Cinta Demi Tuhan

Renata tersenyum lebar menatap pantulan dirinya di cermin. Hari ini, lagi-lagi, dia akan berangkat ke kampus bersama Gilang. Sepertinya dewi keberuntungan tengah berpihak pada Renata.

[Besok ke kampus bareng aku lagi ya?]

Isi chat dari Gilang semalam, yang membuat Renata bahagia tak terkira. Berkali-kali dia mencubiti pipinya, memastikan dirinya tidak sedang bermimpi.

[Ada janji ketemu temen yang kuliah di Sebelas Maret]

Gilang menyertakan alasan mengajak Renata berangkat ke kampus lagi. Meskipun alasannya bukan semata untuk bertemu dengan Renata, Renata sudah cukup senang Gilang mengingatnya saat akan pergi ke kampusnya.

"Happy banget?" komentar There yang penasaran melihat kakaknya terlihat sumringah.

"Bagus dong. Pagi-pagi memang harus semangat," sahut Pak Theo. Renata hanya mengangguk mantap, lalu ikut duduk di kursi makan bersama keluarganya.

"Skripsi udah sampe mana?" tanya Pak Theo lalu menggigit roti bakarnya.

"Baru bab dua, Pa. Susah nyari referensi," keluh Renata.

"Sering-sering ke perpus," saran Bu Maria.

"Udah, Ma," jawab Renata singkat lalu melahap roti bakarnya.

"Ke perpus cari buku, bukan cari cowok," goda Theressa. Mata Renata membulat, memberi isyarat pada adiknya untuk diam. Pak Theo tertawa kecil.

"Yo nggak apa-apa. Sambil menyelam minum air. Ya to, Ren? Lagian Rena juga udah dewasa, udah mau lulus kuliah. Kalo mau pacaran ya biarin aja," kata Pak Theo.

"Kalo There, Pa?" tanya Theressa.

"Kamu? Kalo kamu masih kecil. Baru juga mau kuliah. Nunggu lulus kuliah aja kayak kakak mu," kata Pak Theo yang langsung mendapat sambutan cemberut dari Theressa.

"Emang There udah punya pacar, kok merengut gitu?" tanya Bu Maria.

"Eh? Belum sih, Ma. Calon, ada," kata Theressa percaya diri.

"Dih, calon. Emang ada cowok yang mau deketin kamu?" tanya Renata tak percaya.

"Ehem... Ada dong. Emang kakak aja yang bisa di pdkt in cowok?" kata Theressa kesal. Mata Renata lagi-lagi membulat, namun Theressa acuh, tak mau lagi peduli soal kakaknya.

"Eh? Siapa yang pdkt sama Rena?" tanya Pak Theo penasaran. Theressa hanya mengangkat bahu, cuek.

"There tuh, Pa. Suka becanda," kata Renata mencoba membuat papanya tak lagi memikirkan hal itu.

"Kalo bener juga nggak apa-apa. Asal anaknya baik, anak baik-baik, kenapa nggak?" kata Pak Theo. Renata hanya meringis saja mendengar kata-kata Pak Theo, lalu melirik ke arah Bu Maria yang juga tersenyum padanya.

'Anaknya sih baik. Anak baik-baik. Cuma masalahnya...'

***

Seperti biasa, Gilang sudah menanti di dekat halte bus tempat biasa dia menunggu Renata. Gilang menunggu Renata sambil asyik men-scroll akun sosial medianya.

Jempolnya berhenti. Sebuah postingan menyita perhatiannya. Foto buku catatan pink yang sangat dikenalnya, dengan caption yang cukup membuat Gilang takjub.

Di dalamnya, mungkin hal sepele bagi beberapa orang. Tapi, bagi orang-orang yang memahami perjuangan ku, buku ini seperti nyawa.

Gilang tersenyum membaca caption postingan itu. Jempol Gilang seketika mendarat pada tanda 'suka' di postingan itu. Suara ketukan di kaca jendela mobil menyadarkan Gilang, bahwa orang yang dia nanti telah datang.

"Maaf. Udah lama ya?" tanya Renata sambil memasang sabuk pengaman.

"Yaaa... Kek biasanya lah..." jawab Gilang sambil tersenyum.

"Seneng banget?" tanya Renata penasaran campur ke-ge-er-an.

"Keliatan?"

Renata hanya tersenyum.

"Eh, ngomong-ngomong, temen kamu jurusan apa?" tanya Renata.

"Anak Sasing,"

"Serius? Fakultasnya sebelahan sama aku tuh," kata Renata semangat.

