Ayu Lestari, seorang wanita yang harus rela pergi dari rumahnya saat warga mengetahui kehamilannya. Menghabiskan satu Malam dengan pria yang tidak di kenalnya, membawa petaka dan kemalangan pada Ayu, seorang wanita yang harus rela masa depannya terenggut.
Akankah Ayu menemukan siapa ayah bayi yang di kandungnya? bagaimana reaksinya saat mengetahui bahwa pria yang menghamilinya adalah seorang pria yang di kenal culun?
Penasaran kan? yuk ikuti terus kisahnya sampai akhir ya, jangan lupa tambahkan subscribe, like, coment dan vote nya. 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerocosan Raja
Ayu dan Raja sudah pulang lebih dulu di antar oleh Kamal, sedangkan Gibran bersama Wiratman mengurus keadaan Raden.
Sebenci apa pun Gibran pada Raden, tetapi dia masih memiliki sedikit kebaikan di dalam hati. Setidaknya pria itu telah mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit.
Sekitar malam hari Gibran pulang dalam keadaan wajah kusut. Dia langsung pergi ke kamar melewati sang ibu yang menatap khawatir.
“Gibran, ada apa dengan wajahmu, Nak? Kam—” Perkataan sang ibu terhenti saat melihat kode dari sang suami yang melarangnya untuk menahan anaknya.
Wiratman mengajak sang istri untuk pergi ke kamar karena ada yang ingin dia jelaskan tentang Gibran. Sementara pria itu masuk ke dalam kamar sambil tersenyum kecil melihat Ayu dan Raja sedang main.
“Lagi main, ya?” tanya Gibran berhasil mengalihkan perhatian Ayu dan Raja yang terkejut menatap wajahnya.
“Wajah ayah kenapa?” tanya Raja mewakilkan isi hati sang ibu.
“Gapapa, kok. Cuma ada sedikit masalah saja di kantor, tapi udah beres. Raja sudah makan?” tanya balik Gibran yang sudah duduk tepat di samping Raja, mengelus rambutnya demi mengalihkan pembicaraan mereka.
“Apa ini gara-gara Om jahat tadi? Benar-benar ya, Om itu. Kalau saja Raja tadi nggak pulang duluan, sudah pasti Raja pites itu Om jahat. Enak aja main pukul-pukul ayah Raja seenaknya. Dia pikir Raja tidak berani apa, hahh! Dasar Om jahat!”
Raja mengoceh dengan nada marah sambil bertolak pinggang, membuat Gibran yang mendengar perkataan sang anak hanya bisa tersenyum.
Gibran merasa bangga dan bahagia sekali memiliki anak secerdas Raja juga pemberani tanpa ada rasa takut pada siapa pun untuk membela keluarganya.
Dari Raja, Gibran belajar banyak sifat-sifat yang seharusnya ada pada orang dewasa kini malah dimiliki oleh anak sekecil itu.
“Sabar, Boy. Tidak boleh marah-marah seperti itu, tidak baik. Terpenting kita tidak boleh mencontoh sifat buruknya itu ya, Raja juga tidak boleh main kekerasan yang bisa menyakiti siapa pun. Ingat loh, tugas Raja sekarang hanya belajar supaya bisa jadi orang sukses, bukan pecundang seperti Om itu. Raja paham?”
Sang anak mengangguk antusias menatap wajah sang ayah. Dia berjanji akan menjadi pria sejati yang akan melindungi keluarganya terutama sang ibu dari semua orang yang ingin menyakitinya.
Ayu tersenyum menyaksikan betapa sayangnya Raja padanya, melebihi rasa sayang sang anak pada Gibran.
Jika Ayu memiliki rasa cemburu terhadap Raja yang lebih asyik bermain sama Gibran. Namun sang suami malah terlihat bahagia karena anaknya lebih memuliakan sang ibu ketimbang dirinya.
“Tapi Ayah, Ibu . Anak haram itu apa? Kenapa dari dulu semua orang bilang kalau aku ini anak haram, padahal aku dan Ibu tidak pernah menyakiti siapa pun. Cuma kenapa mereka selalu menyakiti kami? Apakah anak haram itu anak yang pembawa sial bagi orang tuanya? Jika benar begitu berarti kehadiran aku bisa membuat Ayah dan Ibu jadi menderita, dong? Tapi tunggu deh, kalau memang ada anak haram berarti ada juga anak halal. Terus bedanya apa? Kenapa harus ada anak haram dan anak halal segala? Bukannya semua anak itu sama saja?”
Pertanyaan yang Raja lontarkan sambil menatap orang tuanya secara bergantian langsung menampar kehidupan Ayu dan Gibran.
Degup jantung mereka berdetak kencang layaknya seseorang yang terkena serangan jantung secara mendadak.
Inilah yang selama ini Ayu takutkan. Semakin banyak orang yang menghujat Raja, semakin anak itu pintar untuk merekam kejadian tidak baik hingga keluarlah pertanyaan seperti itu.
Tanpa Raja sadari pertanyaan itu telah melukai hati kedua orang tuanya sampai mereka terdiam membisu. Ribuan pisau terasa tertancap di dalam hati mereka ketika mendengar kata-kata itu keluar langsung dari bibir sang anak.
Raja menoleh menatap Ayu, lalu bergantian menatap Gibran sampai beberapa detik tidak ada jawaban. Dia kembali berbicara dengan sangat cerewet saking ingin tahunya.
“Kenapa Ibu sama Ayah diam? Apa pertanyaanku seberat itu? Perasaan tidak, kalian cuma harus menjawab apa bedanya anak haram dan anak halal. Bukankah semua anak dilahirkan dari perut ibunya dan aku sering dengar katanya anak itu titipan Allah, tapi kenapa mereka berbicara seperti itu padaku. Aku jadi bingung!”
Raja menggaruk kepalanya yang tidak gatal ketika kedua orang tuanya malah saling menatap satu sama lain, tanpa memberikan jawaban yang pasti untuknya.
“Kamu pikir seorang anak itu makanan, ada label haram dan halalnya. Aneh-aneh saja, udah sana tidur. Ini sudah malam, nggak baik anak kecil tidur larut malam. Bisa-bisa nanti matamu kaya panda. Sudah cepat sana tidur, ingat! Jangan main games. Cuci kaki, tangan, terus tidur baca doa atau Ibu sita semua gamesmu. Ngerti!” tegas Ayu mencoba untuk mengalihkan suasana yang mencekam itu.
“Ishh, Ibu apaan, sih. Orang nanya apa jawab apa, menyebalkan!” seru Raja tak terima atas jawaban dari sang ibu yang terkesan menghindar darinya.
“Ehh, anak kecil. Bisa-bisanya kamu mengumpati ibumu sendiri, dasar nakal!” sahut Ayu menatap tajam dan malah mendapatkan tatapan tajam dari sang anak.
“Orang dewasa memang menyebalkan!” pekik Raja.
Gibran yang melihat perdebatan anak dan ibu yang saling menunjukkan keunggulan mereka segera melerainya.
“Aishh, sudah-sudah. Jangan pada berantem ini udah malam, loh. Apa yang Ibumu bilang itu benar, Boy. Ini sudah larut malam, anak kecil tidak boleh begadang nanti sakit. Untuk pertanyaan tadi Ayah dan Ibu belum bisa menjawabnya sekarang. Usiamu masih sangat kecil untuk memahami kisah orang dewasa. Namun jika kamu sudah besar nanti, Ayah dan Ibu janji akan menceritakan semuanya padamu sampai kamu paham. Oke?”
Gibran berusaha untuk tetap menanggapi Raja supaya tidak merasa terabaikan akibat semua pertanyaannya tidak menemukan jawaban yang pasti.
“Janji?” tanya Raja menatap sang ayah penuh keseriusan menunjukkan jari kelingkingnya.
“Janji, Sayang.” Gibran menautkan jari kelingkingnya sambil tersenyum. “Udah sekarang Raja ke kamar, cuci kaki, cuci tangan, baca doa terus tidur sebelum singa meraung hihih ….”
“Ups, takut hahah … Good night Ayah. Good night singaku yang cantik. Lari hahah ….”
Gibran terkekeh kecil melihat kelucuan sang anak yang kabur untuk menghindari amukan sang ibu. Di mana wajah Ayu terlihat kesal dengan lelucon sang suami.
Lirikan maut Ayu membuat Gibran nyengir sambil meminta maaf, lalu pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih.
Setelah kembali Gibran melihat Ayu tidak ada di kamar. Dia mencari keberadaan sang istri yang dikira tidur di kamar lain. Namun ternyata wanita itu malah datang membawa makanan untuk suaminya.
Ayu tahu kalau Gibran sudah pasti belum mengisi perutnya dengan nasi, apalagi masalah di kantor cukup mengejutkan mereka.
“Aku tahu kamu belum makan sore tadi. Kamu bisa membohongi Raja, tapi tidak denganku. Makanlah!” Ayu meletakkan sepiring nasi goreng buatannya untuk Gibran.
Pria itu menatap Ayu yang berdiri sambil mengukirkan senyuman kecil, “Terima kasih kamu sudah memperhatikanku.”
“Nggak usah ge’er. Aku lakuin itu karena tugasku sebagai istrimu. Aku tidak ingin orang tuamu mengira aku tidak bisa merawatmu. Jadi, makanlah. Aku ambil obat-obatan untuk lukamu dulu,” ucap Ayu.
Meski sang istri terlihat cuek, tetapi Gibran bisa melihat dari bola matanya yang indah terbesit perhatian untuknya.
/Slight//Slight/