Cinta Demi Tuhan
Merdu alunan kidung gereja selalu sukses membawa Renata tenggelam dalam khusyuk doanya kepada Tuhan. Hari Minggu tak pernah Renata lewatkan untuk berkunjung ke tempat peribadatan paling damai menurutnya. Dari kecil hingga dewasa, Renata beserta keluarganya selalu rutin ke gereja untuk ibadah.
"Ma, Rena pulangnya jalan aja ya, mau mampir ke pasar. Jajan," kata Renata sambil nyengir, karena memang letak gereja tak jauh dari pasar.
"Kamu ini jajan terus! Mau beli apa sih? Ntar aja nggak bisa?" tanya mama Renata dengan nada sedikit jengkel.
"Keburu abangnya pindah tempat, Ma, kalo ntar ntar. Rena pengen beli penthol mercon yang kalo tiap hari Minggu abangnya selalu stay di deket lampu merah deket pasar," kata Renata merajuk.
"Ya udah, Rena ikut naik mobil aja, ntar papa turunin Rena deket lampu merah," kata papa Renata.
"Terus ditinggal?" tanya Renata memastikan.
"Kamu itu mau jajan atau mau ngapain?" tanya mama penuh curiga.
"Jajan mamaaa," kata Renata meyakinkan. Dia tidak mau acaranya melirik cowok tampan anak penjual baju di kios pasar deket abang penthol jadi terusik karena harus buru-buru karena ditunggu papa mamanya.
"Palingan kakak mau ngelayap, Ma," kata Theressa, adik Renata.
"Hush!" kata mama dan Renata bersamaan.
"Cuma jajan, Ma. Yaaa sambil liat-liat pasar sebentar," kata Renata.
"Kaaan..."
"Kamu itu hampir tiap hari Minggu jajan penthol sama jalan-jalan di pasar. Mama curiga,"
"Papa juga,"
"There juga,"
"Iiiih kalian iniii... Ya udah nggak jadi jajan," Renata ngambek lalu masuk ke mobil. Papa mama dan Theresa tersenyum sambil menaikkan bahu mereka bersamaan.
Renata memang tidak bisa mengelak kalau gelagatnya mengundang curiga. Pasalnya seperti yang mamanya katakan, hampir tiap Minggu Renata ijin untuk pulang jalan kaki untuk membeli jajanan penthol. Meski tidak selalu mendapat ijin, seperti saat ini. Renata hanya bisa manyun di dalam mobil, sambil membayangkan cowok tampan yang menjadi vitamin A nya tak bisa dia nikmati hari Minggu ini.
"Kalo kamu pengen banget makan penthol, nanti papa berhenti deket lampu merah," kata papa Renata, masih berusaha membuat putrinya tersenyum kembali.
"Nggak usah, Pa. Rena udah nggak pengen," kata Renata datar. Papa Renata melihat isterinya yang memberi isyarat untuk tidak mengganggu putrinya.
Mobil perlahan keluar meninggalkan pelataran gereja. Menyusuri jalanan yang cukup padat di hari Minggu karena lebih banyak orang pergi ke pasar di hari Minggu. Mobil berhenti karena lampu sedang merah. Mata Renata menangkap sosok yang ingin dilihatnya saat itu.
'Tuhan, betapa sempurna ciptaan-Mu,'
***
"Neng yang biasanya nggak kemari, Bang?" tanya Gilang pada abang tukang penthol.
"Yang biasanya yang mana, Lang?" tanya abang tukang penthol sambil mengambil beberapa biji penthol dan dimasukkan ke dalam plastik kecil.
"Halaaah yang hampir tiap hari Minggu beli. Yang abang bilang mirip Cinta Laura," kata Gilang mencoba memberikan ciri-ciri yang abang tukang penthol itu ingat.
"Ini mau dikasih kecap, apa sambal kacang?" tanya abang tukang penthol.
"Mmm... Dua-duanya deh,"
"Yang mirip Cinta Laura ya? Kan kalo ada yang beli cantik emang suka saya bilangin mirip Cinta Laura," kata abang tukang penthol sambil memasukkan sambal kacang dan kecap.
"Yaelah baaang,"
"Emang kalo beli di saya cuma hari Minggu aja?" tanya abang tukang penthol sambil memberikan penthol pesanan Gilang.
"Iya. Keknya sih tiap abis dari gereja," kata Gilang.
"Belum pulang kali, Lang,"
"Tuh, udah pada pulang," tunjuk Gilang ke beberapa pengemudi motor yang terlihat seperti jemaat gereja.
"Mungkin nggak berangkat," kata abang tukang penthol.
"Bisa jadi, Bang,"
"Lagian ngapain nyariin? Kan beda, rumit ntar," tanya abang tukang penthol sambil melirik ibu Gilang yang sedang sibuk menata dagangan di kiosnya. Abang tukang penthol tahu kalau ibu Gilang seorang muslim yang kolot.
"Cuma temen, Bang," kata Gilang.
"Ati- ati. Cowok cewek nggak bisa cuma temen," kata abang tukang penthol.
"Tau darimana, Bang?" tanya Gilang sambil menyuapkan satu butir penthol ke mulutnya.
"Pengalama pribadi. Langsung ditimpuk sama sandal sama isteri aku ketauan temenan sama cewek," kata abang tukang penthol dengan sedikit bumbu curhat. Gilang tertawa.
"Kalo itu mah, Abang yang keganjenan," kata Gilang, masih sambil tertawa.
"Padahal cuma temen lho. Kek kamu itu," kata abang penthol mencoba membela diri.
"Temen apa temen, Bang?" goda Gilang.
"Temen. Sumpah demi Allah!"
"Jangan asal sumpah demi Allah, Bang. Beraaaat," kata Gilang kembali menyuapkan penthol ke mulutnya.
"Trus sumpah apa dong? Sumpah pocong?" tanya abang tukang penthol yang malah membuat tawa Gilang lebih riuh.
"Lang, sini bentar," panggil ibu Gilang.
"Udah ya, Bang," pamit Gilang pada abang tukang penthol. Si abang hanya mengangguk.
"Ya, Buk?" tanya Gilang.
"Nanti akan ada reseller datang. Mbak Ainun namanya,"
"Wuih keren namanya kek isterinya Pak Habibi," komentar Gilang. Ibunya langsung menimpuk bahu Gilang.
"Ini udah ibu siapin barang yang mau diambil sama notanya. Terus katanya dia juga mau tuker dua gamis. Jangan lupa gamis yang mau dituker diminta ya," jelas ibu Gilang.
"Siap, Buk. Ibuk, mau kemana?" tanya Gilang.
"Ibuk mau ke warung Mang Mamat sebentar. Kamu dibeliin yang biasa nggak?" tanya ibu pada Gilang.
"Mmm... Boleh deh, Buk. Udah laper," kata Gilang.
"Lha itu penthol?"
"Buat ganjel aja, Buk," kata Gilang meringis.
"Ya udah. Itu jangan lupa,"
"Siap, juragan!" kata Gilang sambil memberi sikap hormat pada ibunya.
Gilang masuk ke dalam kios, duduk sambil meneruskan makan penthol yang sempat terganggu dengan sederet instruksi dari ibunya.
"Assalamu'alaikum..." sebuah suara lembut menyapa telinga Gilang.
"Wa'alaikumsalam..." jawab Gilang sambil menghentikan acara makan pentholnya.
"Eh, Mas, Bu Siti ada?" tanya seorang wanita muda, berhijab dan berwajah teduh.
"Mbak Ainun ya?" tanya Gilang menebak.
"Eh? Iya, Mas," jawab Ainun.
"Ini pesenannya. Tadi ibuk udah pesen. Terus katanya, Mbak mau tuker gamis?" tanya Gilang sopan.
"Iya, Mas. Ini gamis yang mau dituker. Bisa dicek dulu," kata Ainun sambil menyerahkan kantong plastik berisi dua gamis.
"Masih utuh, Mbak," kata Gilang setelah seksama meneliti gamis yang dikembalikan Ainun.
"Ini uangnya, Mas," kata Ainun sambil menyerahkan uang. Gilang menerima uang dari Ainun dan mengecek jumlahnya.
"Pas ya, Mbak. Makasih," kata Gilang.
"Sama-sama, Mas. Salam buat Bu Siti, ya," kata Ainun.
"Oh iya, Mbak nanti disampaikan salamnya,"
"Mari, Mas. Assalamu'alaikum," pamit Ainun.
"Wa'alaikumsalam..." jawab Gilang sambil tersenyum ramah.
"Nah... Kalo sama yang itu cocok, Lang," tanpa Gilang sadari, abang tukang penthol sudah berdiri di sampingnya.
"Ngagetin aja, Bang," kata Gilang terkejut.
"Ibu mu pasti juga suka yang model begituan," kata abang tukang penthol lagi.
"Langsung, Bang,"
"Ya kan?"
"Iya, Bang,"
Kemudian abang tukang penthol kembali ke tempatnya. Gilang menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah si penjual penthol langganannya. Pandangan Gilang berpindah ke wanita berhijab yang sibuk menata barang-barang dagangannya di motor matic yang sepertinya sudah tak sanggup lagi menampung barang-barangnya.
'Ainun... Cantik,'
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Nabila hasir
mau baca tapi takut endingnya.soalnya yg beda pasti sad ending.
tapi dak baca kepo ma penasaran ma critanya kk author
2024-05-02
1