"Iya? Berarti parkir di fakultas kamu aja kalo gitu," kata Gilang.

"Iya nggak apa-apa. Ntar aku anterin ke Fakultas Ilmu Budaya," kata Renata.

"Kirain jauh,"

"Dulu kan satu fakultas,"

"Apa?"

"Sastra sama seni. Dulu satu fakultas katanya,"

"Lhoh iya?"

"He'em, makanya bangunannya sebelahan,"

"Ooo gitu..."

"Temen SMA?" tanya Renata.

"Iya. Udah lama nggak ketemu. Kemarin nemu akun sosmednya, terus janjian ketemuan,"

"Cewek?"

"Kok tau?"

'Hah?! Serius?!'

"Eh? Nebak aja sih. Gebetan kamu pas SMA ya?" tanya Renata dengan nada menggoda, menutupi jantungnya yang mendadak bergemuruh.

"Ahahaha... Pernah digosipin pacaran, saking kita keliatan akrab dan deket. Padahal enggak," jawab Gilang sambil tertawa kecil.

"Kenapa nggak pacaran?" tanya Renata penasaran.

"Kenapa? Selain karena nggak boleh sama Ibuk, aku sama dia... Ehem... Beda," kata Gilang dengan nada yang terdengar tak nyaman.

Renata terdiam. Kata-kata Gilang menghujam tajam ke hatinya, membuat hatinya seketika terasa ngilu, perih, dan sesak jadi satu. Hening seketika menyelimuti Renata dan Gilang.

"Kita deket dulu, karena punya kesukaan yang sama. Saling berbagi info tentang itu, makanya kita deket," cerita Gilang memecah keheningan. Renata tersadar dari lamunannya.

"Kesukaan?" tanya Renata. Gilang mengangguk.

"Kita sama-sama suka baca novel. Dari novel terjemahan, Indonesia, bahkan kumpulan sajak juga," kata Gilang. Renata mengangkat kedua alisnya, tak percaya.

"Kamu? Baca novel?" tanya Renata memastikan. Gilang mengangguk sambil tersenyum.

"Sebenernya yang suka baca banyak sih, cuma kita sama-sama lebih suka genre misteri atau fantasi. Yaaa... Walaupun suka baca kumpulan sajak juga," kata Gilang. Renata hanya manggut-manggut.

"Kita sering jalan ke Gramedia, apalagi kalo pas lagi ada diskon," lanjut Gilang sambil tertawa kecil.

"Makanya banyak yang ngira kita pacaran," pungkas Gilang.

Renata kembali terdiam, memikirkan hubungannya dengan Gilang yang semakin akrab. Mungkinkah akan berakhir seperti Gilang dengan teman SMAnya? Hanya sebatas teman dekat?

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Gilang pada Renata yang tiba-tiba terdiam.

"Eh? Nggak apa-apa. Cuma mikir aja,"

"Mikir apa?"

"Kata orang, cowok dan cewek tuh nggak bisa cuma sahabatan aja. Pasti ujung-ujungnya salah satu atau bahkan keduanya saling jatuh cinta. Tapi, denger cerita kamu sama temen SMA kamu, kalian bisa buktiin bahwa persahabatan antara cowok dan cewek itu ada," kata Renata. Gilang hanya tersenyum.

Renata heran mengapa Gilang tidak memberi komentar tentang kata-katanya dan hanya tersenyum simpul. Kemudian sebuah pikiran melintas di otak Renata. Namun, Renata berusaha menyangkalnya.

Renata melirik ke arah Gilang yang fokus mengendarai mobilnya. Hari ini, Renata mengetahui satu fakta baru lagi tentang Gilang. Renata sudah semakin jauh masuk ke dalam dunia Gilang dan semakin sulit keluar dari sana.

Hening kembali menyelimuti Gilang dan Renata. Keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing. Gilang tak mampu memberi komentar lebih jauh soal apa yang dikatakan Renata barusan. Gilang mencoba tidak membicarakan tentang perasaan. Namun, ujung-ujungnya tetap mengarah kesana.

Mobil melaju seperti biasa. Namun, entah mengapa waktu berjalan begitu lamban saat itu dan Renata tidak terlalu menikmatinya seperti sebelumnya.

'Tuhan... Apakah ini jawaban dari doa-doa ku? Mengapa rasanya begitu menyakitkan? Masih bisakah aku terus mengharapkan keajaiban Mu?'

***

Author's note:

Sasing : Sastra Inggris