Zayn mengalami kecelakaan di kota lain tempatnya menghabiskan masa-masa SMA-nya. Kecelakaan itu membuat Zayn mengalami amnesia. Sejak kecelakaan itu, Zayn merasa ada yang kosong dalam hatinya, seperti ada yang hilang dari dirinya. Zayn yang dulunya pribadi yang ceria, ramah dan hangat menjadi pribadi yang dingin dan datar. Zayn bahkan tidak tertarik dengan wanita manapun.
Zayn tidak ingat bahwa dirinya sudah menikah dengan wanita yang sangat dicintainya. Pernikahan yang tidak diketahui keluarga besarnya.
Zayn menikah dengan seorang wanita yang mengaku sudah menyelamatkan nyawanya. Tapi Zayn tidak pernah bisa mencintainya, bahkan tidak pernah menyentuhnya. Hingga suatu hari, Zayn jatuh hati pada seorang wanita yang baru sekali ditemuinya, bahkan melakukan one night stand dengan wanita itu dalam keadaan setengah mabuk.
Siapakah wanita itu? Bagaimana kisah cinta Zayn selanjutnya?
Yuk, ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Batas
Bramasta baru saja pulang. Dyah nampak membawakan secangkir teh untuk Bramasta yang masih membersihkan diri, lalu menyiapkan pakaian ganti untuk Bramasta. Suara dering panggilan masuk di handphone Bramasta mengalihkan atensi Dyah. Wanita itupun melihat siapa yang sedang menghubungi suaminya.
"E.. Endang?" gumam Dyah dengan ekspresi wajah yang sulit di deskripsikan. Sedih, marah, benci, kesal dan entah apalagi yang ada di dalam hati Dyah saat melihat kontak bernama Endang itu menelpon.
Dyah melirik ke arah kamar mandi, lalu menerima panggilan masuk itu. Dyah menempelkan benda pipih itu di telinganya dengan tanpa mengucapkan satu patah kata pun.
"Halo, Bram! Maaf baru menghubungimu. Aku baru saja pulang dari bantu-bantu di rumah tetangga yang akan hajatan. Terima kasih atas sembako yang kamu kirimkan. Aku jadi merepotkan kamu. Aku pasti akan membalas kebaikan mu. Doakan saja warung sembako yang kamu modali ini lancar, agar bisa bertambah besar. Eh, sudah dulu, ya! Sudah ada yang mulai beli, nih,"
"Tut..Tut..Tut ...,"
Panggilan telepon di akhiri secara sepihak oleh wanita yang bernama Endang itu. Dyah terdiam tanpa ekspresi, terduduk di tepi ranjang dengan masih memegang handphone milik suaminya.
"Hari ini Keira akan makan malam bersama kita, ma?" tanya Bramasta yang baru saja keluar dari kamar mandi seraya menggosok rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil.
"Jadi...tujuan papa pindah lagi ke pulau ini memang benar-benar karena ingin dekat dengan selingkuhan papa itu?" tanya Dyah dengan suara datar tanpa menjawab pertanyaan dari suaminya ataupun menatap pria itu.
"CK. Jangan mulai lagi, deh, ma! Kenapa mama selalu saja mengungkit soal ini? Sudah papa bilang, papa dan Endang sekarang ini hanya berteman biasa," decak Bramasta seraya memakai pakaian yang tadi di siapkan Dyah. Pria paruh baya itu terlihat tidak senang saat istrinya membahas soal Endang, mantan pacarnya.
"Teman biasa? Mana ada mantan yang berteman? Saat menyebut namanya saja papa terdengar sangat menghargainya. Bahkan papa masih berhubungan dengan dia walaupun sudah beda kota," sinis Dyah menggenggam erat handphone suaminya seolah ingin meremas handphone itu hingga hancur.
"Mama mengecek handphone papa? Mama sama sekali tidak menghargai privasi papa. Mama terlalu cemburuan, terlalu curigaan. Cinta mama itu berlebihan, cemburu mama tak beralasan. Dan semua itu bikin papa merasa nggak nyaman," tukas Bramasta yang terpancing emosi melihat handphonenya di pegang oleh Dyah.
"Ohh..begitu? Jadi, selama ini mama terlalu berlebihan dan membuat papa merasa nggak nyaman? Cemburu mama tidak beralasan? Istri yang mana yang tidak akan cemburu jika suaminya begitu memperhatikan mantan pacarnya? Papa memberikan dia sembako untuk membuat warung. Apa seperti itu hubungan yang papa sebut biasa? Papa merasa lebih nyaman saat bersama selingkuhan papa itu dari pada sama mama?" tanya Dyah menatap Bramasta dengan perasaan yang campur aduk antara benci, cinta, kesal dan juga marah.
"Cukup, ma! Papa tidak ingin berdebat lagi dengan mama soal ini. Papa ini capek dari pulang kerja, tapi mama malah ngajak ribut," tukas Bramasta terlihat menahan emosinya.
"Mama tidak akan seperti ini, jika papa tidak mencari gara-gara," sergah Dyah emosi.
"Jangan meninggikan suara mama pada papa! Mama selalu saja seperti ini. Tidak bisakah mama berhenti mencari alasan untuk ribut dengan papa?" tukas Bramasta ikut meninggikan intonasi bicaranya.
"Ambil semua barang yang telah papa berikan padanya. Aku tidak rela uangku di gunakan untuk membiayai dan menyenangkan selingkuhan papa. Papa jangan lupa, semua uang itu berasal dari keluarga mama," ucap Dyah penuh penekanan.
