NovelToon NovelToon
Rahasia Kakak Ipar

Rahasia Kakak Ipar

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / CEO / Hamil di luar nikah / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / Konflik etika
Popularitas:104.9k
Nilai: 5
Nama Author: Mommy Ghina

Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.

Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.

Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.

Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5. Jangan Main Hati

Arjuna tak bisa langsung menjawab. Ia menunduk dalam. “Keduanya. Aku ... terlalu bodoh. Aku seharusnya melindungi kamu, bukan malah membuatmu sakit. Apa nanti kata kakakmu kalau tahu adiknya sakit.”

Lidya tetap tidak menoleh. “Aku tidak butuh perlindunganmu, Kak Arjun. Aku hanya butuh dihargai. Sejak tadi pagi kamu menyalahkan aku. Dan sekarang, lihat akibatnya.”

Arjuna terdiam, wajahnya menegang. “Aku ... aku hanya khawatir. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menunjukkan rasa khawatir itu. Semua jadi salah.”

“Khawatir tidak berarti mengendalikan hidup orang lain,” balas Lidya lirih, matanya tetap terpejam. “Kalau memang benar khawatir, Kakak seharusnya bicara baik-baik , bukan marah.”

 

Arjuna mendekat sedikit, suaranya lebih pelan. “Aku memang dingin ... aku tidak terbiasa menunjukkan perhatian. Tapi saat kamu jatuh tadi, aku benar-benar takut. Takut—.”

Mata Lidya terbuka, kini menatap lurus ke atas. “Takut apa? Aku ini siapa untukmu, Kak? Adik ipar. Hanya itu saja.”

Arjuna tercekat. Lidahnya kelu. Ia ingin mengatakan lebih, tapi bibirnya gemetar.

“Hanya itu,” ulang Lidya, kali ini menoleh perlahan, menatap Arjuna dengan mata berkaca-kaca. “Jadi jangan berlebihan, jangan juga main hati, ingat ... ada Kak Eliza yang menunggu Kakak di rumah. Bukankah Kakak bilang sendiri, tidak ingin rumah tangga Kakak hancur.”

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Arjuna menatapnya lama, lalu akhirnya duduk kembali, memeluk kepalanya dengan kedua tangan.

Di sudut ranjang, Lidya mengusap pelan punggungnya yang masih sakit, menahan isak yang nyaris pecah.

Arjuna menatapnya lagi, wajahnya penuh dilema. “Aku akan tetap di sini. Meski kamu tidak ingin melihatku ... aku tidak akan pergi sampai kamu benar-benar pulih.”

Lidya tidak menjawab, hanya menutup matanya lagi, mencoba mengabaikan keberadaan pria itu.

Namun, dalam diam, detak jantungnya terasa makin cepat—bukan hanya karena sakit, tapi juga karena konflik batin yang semakin sulit ia redam.

***

Jam digital di dinding ruang observasi menunjukkan pukul 18.00 wib lewat beberapa menit. Lidya sudah empat jam berbaring dengan selang infus, sesekali meringis karena nyeri punggung. Arjuna duduk di kursi, menatap tanpa henti, tapi tak satu pun kata keluar dari mulutnya.

Pintu diketuk pelan, lalu dokter masuk bersama perawat.

“Baik, Mbak Lidya. Setelah kami amati, kondisinya stabil. Tidak ada tanda pendarahan lanjutan,” ucap dokter tenang. “Saya rasa Anda bisa pulang malam ini. Namun, tetap harus istirahat total. Jangan melakukan gerakan berat.”

Arjuna langsung berdiri. “Syukurlah. Terima kasih, Dok.”

Perawat menyerahkan kantong berisi obat. “Ini obat nyeri. Ada salep untuk memar di punggung. Jangan lupa diminum sesuai aturan, ya.”

Lidya hanya mengangguk singkat. Arjuna menerima kantong obat itu, menggenggamnya erat seakan takut terlepas.

"Aku bantu," ujar Arjuna saat melihat Lidya akan beranjak dari atas brankar.

Gadis itu menepis tangan Arjuna, ia lebih memilih bantuan dokter.

***

Mobil hotel melaju di jalanan Yogyakarta yang mulai ramai lampu malam. Di dalam, suasana begitu hening. Lidya duduk bersandar ke kursi dengan mata memandang lurus ke luar jendela. Arjuna di sampingnya, menatap kosong ke depan. Tidak ada percakapan.

Suara mesin mobil dan detik jam digital di dashboard jadi satu-satunya pengisi ruang.

Arjuna beberapa kali membuka mulut, ingin bicara, tapi mengurungkan niat. Sementara Lidya menahan diri agar tidak meneteskan air mata.

Begitu mobil berhenti di pelataran hotel, staf membantu membukakan pintu. Lidya turun perlahan, tubuhnya masih lemah. Arjuna refleks ingin memegang lengannya, tapi Lidya menghindar halus, memilih berjalan sendiri.

Di dalam lobi yang terang, Arjuna akhirnya membuka suara.

“Lidya, sebelum kamu naik ke kamar … bagaimana kalau kita makan dulu? Supaya kamu bisa minum obat setelahnya.”

Lidya tidak menjawab. Ia hanya melangkah pelan menuju restoran yang berada di sisi lobi. Arjuna mengembuskan napas berat, lalu mengikuti dari belakang.

Aroma sup panas dan roti panggang menyambut begitu mereka masuk. Lidya langsung memilih meja dekat kaca, kursinya menghadap keluar. Ia duduk tanpa menoleh, lalu memanggil pelayan.

“Saya pesan nasi sop iga, tempe mendoan, sama jus jeruk.”

Pelayan mencatat. “Baik, Mbak.”

Arjuna menunggu sebentar, lalu memesan untuk dirinya. “Saya … tenderloin steak medium, dan jus melon.”

Pelayan mengangguk lalu pergi.

Hening kembali. Arjuna menatap meja, jarinya mengetuk pelan permukaan kayu. Lidya sengaja sibuk dengan ponselnya, meski layar tidak benar-benar ia baca.

Tak kama kemudian, Arjuna akhirnya bersuara, nadanya dingin tapi berusaha terkendali.

“Lidya … ada hal yang harus kita bicarakan. Aku tahu kamu membenciku sekarang. Tapi kita tidak bisa pura-pura seolah tidak terjadi apa-apa.”

Lidya tetap menatap keluar jendela. “Kalau begitu, jangan dibicarakan. Lebih mudah begitu.”

“Tidak bisa.” Arjuna menggeleng tegas. “Aku harus pastikan ini tidak menghancurkan hidupmu … atau hidupku.”

Lidya tersenyum sinis. “Hidupku sudah hancur sejak tadi malam, Kak.”

Arjuna terdiam sejenak, menahan perih di dadanya. Kemudian, dengan suara berat ia berkata,

“Kalau memang itu yang kamu inginkan … aku akan kasih. Dua miliar. Begitu kita kembali ke Jakarta, aku akan langsung mengurusnya. Anggap itu sebagai cara menebus kesalahanku.”

Lidya menoleh sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangan. “Baik.” Suaranya datar, dingin, tanpa emosi.

Arjuna menghela napas. “Tapi ada satu hal yang harus kamu ingat. Tentang malam itu … aku mohon, tidak seorang pun boleh tahu. Anggap saja itu tidak pernah terjadi.”

Lidya menatap lurus, matanya tajam meski wajahnya tetap pucat. “Aku tahu. Aku juga tidak ingin mengingatnya, apalagi menceritakannya. Jadi tenang saja, Kak. Rahasia itu aman.” Padahal hatinya sedang begitu sakit.

Arjuna menunduk, menekan pelipisnya. “Terima kasih. Aku tahu ini tidak mudah. Tapi demi Eliza, demi keluarga kita … biarlah semua terkubur di sini.”

Arjuna menggenggam gelas air putih yang baru saja diantar pelayan.

“Kalau soal saham … aku belum bisa menjanjikan apa-apa. Bahkan Eliza, istriku sendiri, tidak dapat bagian. Jadi posisimu … lebih rumit.”

Lidya tidak menjawab lagi, hanya menarik napas panjang, lalu kembali menatap kaca. Ekspresinya tetap dingin, seolah setiap kata Arjuna barusan hanya lewat begitu saja tanpa menyentuh hatinya.

Tak lama kemudian, pelayan datang membawa pesanan. Sop iga panas beraroma gurih diletakkan di depan Lidya, bersama tempe mendoan yang masih mengepulkan asap.

Lidya langsung mengambil sendok, menyuap perlahan. “Hmm … enak.” Ia sengaja mengalihkan perhatian ke makanan, bukan ke Arjuna, ketimbang hatinya semakin sakit.

Arjuna hanya menatap sebentar, lalu fokus pada steak yang disajikan. Ia memotong perlahan, berusaha menahan emosi yang menekan.

Baru dua suapan masuk, ponsel Arjuna berdering nyaring. Layarnya menyala, menunjukkan nama Eliza-My Wife.

Bersambung ... ✍️

1
Srie Handayantie
dan Lidya berhasil bikin bang Jun cenat cenut gak karuan 🙈 udh gelisah banget ituu hidupnya udh gak tenang pulaa skrg 🤭 sering banyak merenungg🙃
Putri Dhamayanti
aku menikmati alurnya, aku menikmati saat othor membuat Arjuna panasshh 😄 maaf ya pak bos 🤭
etapi knp aku berharap Lidya nantinya sm Arjun yak, apa gegara Eliza nyebelin.. 🤣
shenina
santai bang juned 😄
Mamah Nisa
siap mom ......bikin juna kepanasan dulu 😂😂
kira2 lidya akan pergi kemana ya....hmmm...penasaran nih mom....😄
juwita
kasihan Arjuna emak bpknya bikin nama smpe bubur merah bubur putih tp sm kita di ganti ada yg blg juned ada junaedi ada jumanto ujung"nya di panggil jurig🤣🤣🙏
Zeliii... S
Sabar Lidya... ttp semangat ya.. 😘
shenina
suka kalau ada moment reuni itu seru banget 😁
Zeliii... S
Si juned mulai kepanasan.... 🔥🔥🔥
shenina
gemoyyy lucu.. 😄
shenina
ihh kepo deh pak Arjun..
cemburu yee 🤭
Esther Lestari
kita tunggu cenat cenut nya hati Arjuna, yang semakin hari semakin bertambah cenat cenut nya🤭
Ema
kalo langsung tiba tiba Lidya pergi seperti nya kurang greget deh ceritanya🤭. seperti kata mom Ghina nanti cepat tamat deh
Fa Yun
cie ada yang panas 😄
Teh Euis Tea
aku mah ngikutin alurnya aj thor, iya bikin arjun cemburu dan makin uring uringan lihat lidya bahagia sm farel
Neaaaa(ʘᴗʘ✿)o(〃^▽^〃)o
hahaaa... gemes soalnya mommy.. tak apalah siap menunggu waktu nyaaa junjun ditinggal kasih terindah.. Syedaaap😄😄
Lina Budiarti
aku yg baca jg cenut2 kak🙈
Noor hidayati
juna cemburu lihat lidya sama cowok lain
Reni Anjarwani
lanjut thor doubel up
Neaaaa(ʘᴗʘ✿)o(〃^▽^〃)o
panas... panas... hati ini panas.. pusing.. pusing kepala ini pusing... 🤣🤣🤣
🌸 𝑥𝑢𝑎𝑛 🌸
Assiaaaaaappppppp Thor.......
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!