa kamu mencarinya, jangan bilang kau ingin mengajaknya rujuk?"tebak Fredy.
" Kau dulu membuangnya demi Devina, sekarang kau malah mengejar mantan istrimu.Sepertinya kau sudah tak waras Arkana!"
Arkana menatap tajam kearah Fredy dengan tatapan penuh peringatan. Namun pria itu sama sekali tak takut dengan tatapan Arkana.Fredy justru tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya.
"Sorry, aku tak bisa bantu.Lagipula kau punya uang dan kekuasaan, gunakan saja itu.Bukankah selama ini kau selalu menyombongkan diri saat masih menjadi suami dari Flora?"
Jeremy menghentikan perdebatan keduanya.Dia langsung memanggil pelayan dan memesan minuman.Arkana langsung mengumpat kearah Fredy yang tak bisa dia handal 'kan.
Pada saat itu, seorang pelayan muda dengan seragam kafe berwarna krem datang mendekat, membawa nampan dengan tiga gelas minuman.
“Permisi,” katanya dengan suara lembut namun agak canggung, merasakan ketegangan di meja tersebut. Dia meletakkan gelas-gelas minuman satu per satu. “Ini latte untuk Tuan Arkana, cappuccino untuk Tuan Jeremy, dan espresso untuk Tuan Fredy.”
Pelayan itu berusaha tersenyum ramah, namun segera menyadari bahwa tidak ada yang memperhatikan senyumannya. Dia cepat-cepat mengangguk dan pergi, membiarkan tiga pria itu kembali ke dunia mereka yang penuh konflik.
Arkana meraih gelas lattenya dengan tangan yang sedikit gemetar, mencoba mengumpulkan pikirannya. “Fredy, tolong. Hanya sekali ini saja. Aku tidak tahu harus mencari ke mana lagi.”
Fredy menatap Arkana, mengaduk espresso-nya dengan sendok kecil sebelum menjawab. “Aku sudah katakan, Arkana. Flora telah membuat keputusan untuk pindah. Kau harus menghormati keputusannya.”
Jeremy, yang duduk di tengah-tengah antara mereka, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Mungkin kita bisa mencari cara lain untuk membantu Arkana tanpa harus mengganggu Flora. Apa ada alternatif lain?”
Arkana meletakkan gelasnya dengan keras di atas meja, membuat minuman sedikit tumpah. “Tidak ada alternatif lain, Jeremy. Aku butuh tahu di mana dia. Ini tentang anakku juga.”
Fredy menatapnya dengan pandangan prihatin namun tetap teguh. “Aku mengerti perasaanmu, Arkana. Tapi aku tidak bisa membantu. Ini bukan hanya tentang kamu atau anakmu. Flora butuh kedamaian, dan kita harus memberikannya.”
Keheningan kembali melanda meja itu, hanya terdengar suara lembut pengunjung lain yang berbicara pelan dan musik jazz lembut yang diputar dari speaker kafe. Jeremy menggenggam cangkir cappuccino-nya, merasakan betapa sulitnya situasi ini bagi semua orang yang terlibat.
“Bagaimana kalau kita berbicara dengan tetangga atau temannya?” Jeremy akhirnya bersuara. “Mungkin kita bisa menemukan solusi yang lebih baik tanpa harus mengganggu Flora langsung.”
Arkana menggelengkan kepala dengan frustrasi. “Aku sudah mencoba itu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”
Pelayan tadi kembali melintas, melirik ke meja mereka dengan rasa ingin tahu yang terpendam, namun segera beralih fokus pada pelanggan lain. Dia bisa merasakan bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi di meja itu, namun tahu bahwa ini bukan urusannya.
Akhirnya, Fredy menghela napas panjang, menyesap espresso-nya sebelum berkata, “Arkana, aku hanya ingin yang terbaik untuk semua orang. Mungkin ini sulit diterima sekarang, tapi berikan waktu. Flora butuh ruang untuk hidup tenang.”
Arkana memejamkan mata sejenak, berusaha menahan emosinya. “Baiklah, Fredy. Tapi ingatlah, jika kau berubah pikiran, aku akan sangat menghargainya.”
Fredy hanya diam saja dan Jeremy meletakkan tangannya di bahu Arkana, memberikan dukungan diam-diam. Mereka bertiga duduk dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Di luar, matahari mulai menyinari lebih terang, seolah-olah dunia di luar kafe tidak terpengaruh oleh drama di dalamnya.