"Uang dan usaha yang kita punya memang milik mendiang orang tua mama. Tapi bukan berarti mama bisa menginjak-injak harga diri papa. Karena uang itu pasti sudah lama habis, jika papa tidak mengelolanya," sahut Bramasta semakin emosi.
Ya, memang semua kekayaan yang mereka miliki saat ini adalah warisan dari mendiang kedua orang tua Dyah. Tapi Bramasta merasa tersinggung saat Dyah mengingatkannya tentang hal ini.
"Mama menginjak-injak harga diri papa? Apa papa tidak salah bicara? Papa lah yang telah menginjak-injak harga diri mama dengan menduakan mama. Selama ini mama selalu bersabar dan memaafkan papa. Tapi mama ini juga manusia biasa. Sabar mama ada batasnya. Mama punya hati dan punya perasaan. Hati mama bukan terbuat dari batu karang yang tetap kokoh walaupun tak pernah henti di terjang ombak. Jika papa memang tidak bisa melupakan dia, untuk apa papa bertahan dengan mama? Agar bisa menyakiti hati mama? Apa salah mama sama papa? Apa? Jika papa memang tidak pernah merasa nyaman dengan mama, lebih baik kita berpisah saja. Mama sudah tidak sanggup lagi untuk bersabar. Mama sudah tidak bisa lagi memaafkan," ucap Dyah menitikkan air mata. Sedangan Bramasta nampak membuang napas kasar.
Selama ini dirinya selalu memaafkan suaminya yang berbuat serong di belakangnya. Berharap suaminya akan berubah dan menetapkan hati hanya untuk dirinya. Berharap kesabaran, perhatian, ketulusan, cinta dan kasih sayang yang diberikannya akan menyadarkan Bramasta, bahwa dirinya lah yang akan selalu setia mendampingi Bramasta. Tidak ingin menghabiskan masa tua dalam sendirian dan kesepian tanpa pasangan. Namun, sabar pun ada batasnya, bukan? Perjuangan pun ada masanya akan dihentikan.
Dyah hendak meletakkan handphone Bramasta, namun amarah Dyah kembali naik saat melihat ada panggilan masuk yang lagi-lagi dari perempuan yang bernama Endang. Dyah mengatur mode loud speaker, lalu menerima panggilan itu.
"Maaf Bram, tadi..."
"Dasar wanita murahan! Pelakor! Wanita sampah! Ular berbisa! Tidak tahu diri! Tidak tahu malu!" sergah Dyah memotong kata-kata orang yang bicara melalui sambungan telepon itu membuat Bramasta membulatkan matanya.
"Cukup, ma!" bentak Bramasta berusaha merebut handphonenya dari Dyah.
"Prang"
Dyah melempar handphone suaminya itu ke tembok dengan sekuat tenaga hingga handphone itu pecah dan berhamburan.
"Mama sungguh keterlaluan!" bentak Bramasta bersusah payah menahan emosi.
"Ya, aku memang keterlaluan. Aku bukan istri yang baik yang bisa membuat kamu merasa nyaman. Mulai besok, aku akan mengajukan gugatan cerai agar kamu bisa hidup bahagia bersama selingkuhan kamu itu. Aku tidak akan lagi menjadi penghalang kebahagiaan kalian," ucap Dyah menatap tajam pada Bramasta dengan air mata yang berderai.
Bramasta mengusap wajahnya dengan kasar berusaha menahan emosi mendengar perkataan istrinya itu. Sungguh Bramasta tidak pernah berniat untuk bercerai dengan Dyah. Tapi juga tidak bisa menjauh dari mantan pacarnya. Walaupun Bramasta tahu hal itu menyakiti Dyah. Sungguh egois bukan?
Sedangkan Dyah mengambil tas dan handphonenya, lalu melangkah menuju pintu. Namun saat kakinya sudah berada di luar pintu, wanita itu menghentikan langkah kakinya.
"Kamu boleh senang sekarang. Tapi ingat! Aku akan mengambil kembali semua harta warisan kedua orang tuaku tanpa terkecuali, tidak kurang sepeser pun," ucap Dyah tanpa menatap Bramasta, lalu menutup pintu kamar itu. Dyah tidak lagi menggunakan kata mama dan papa, tapi menggunakan kata aku dan kamu.
Bramasta yang mendengar perkataan terakhir istrinya itupun membulatkan matanya. Tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut istrinya. Jika Dyah mengambil semua warisan orang tuanya, maka Bramasta tidak akan memiliki apapun. Dirinya akan menjadi pria miskin.
"Ma! Tunggu!" ucap Bramasta langsung menyusul Dyah.
Bramasta berlari keluar rumah dan mengejar mobil yang di kendarai Dyah yang mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah.
"Ma! Berhenti, ma! Kita bisa membicarakan hal ini baik-baik. ma!" teriak Bramasta mencoba mengejar Dyah seraya mengetuk-ngetuk jendela kaca mobil Dyah. Namun Dyah malah melajukan mobilnya lebih cepat.
"Arghh! Sial! Sial!" pekik Bramasta mengusap wajahnya kasar, lalu mengacak-acak rambutnya sendiri.
...🌟...
...Aku lelah berjuang, hubungan ini terlalu menyakitkan....
...Aku lelah bersedih, lelah menangis, lelah tak dihargai. Aku memilih berhenti, pergi, dan tak ingin kembali lagi....
...Putus hubungan melahirkan kesepian, namun lebih baik daripada terus bertahan, tapi menyakitkan....
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued